Malam ini, gua berada di sebuah tempat yang digandrungi oleh rokok dan kopi, tempat ini adalah tempat tongkrongan gua yang membuat seseorang seperti gua merasa bebas lepas, warung. Dari pagi sampai sore, gua pergunakan untuk aktivitas formal. Ketika malam hari datang, gua membebaskan diri hanya untuk sekedar memenuhi syarat lelaki pada umumnya. Gua menongkrong bersama teman tongkrongan gua, bukan teman sekolah ataupun kelas.
"Bagi rokok, lah! Asem nih mulut." Raka menyeka mulutnya menggunakan punggung tangan untuk menyesuaikan ucapannya barusan.
"Isep aja rokok gua." Rokok yang gua pegang terambil alihkan pada sosok kawan bernama Raka.
"Thanks, bro!" Raka mula membakar tembakau yang ia capit oleh bibirnya.
"Nih, Bon! Gua punya temen cewek, dia jomblo. Mau gak lu sama dia?" Topik baru yang Albar buat menggantikan topik sebelumnya.
"Pake segala ngomongin cewek lu pada," sela Raka yang sedang menghembuskan asap rokok.
"Bilang aja lu juga mau, kan?" balas Albar meladeni ucapan Raka.
"Hehehe, tau aja si abang ganteng." Arka menyengir menampilkan deretan gigi putih kekuningannya.
"Punya fotonya kagak?" tanya gua mengembalikan topik yang mulai terabaikan.
"Bentar, gua cari dulu," jawab Albar sambil memainkan layar hp.
"Bon, bukannya lu udah punya cewek?" tanya Raka membuat gua tertegun teringat Sofie. Akhir-akhir ini gua sama Sofie memang jarang komunikasi. Tapi gua kagak bisa bohongin perasaan gua, gua rindu anak itu. Jujur, gua sangat rindu.
"Lah, lu udah punya cewek?" Pertanyaan Raka belum sempat terjawab, muncul lagi pertanyaan dari si Albar.
"Iya, udah," jawab gua apa adanya.
"Gua kira lu jomblo," ujar Albar mengurungkan niatnya memperkenalkan gua dengan temannya.
"Udah-udah. Daripada ngomongin cewek kagak jelas, mending kita mabok," saran Raka.
"Nih, gua punya ceban." Albar menyimpan uang bernilai 10 ribu di atas meja warung.
"Gua adanya goceng," jujur Raka menunjukkan uang bergambar Imam Bonjol.
"Ah elah lu," protes Albar.
"Yaudah, sisanya dari gua ae. Tapi elu yang belinya," putus gua mengeluarkan uang 50 ribu lalu memberikannya pada Raka.
"Iya." Raka tersenyum paksa.
Raka pergi membeli minuman keras, dan kita menunggu sambil melanjutkan obrolan. Menunggu kedatangan Raka yang tak kunjung kembali membuat gua bosan, gua pun memutuskan untuk membeli rokok di warung yang gua pake nongkrong ini.
"Nikmat bener dah," ucap gua lepas ketika menghembuskan asap rokok sambil mengadahkan kepala gua dan memejamkan mata.
"Bon," panggil Albar.
"Hm," sahut gua tanpa membuka mata.
"Lu ngantuk?" tanya Albar.
"Kagak, cuma nikmat ae nih rokok." Gua masih memejamkan mata.
"Lama bener dah si kampret," ujar dia yang mulai tidak sabar.
Setelah berbagai umpatan tersalurkan, akhirnya si kampret Raka kembali membawa 2 botol minuman bertuliskan orang tua.
"Abis darimana ae lu? Lama bener," ujar gua langsung membuka mata ketika Raka menyimpan botol itu di atas meja.
"Gombalin dulu cewek-cewek yang baru pulang dari pengajian," jawab Raka cengengesan.
"Tai lu," umpat gua.
Gua membuka setiap tutup botol menggunakan gigi serbaguna yang gua miliki. Kami pun meminumnya dengan sangat menikmati setiap tegukan yang mengaliri kerongkongan kering kami. Semakin banyak yang gua tenggak, nih badan semakin sempoyongan. Ketika gua akan meminum lagi, sebuah tangan kekar menahan tangan gua untuk berhenti melanjutkan kemabukan.
