"Reine, apa hari ini kamu ada waktu?" Ayssa tiba-tiba meneleponku dan berkata seperti itu.
"Ada, memangnya kamu perlu apa Ayssa?"
"Aku ingin berbicara suatu hal padamu."
"Benarkah? Tentang apa?" Aku memang aneh mendengar Ayssa mengucapkan seperti itu karena memang dia wanita yang sedikit tertutup.
"Akan aku ceritakan nanti. Aku pergi ke rumahmu, ya?"
"Baiklah. Aku tunggu. Hati-hati di jalan ya."
"Oke." Ayssa lalu menutup telepon.
Sementara itu aku mulai bersiap mandi dan mengganti pakaian. Sebenarnya tadi aku akan bersiap kerja, tapi tiba-tiba mendapat notifikasi baru dari grup bahwa perusahaan akan ditutup sementara untuk beberapa hari karena ada urusan penting. Ada senang dan sedihnya membaca pesan itu. Yang sedihnya adalah, terlalu bosan berdiam diri di dalam rumah. Ingin melakukan sesuatu, tapi tak tahu harus melakukan apa.
Tak butuh waktu lama, sebuah mobil terparkir di depan rumah. Aku tahu mobil ini memang sering dipakai Hamzah. Dan ternyata dugaanku benar, Ayssa juga telah diantar kemari oleh Hamzah.
Dengan basa-basi aku menyuruh Hamzah untuk masuk dulu ke dalam rumah. Tapi dia enggan dan beralasan sedang sibuk mengurus satu pasien di rumah sakit. Aku hanya manggut-manggut saja mendengar ucapannya. Pikirku bagus juga dia tak mau. Untung saja bibi tak ada. Kalau ada, pasti bibi akan memaksa Hamzah untuk masuk dulu ke dalam rumah.
Setelah Hamzah pergi dengan mobilnya, aku lalu mengajak Ayssa masuk ke dalam dan menuju ke kamar. Ini pintanya. Karena baginya permasalahan ini terlalu privasi hingga aku menutup dan mengunci pintu kamar. Tak lupa, sebelum itu aku juga memberi Ayssa minuman dan beberapa cemilan.
Sudah aku perhatikan sikapnya sedari tadi terlihat berbeda dari Ayssa sebelum sebelumnya yang nampak ceria. Kepalanya tertunduk lesu. Sorot matanya terlihat kosong. Seperti tengah memendam suatu hal yang begitu berat.
Aku menepuk pundaknya pelan. Mulai bertanya perihal apa yang ingin dia katakan. Awalnya dia terdiam, lalu sejurusnya dia memelukku dengan erat dan mulai menangis.
Hatiku mulai tak karuan. Aku bahkan tak bisa menebak masalah apa yang sedang ia hadapi. Aku juga berusaha menetralkan suasana dan terus mengusap-usap punggung nya pelan. Semoga saja apa yang aku lakukan sedikitnya mengobati derita yang sedang ia hadapi.
"Reine, aku bingung harus berbuat apa." Ayssa mulai membuka suara setelah beberapa menit ia menangis. Aku memang suka membiarkan orang menangis. Bukan karena tak peduli, tapi aku yakin dengan menangis kita bisa mengurangi beban yang sedang di derita. Rasa sesak dalam hati setidaknya berkurang. Karena tak semua orang bisa meluapkan masalahnya dengan menangis. Bukankah banyak dari kita juga yang hanya bisa memendam luka karena tak tahu harus memeluk siapa?
"Aku, aku takut Reine." Lanjutnya lagi sambil sesenggukan.
"Takut apa Ayssa? Tenangkan dirimu baik-baik. Kamu jangan takut, aku di sini bersamamu."
Perlahan Ayssa melepas pelukan sambil mengusap air matanya. Dia tertawa kecil mengingat sikapnya tadi terlihat sangat kekanakan, apalagi sampai memelukku. Menurutnya itu terlalu berlebihan. Tapi dengan cepat aku menggelengkan kepala sambil membantunya mengusap air mata.
"Tidak, Ayssa. Kamu bukan kekanakan. Hal ini wajar dilakukan bagi orang-orang yang sedang diliputi masalah. Kamu jangan berpikir seperti itu lagi ya. Tanganku selalu terbuka lebar untukmu. Kalau kamu merasa kesepian, kamu tak usah takut untuk kemari dan menceritakan semuanya. Oke?"
Dia mengangguk pelan.
"Baik, apa sekarang kamu sudah baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja Rein. Aku hanya takut."
"Apa yang kamu takutkan?"
"Aku-"
"Eh sebentar," aku menyela ucapannya lalu memberinya segelas air putih. "Minumlah. Agar kamu merasa sedikit lebih tenang." Pintaku.
Dia lalu mengambil dan segera meminumnya. Setelah beberapa menit, aku bisa memastikan kondisi Ayssa lebih baik dari sebelumnya.
"Reine?"
"Iya?" Jawabku.
"Apa di setiap pertemuan pasti ada perpisahan?"
"Kenapa kamu bilang seperti itu?"
"Papa menjodohkan ku dengan seorang pria, Rein."
Sontak aku membulatkan mata tanda tak percaya. "Apa kamu sedang tak bercanda?"
Ayssa menggeleng. "Tidak, Rein. Itu benar."
"Lalu apa yang kamu takutkan?"
"Aku takut tak bisa sedekat denganmu atau kak Hamzah lagi."
Jujur, aku kurang memahami apa yang dia katakan.
"Maksudmu tidak sedekat apa?"
"Ya aku tak tahu pernikahan itu seperti apa. Bahkan aku juga belum merasakan bagaimana rasanya mencintai. Aku takut pernikahan ku nanti akan berjalan seperti apa."
"Kenapa kamu harus takut, ay? Menikah itukan ibadah. Urusan seperti itu, kamu bisa meminta kelonggaran waktu supaya kalian saling mengenal kriteria masing-masing. Kalau kamu merasa nyaman, lanjutkan. Kalau tidak, beri penolakan dengan bahasa yang baik agar dia tidak tersinggung."
"Kak Hamzah juga mengatakan hal yang sama sepertimu, Rein. Tapi jujur. Aku bingung sekali. Sangat bingung dan takut."
"Takut karena hal tadi?"
"Bukan itu saja. Kamu kan tahu, aku sangat dekat dengan kak Hamzah. Ketika mendengar papa mengatakan itu, kak Hamzah tak bisa berbuat apa-apa. Dia menyerahkan semua keputusannya padaku. Dia tak mau ikut campur, karena masalah ini hanya meliput aku, papa dan calonku itu. Padahal aku juga berharap kak Hamzah terlibat dalam soalan ini."
"Memangnya, kenapa dia tak ingin ikut campur dalam urusanmu?"
"Katanya, dia tak memiliki kuasa untuk masalah pernikahanku."
"Lho? Kenapa bisa seperti itu?"
Dia terdiam.
"Masalahnya panjang Rein. Aku-"
Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Ayssa lalu memberi isyarat kepada ku untuk melihat siapa di baliknya. Aku beranjak dari kasur dan membuka pintu. Ternyata yang kulihat di sana adalah bibi. Ayssa lalu datang menghampirinya dan mencium tangannya.
"Bibi, bagaimana kabarnya?" Tanya Ayssa.
"Alhamdulillah, bibi sehat."
"Kalau bayi bibi, bagaimana perkembangannya?"
"Alhamdulillah juga, sehat seperti bayi normal lainnya." Jawab bibi sambil tersenyum. "Sejak kapan kamu di sini?"
"Em, belum terlalu lama bi."
"Oh ya? Awalnya bibi bingung ketika akan mengetuk pintu, Reine seperti sedang berbincang dengan seseorang. Ternyata dugaan bibi benar. Ada Ayssa juga di sini."
Ayssa terkekeh. "Iya bi. Lagi pula perusahaan sedang libur, Ayssa bosan di rumah makanya Ayssa main ke sini."