"Siapa sih anjing?!" Gua sangat kesal! Gua melihat ke arah orang yang memberhentikan kenikmatan ini.
"Cukup!" ucap orang itu dengan tenang namun terdengar tegas di telinga gua.
"Dia siapa, Bon?" Albar menanyakan lelaki yang baru saja mengganggu gua.
"Saya teman sekolahnya. Dan kamu, jangan pernah mengajak Ribon untuk melakukan hal seperti ini!" peringatan dari kawan sebangku gua, Dante.
"Gua lagi yang kena, kecut emang." Albar bergumam dengan telernya.
"Muka lu emang kecut," celetuk Raka sambil cekikikan tidak jelas.
"Kampungan tau gak lu? Ngatur-ngatur orang, emang lu siapa gua?" racau gua.
"Tolong dengerkan keinginanku," jawab Dante.
"Eala ribet bener. Bro, gua balik dulu, biar kagak berisik nih si tai." Gua mengalah agar si Dante kagak dihabisi oleh si Albar dan Raka.
"Kagak seru lu, Bon!" Teriak mereka berdua karena gua mulai menjauh dari tempat itu.
Gua jalan sempoyongan dirangkul oleh Dante. Kita kagak naik kendaraan, tapi jalan kaki. Karena, jarak antara warung ke rumah gua itu cukup dekat. Dengan susah payahnya menyeimbangkan badan ketika berjalan, akhirnya gua sampe ke tujuan. Dante tau rumah gua karena katanya waktu itu dia pernah ngikutin gua pas gua mau pulang dari sekolah.
Gara-gara mata udah berat, badan terasa pengen jatuh mulu, ditambah kepala gua pusing, tanpa sadar gua tertidur dengan sendirinya di atas lantai kamar. Sangking telernya semalem, gua bangun siang hari, itu juga dibangunin si Dante. Gua berdiri menyesuaikan keadaan.
"Te, kenapa bangunin gua siang bolong begini? Kenapa gak sore atau malem aja sih?" tanya gua bertubi-tubi.
"Kamu belum makan dari kemarin malam. Nih, aku udah siapin makan siang mu," jawab Dante sambil menyuruh gua duduk di kursi meja makan dan telah menyiapkan seporsi makan siang untuk gua.
"Oh." Gua menyantap rezeki dengan sangat hikmat.
"Ribon, jika ada seorang pria yang ingin melamar mu dengan hati yang sangat tulus, apa yang kamu lakukan?" tanya Dia tiba-tib membuat kenikmatan batiniah gua tersudutkan. Bukan karena kaget gara-gara pertanyaan itu, pergaulan gua juga banyak yang kayak begitu. Tapi ya gua heran ae sama dia yang nanya begituan, soalnya tampang dia alim coy!
"Boleh-boleh aje, gak ada yang larang ini. Tapi masalahnya gua normal, gua masih suka sama dada cewek. Jadi, lu pasti tau kan maksud jawaban gua?" jawab gua nyablak.
"Jika itu masalahnya, tolong beri saya tanda bahwa kamu memberi saya kesempatan untuk membuat kamu menjadi milik saya seutuhnya." Jawaban orang alim lebih edan!
"Ya kalo lu penasaran, coba aje," jawab gua kelabakan. Gua jadi merasa risih ketika berdekatan dengan Dante, canggung begitulah intinya.
"Terimakasih." Bisa-bisanya dia tersenyum lepas di kala gua merasa ambyar!
"Yaudah sekarang mendingan lu pulang gih, gua mau istirahat!" ujar gua marah kagak jelas.
"Iya." Si tai malah senyum-senyum kagak jelas juga lagi, pake segala nunduk senyumnya!
Gua duduk termenung di teras rumah sambil nyebat plus ngopi, gua kepikiran akan perkataan si Dante tadi siang. Rokok yang gua sebat, kopi yang gua seruput jadi terasa kagak enak membuat gua memilih untuk bengong di sore hari ketika sunset semakin tenggelam. Bengong itu sangat nikmat, tapi ya kalo didasari dengan pikiran ganjel tetep ae terasa pait, emang tai lu Dante! Se-tai-tai nya tai, lebih tai-an si Dante! Tau gak lu?!