"Iya ayssa. Kalau kamu bosan main saja ke sini, jangan sungkan ya." Ujar bibi sambil mengelus kepala Ayssa dengan lembut.
"Oh iya Rein?"
"Iya bi?"
"Ada Alif di depan."
Bola mataku seketika melebar. "Benarkah?"
Bibi mengangguk. "Iya, dia sedang menunggumu."
Segera aku memakai kerudung dan menemuinya dengan kegirangan. Entahlah, rasanya tak bertemu sehari saja dengannya seperti ada yang kurang.
Sementara itu, ketika aku akan menuju teras, Ayssa menghentikanku.
"Reine, kamu akan menemui siapa? Sepertinya kamu bahagia sekali." Tanyanya keheranan.
"Oh iya, aku sampai lupa soalan ini. Ayo," aku memegang tangannya. "Biar aku kenalkan padanya."
"Tapi, dengan siapa?"
"Sabar, sebentar lagi kamu akan tahu."
Ketika kami ke luar, mataku langsung tertuju pada sesosok pria berjaket hitam yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya.
"Alif?"
Dia langsung berdiri dan tersenyum ke arah kami.
"Reine, Alif itu siapa?" Tanya Ayssa berbisik. Sepertinya dia begitu penasaran sekali.
Aku tersenyum kecil. "Oh iya Alif, kenalkan ini teman kerjaku namanya Ayssa. Dan Ayssa," aku menatapnya yang terlihat bingung, "kenalkan ini Alif. Tunanganku."
Aku bisa langsung melihat bola mata Ayssa yang seketika membulat mendengar ucapan ku tadi. "Apa? T-tunanganmu?"
Aku mengangguk cepat.
Sementara itu, Alif menyunggingkan senyum pada Ayssa.
Aku meminta keduanya masuk dan duduk di ruang tamu. Aku juga segera pergi ke dapur untuk membuat jus.
Tanpa aku sadari, ternyata Ayssa mengikuti ku dari belakang.
"Reine? Apa kamu bercanda?"
"Maksudmu? Bercanda apanya?"
"Tentang ucapanmu tadi. Apa, dia benar-benar calonmu?"
Aku terkekeh kecil. "iya, Ayssa. Lagi pula sejak kapan aku berbohong padamu?"
"Aku tak menyangka Reine."
"Pasti. Aku sudah menduganya."
"Sejak kapan kamu mengenalnya?"
"Jaaauh sebelum aku ke mari. Aku sudah mengenalnya sejak sekolah." Jawabku sambil memasukkan jus ke dalam gelas yang sudah di blender.
"Ohh... Kenapa kamu tak bercerita padaku?"
"Selalu tak sempat. Maaf ya." Ujarku terkekeh.
"Kamu bahagia dengan semua ini?"
"Sangat. Sangat bahagia. Lihat." Aku menunjukan wajahku padanya, "rautku terlihat bahagia, bukan?"
"Iya Reine. Aku baru melihat wajahmu bisa sebahagia ini. Sebelumnya aku tak pernah melihat."
Aku tersenyum lalu membawa nampan yang di atasnya ada tiga jus mangga.
"Lalu bagaimana dengan kak Hamzah?"
"Bagaimana apanya?"
"Apa kamu tak memikirkan bagaimana hatinya ketika tahu kamu sudah bertunangan?"
Aku langsung menghentikan langkah mendengar ucapannya.
"Aku kira, kamu akan perlahan menerima kak hamzah. Lag-"
"Cukup Ayssa." Timpalku tegas. "Aku bingung mengapa kamu selalu saja mengait-ngaitkan ku dengan Hamzah? Kami tak ada hubungan apa-apa. Jadi aku mohon kamu jangan bersikap seperti itu lagi. Jelas?"
"Tapi,"
"Sudahlah." Aku menyela pembicaraan nya, "m-maaf kalau ucapanku tadi sedikit meninggi."
"Tak apa Rein. Itu tak masalah. Ayo," ajaknya untuk segera ke ruang tamu.
Sementara itu, Alif sedari tadi menunggu di sana. Aku meminta maaf kalau saja meninggalkannya terlalu lama.
"Tak apa. Lagi pula aku di sini tak akan lama."
"Memangnya kamu mau ke mana?"
Alif mulai meneguk jus mangga yang aku buat. "Oh iya, terima kasih ya telah membawakan ini. Rasanya enak sekali."
Aku mengangguk. "Sama-sama."
"Aku mau pergi untuk beberapa hari. Jadi aku mau minta pamit darimu."
"Sudah aku perhatikan beberapa hari ini, kamu terlihat sibuk sekali Alif. Ada urusan apa emangnya? Kamu juga tak pernah memberitahuku mau pergi ke mana."
"Hanya urusan biasa, Rein."
"Tapi kamu pasti pulang kan?"
"Insyaallah."
"Memangnya mau ke mana?"
"Terlalu rumit untuk dijelaskan."
"Ya tapi setidaknya beri tahu aku."
"Nanti akan aku beri tahu."
"Janji?" Pintaku.
Dia mengangguk mantap. "Janji."
"Baiklah, aku pegang janjimu." Kataku sambil melirik Ayssa yang nampak melamun. "Ayssa?" Panggilku pelan.
Dia tersentak kaget.
"I-iya Rein?"
"Kamu kenapa? Masih memikirkan yang tadi?"
"Oh tidak Rein. Aku hanya sedang ingin diam saja." Jawabnya sambil terkekeh yang kemudian disusul pula oleh Alif.
"Baiklah kalau seperti itu. Apa ada yang mau kamu tanyakan?" Tanya Alif.
Aku berpikir sejenak. "Sepertinya ada tapi aku tak tahu apa."
"Lho? Maksudnya?"
"Ya terkadang begitu. Giliran kamu pulang tiba-tiba ada saja pertanyaan yang ingin ditanyakan. Eh pas kamu di sini semua pikiran buyar."
Dia tertawa. "Kamu memang tak pernah berubah."
"Oh iya, bagaimana kelanjutan hubungan kalian?" Ujar Ayssa membuka suara. "Kapan akan menikah?"
Aku terdiam lalu menatap Alif dan memberi isyarat agar dia saja yang menjawabnya.
"Insyaallah, secepatnya." Jawab dia, "aku juga sudah menghubungi beberapa teman yang memiliki usaha dekorasi pernikahan. Mereka siap membantu."
"Alhamdulillah kalau seperti itu. Semoga semuanya berjalan dengan lancar."
Aku dan Alif turut mengaminkannya.
"Baiklah. Kalau tak ada lagi yang ingin ditanyakan, aku pamit ya Reine dan Ayssa. Senang bertemu kalian. Eh bibi mana?"
"Aku rasa bibi sedang pergi. Tadi bibi terlihat berpakaian rapi."
"Oh kalau begitu, sampaikan salamku pada bibi dan paman ya. Assalamu'alaikum." Sahutnya sambil bersiap pergi.
"Wa'alaikumussalam." Jawab kami berdua.
Sebenarnya ada perasaan mengganjal dalam hati. Aku lebih merasa takut saja ketika melihat Alif pergi. Entahlah ini sebuah tanda atau bukan. Tapi aku selalu berdoa semoga Alif baik-baik saja di manapun ia berada.
Mobil yang ia tumpangi semakin menjauh. Aku segera masuk dan kembali mendapati Ayssa yang sedang termenung. Aku langsung teringat soalan pernikahan tadi.
"Maafkan aku Ayssa tadi waktunya sedikit terganggu."
"Tak apa Rein. Itu tak masalah."
"Lalu bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Bagaimana sikapmu terhadap perjodohan itu?"
Dia menghela napas berat. "Aku tak tahu rein. Rasanya aku takut sekali menemui pria yang belum aku kenal, apalagi ini sampai ada niat untuk meneruskannya ke jenjang yang lebih serius."
"Memangnya siapa nama pria itu?"
"Rizwan."
"Kamu sudah tahu sikapnya seperti apa?"
Dia menggeleng. "Jangankan sikapnya, wajahnya saja aku tak tahu."
"Tapi menurutku Ayssa, kamu jangan cepat-cepat memutuskan suatu hal yang bisa membuat ayahmu terluka. Aku yakin ayahmu melakukan semua itu karena ada beberapa alasan dan salah satunya ingin melihat anaknya bahagia."
"Tapi hatiku tak menerima semua itu Rein."
"Memangnya apa yang membuatmu tak menerima?"
"Aku takut dia tak seperti kak Hamzah yang selalu mengerti di setiap kondisi dan perasaanku."
"Tapikan kamu belum tahu sifatnya seperti apa. Mungkin saja sama baiknya seperti Hamzah atau bahkan lebih baik. Kamu hanya perlu bertemu dengannya sebentar dan lihat bagaimana cara dia memperlakukanmu."
"Iya Rein. Kamu benar. Tapi sungguh, aku begitu takut. Ayolah, katakan sesuatu yang bisa membuatku tenang." Katanya sambil memelas.
Aku berpikir sejenak. "Em, apa kamu sudah punya pasangan?" Tanyaku kemudian.
Dia terkejut. "Pasangan?"
"Iya, pasangan. Kan kalau ada, itu bisa jadi alasanmu untuk menolak perjodohan itu. Dengan dalih kamu sudah memiliki calon yang tepat."
Ayssa menunduk. "Sayangnya, aku tak memilikinya Rein. Semenjak ada kak Hamzah, rasanya aku tak mau saja berkenalan dengan pria lain."
Aku mengerutkan alis. "Kenapa bisa?"
"Karena bagiku dia kakak yang begitu sempurna Rein. Aku tahu kamu mungkin kurang suka dengannya, tapi aku sangat menyayanginya."
Aku duduk sedikit lebih mendekat ke arahnya lalu memegang ke dua pundaknya, "Ayssa," kataku berusaha meyakinkannya, "kamu boleh berpikir seperti itu. Sikap seorang kakak memang akan berpengaruh pada adiknya. Apalagi kalau kakaknya baik, rasanya kamu tak mau meninggalkannya bukan?"
Dia mengangguk cepat.
"Tapi hidup kalian tak akan selamanya seperti itu. Ada jalan yang harus dilalui oleh diri kalian sendiri. Kamu dengan urusanmu, dan kakakmu dengan urusannya. Semua itu tak akan bisa kita elak, karena memang sudah menjadi jalan takdirnya masing-masing."
"Contohnya kamu," aku memperhatikan rautnya yang seperti tengah mencerna setiap kataku. "Kamu tak akan selamanya bisa berjalan beriringan bersama kakakmu itu. Kamu harus menikah, memilih pria yang akan menuntunmu menjadi wanita yang lebih baik ke depannya. Kalau kakakmu selalu menemanimu dari kecil, setidaknya ketika usiamu sudah sebesar ini, kamu harus berusaha mencari penggantinya. Itu sudah menjadi ketentuannya, kamu tak bisa mengubah itu semua."
Ayssa terdiam. Kepalanya menunduk.
"Sama seperti Hamzah. Dia juga tak selamanya menjagamu. Akan ada masanya dia harus melepas tugasnya menjadi seorang kakak ketika kamu sudah mendapatkan yang baru."
Dia tiba-tiba mendongakkan kepalanya.
"Maksudku, hanya melepas tugasnya menjadi kakak. Tapi hubungan kalian akan terus terikat dan tak akan pernah bisa terputus oleh apa pun dan siapapun."
Aku melihat ada guratan senyum di ujung bibir Ayssa.
"Kakakmu juga akan menikah. Bukan serta merta ketika melepas tugasnya darimu dia akan diam dan berleha-leha. Justru itu adalah waktunya untuk mengemban amanah dan mencari pendamping sebagai pelengkap ibadahnya kelak. Kamu harus berusaha untuk memahami kondisinya."
Dia mengangguk pelan. "Benar, Reine. Aku baru menyadari bahwa ternyata tugas kak Hamzah salah satunya bukan hanya tentang aku. Ada wanita lain yang harus ia jaga pula untuk ke depannya."
"Nah itu. Yakinlah, kalau dengan berusaha dan ikhtiar, kamu pasti akan menemukan orang yang tepat. Yang akan menyayangi dan menjagamu sama seperti kakakmu."
Seketika Ayssa memelukku. "Terima kasih Rein. Aku sangat beruntung bisa bertemu dan kenal denganmu. Karena dengan mengenalmu, bisa membuka mataku lebih lebar tentang dunia yang sebenarnya."
Aku tersenyum. "Aku juga bersyukur bisa bertemu denganmu. Karena dengan mengenalmu, membuatku belajar bahwa hidup tak selamanya tentang kebersamaan. Lagi pula, sejak kecil aku memang sudah terbiasa berteman dengan laki-laki. Jadi aku banyak belajar tentang perjuangan dari logika, bukan pemahaman dari hati. Tapi dia juga tak lupa mengajarkan ku bagaimana cara memahami hati diri sendiri dan orang lain. Karena pada intinya, kita harus bisa menempatkan logika dan hati pada posisi yang tepat."
"Oh ya? Dengan siapa?" Tanyanya penasaran.
"Alif." Jawabku.
"Itu artinya, Alif sudah banyak merubah hidupmu ya Rein. Beruntung sekali kamu bisa bertemu dengan pria seperti dia."
"Ya. Sama beruntungnya seperti kamu mendapatkan seorang kakak seperti Hamzah."
Dia terkekeh lalu sejurusnya diikuti olehku.
"Tapi Rein," Sergahnya.
"Iya?"
"Sebenarnya," tiba-tiba ponsel Ayssa berdering. "Eh sebentar ya," katanya. "Kak Hamzah meneleponku."
Aku mengangguk.
Ayssa menjawab telepon dan menekan tombol speaker agar bisa terdengar oleh kami.
"Assalamu'alaikum." Ujar pria itu di seberang sana.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Ayssa. "Iya kak ada apa?"
"Kamu lagi di mana?"
Ayssa seketika menatapku, memberi isyarat untuk menjawab apa.
Sementara itu, aku hanya mengangkat ke dua pundakku. "Terserah." Jawabku pelan.
"Aku, aku masih di rumah Reine. Memangnya kenapa kak?"
Suara di seberang sana tiba-tiba hening.
"Kakak?" Panggil Ayssa, "hallo?" Katanya lagi setelah beberapa detik.
"Eh iya? Maaf ya. Tadi ada yang kemari."
"Iya kak tak apa. Memangnya ada apa kakak menanyaiku?"
"Oh tidak. Kakak kira kamu sudah pulang. Awalnya kakak ingin memintamu membawakan file di dalam lemari kerja kakak. Tapi ya sudahlah, biar kakak pulang saja."
"Oalah, maaf kak. Kalau begitu biar Ayssa bawakan saja."
"Tau usah ay. Kakak bawa sendiri saja."
"Ya sudah. Maaf ya kak."
"Tak apa. Ngomong-ngomong, apa Reine sedang bersamamu?"
Ayssa tiba-tiba menatapku sekilas. Awalnya aku akan ikut berbicara, tapi seketika Ayssa menyuruhku diam dan jangan berkata apa pun.
"Tak ada kak. Dia ke luar sebentar." Jawabnya seperti itu.
Aku begitu terkejut. "Ay-"
"Shuuttt!" Katanya sambil menempelkan jarinya di bibirku. "Biar kita dengar apa yang akan kakak bicarakan." Ujarnya berbisik.
"Apa telapak tangannya sudah baik-baik saja?"
Ayssa bingung lalu dengan cepat memegang telapak tanganku. "Ya Allah, kamu terluka?" Katanya pelan sekali. "Aku baru menyadarinya."
"Ayssa?"
"Eh iya kak. Apa tadi katamu? Tangan Reine?"
"Iya. Apa sudah sembuh?"
"Em tadi aku melihatnya selalu merintih. Lukanya masih sedikit basah."
Seketika aku membulatkan mata. "Oh ya Allah, Ayssa ini benar-benar jahil." Batinku terus menggerutu. Sementara itu ia malah tersenyum licik.
"Benarkah?" Aku bisa mendengar reaksi Hamzah yang terkejut.
"Iya kakak. Aku suruh obati tapi dianya enggan."
"Kalau dia kembali cepat berikan alkohol atau obat merah ya. Kalau bisa perbannya buka agar lukanya cepat mengering. Dan oh, lukanya jangan kena benda-benda yang kotor juga."
Ayssa terus menyeringai sambil menatapku. "Iya kakak siap."
"Ya sudah, kakak tutup ya teleponnya. Jaga dirimu baik-baik. Mau kakak jemput pulang?"
"Tak usah kak, biar aku pesan taksi online saja."
"Baiklah kalau seperti itu. Hati-hati di jalan ya. Assalamu'alaikum." Katanya lalu menutup panggilan.
"Wa'alaikumussalam." Ujarku sambil merebut ponselnya. "Kamu ini menyebalkan Ayssa." Dengusku kesal.
Dia masih tertawa. "Sini-sini, kembalikan dulu ponselku."
"Tak mau."
"Ayolah," tiba-tiba dia merebutnya ketika melihatku sedang lengah. "Dapat juga." Sahutnya lagi sambil tertawa.
"Ayssaaa!!! Kamu ini, untuk apa kamu bicara itu sama Hamzah?"
"Agar kamu tahu bahwa dia itu sebenarnya peduli denganmu. Tapi kamunya tak mengerti."
"Tapi lukaku sudah membaik Ayssa. Nanti-nanti, jangan ucapkan hal-hal yang bohong seperti itu lagi. Oke?"
Dia tersenyum. "Baiklah, maafkan aku ya." Katanya sambil memegang ke dua telinganya.
Aku terdiam lalu menghela napas. "baiklah."
Setelah beberapa lama kami bercengkrama, akhirnya Ayssa meminta izin untuk pulang. Tapi sebelum itu, dia mengatakan sesuatu yang membuatku penasaran.
"Aku akan bercerita kepada mu tentang suatu hal yang sama sekali tak pernah kamu duga sebelumnya. Ini janjiku. Nanti lusa aku akan kemari lagi."
...
Setelah Ayssa pulang, aku bergegas masuk ke dalam rumah sambil membawa gelas kotor bekas tadi. Sebelumnya, aku mendapat pesan dari bibi bahwa saat ini bibi sedang di rumah sakit untuk cek kandungan bersama paman.
Ketika aku akan menuju dapur, mataku tiba-tiba tertuju pada suatu benda asing yang ada di atas sofa.
Aku langsung menghampirinya dan memastikan benda apakah itu.
Benda ini tak terlalu besar. Dan tatkala aku membuka kotaknya, terdapat alkohol, obat merah dan kapas di dalamnya. Aku bingung ini sebenarnya milik siapa. Karena aku rasa bibi tak pernah menyimpan barang-barang seperti ini di sembarang tempat. Apa mungkin Ayssa? Ataukah Alif? Tapi sedari tadi aku bahkan tak melihat mereka membawa benda ini.
Ketika aku akan menutupnya lagi, sebuah kertas kecil tiba-tiba jatuh. Aku segera mengambilnya dan sontak aku terdiam tatkala membaca isi tulisan dari kertas yang aku pegang.
"Dari Hamzah?" Berkali-kali aku membaca tulisan itu kalau-kalau saja aku keliru. Tapi memang benar, nama yang tertulis di sana adalah dia. "Sejak kapan dia ke mari?" Pikirku begitu heran.
...