'Drrrtt, drrrtt, drrrtt'
'Drrrtt, drrrtt, drrrtt'
"Iya-iya sabar," ucap gua pada nomor yang menelpon nomor gua sambil mengusak rambut menggunakan handuk. Walaupun gua tahu ucapan gua tadi kagak bakalan ngaruh, tapi ya reflek aja gitu.
"Buka pintu depan lo sekarang! Gue mau masuk," ujar seseorang di seberang sana.
"Maaf, ini dengan siapa?" tanya gua, karena yang menelpon gua kagak ada namanya.
"Ini dengan Alya di Bandung," jawabnya seperti menjawab kuis-kuis yang ada di sponsor acara tv.
"Maaf, Alya mana?" tanya gua memastikan.
"Alya anak lo! Ya Alya temen kelas elo lah!" jawabnya sewot.
"Oh elu, Ya? Ada apa malem-malem gini ke rumah gua?" aneh gua.
"Udah cepet buka dulu, nanti gue jelasin di dalem rumah lo,"
"OTW!" jelas gua mematikan sepihak gelombang panggilan Alya.
Oh iya, belum gua jelasin. Alya itu adalah orang yang manggil gua dengan sebutan 'Bule kampung'. Ya, dia orangnya. Semenjak kejadian pertemuan pertama gua dengan dia waktu itu, membuat pertemanan gua dengannya kagak berjalan mulus sampai sekarang. Gua kagak tahu maksud dia apaan datang kemari.
"Lama banget sih lo! Dingin nih di luar," teriaknya ketika gua telah membukakan pintu rumah sementara gua.
"Yaudah, sini masuk!" titah gua sambil berjalan duluan meninggalkan Alya yang masih setia berdiri dengan memasang wajah geramnya.
"Gue cuma mau minta maaf,"
"Soal?" Gua kagak paham.
"Soal nilai," jawabnya yang masih berdiri di depan gua.
"Oh, lupain! Udah terjadi juga kan?" suruh gua mengikuti keinginan Dante sambil menghisap rokok dengan kasar.
"Duduk mari, gak pegel tuh kaki berdiri mulu? Kalo lu mau minum, ambil sendiri tuh di dapur. Anggap aja rumah sendiri," lanjut gua.
"Ogah! Rumah sempit gini," jijiknya membuat gua sedikit terkekeh.
"Alya-Alya, hadeuhh....," ngakak gua sambil menggeleng pelan tanda kagak paham lagi arah tujuan anak ini.
"Namanya juga dikasih dan sementara, Ya," lanjut gua dibarengi hembusan rokok yang gua hisap.
"Bob!" panggil dia sambil duduk samping gua.
"Hm?" sahut gua mematikan rokok pada asbak yang ada di atas meja ruangan ini.
"Laper," maksudnya memanggil gua.
"Yaudah, tunggu bentar ye!" ujar gua. Gua pun berdiri lalu berjalan ke arah dapur.
Gua membuat makan buat Alya. Hanya mie instan, sangat sederhana bagi dia. Butuh waktu tiga menit bagi gua untuk menyiapkan itu. Setelah siap, gua memberikannya pada Alya.
"Nih makan dulu, habisin ye!" ujar gua sambil menyimpan semangkuk mie instan dan segelas air putih.
"Makasih banyak!" girang dia membuat gua merasa lega.
Gua melanjutkan pekerjaan yang sempat ditunda sementara, menulis lagu bermodalkan gitar, buku dan pena hitam. Gua duduk di atas lantai sambil menghadap ke arah meja dan berhadapan langsung dengan Alya yang mengikuti gua untuk duduk lesehan di atas lantai.
"Bob." Gua hanya merespon dengan mengangkat kedua alis gua tanda bertanya 'Apa'.
"Lo lagi ngapain?" tanyanya sambil menyimpan kembali gelas yang airnya telah ia minum.
"Bikin lagu," jawab gua ketika gua menulis lirik yang telah terpikirkan.
"Ngapain capek-capek bikin lagu? Buat apa? Musisi bukan udah sok-sokan bikin lagu," ujarnya meremehkan.
"Buat nyenengin batin gua doang sih," jawab gua seadanya.
"Nih mie nya udah gue habisin,"
"Simpen aja disitu, ntar gua beresin," titah gua sambil terus fokus pada kunci gitar yang gua mainkan.
"Bon, stop dulu mainnya gue mau ngomong serius!" rengek Alya membuat gua terpaksa berhenti menyelesaikan proyek yang gua punya.
"Gue udah urus semua tentang rangking dan nilai. Gue tahu kok lo memberontak soal itu kan?"
"Lu tau darimana?" tanya gua memotong pembicaraan dia.
"Dari orang yang lo tolak cintanya," jawab dia membuat gua terheran-heran.
"...." Gua menautkan kedua alis memberikan kesan kagak paham.
"Dante," jawabnya malas karena ketidak pahaman gua.
"Jangan sakitin Dante lagi ya, Bob. Gue udah berusaha nurutin kemauannya biar dia seneng, tapi lo dengan mudahnya nyakitin hati Dante. Dengan gue bilang kayak gini, semoga lu paham maksud gue, Bob." Tetesan air mata keluar dari sang milik dengan senyuman di bibir membuat arti air mata yang keluar itu sangat menyakitkan hati sang puan.
"Lu suka sama Dante?" tanya gua ragu sambil mengangkat alis kiri gua.
"Gue jatuh cinta sama dia, gue sayang sama dia" lirihnya semakin menjadi-jadi.
"Bukannya dia g-gay?" tanya gua memastikan dengan intonasi ragu.
"Gue tahu, gue tahu itu semenjak 2 bulan gue memendam rasa suka gue ke dia. Tepatnya sih waktu masih kelas 10," jawabnya dengan senyuman yang terpaksa dibuat.
"Sakit hati yang dia rasain gara-gara gue yang udah bikin orang kesayangannya kesel, ngebuat hati gue sangat sakit, Bob. Dia ngancam gue dengan ancaman dia gak bakalan kenal gue lagi selamanya, segitunya dia cinta sama elo!" jelasnya membuat gua kikuk.
"Tapi sorry, Ya. Gua kagak bisa nerima cinta dia,"
"Kenapa?" tanyanya dengan memasang ekspresi datar.
"Gua suka sama seseorang." Dia terkekeh-kekeh mendengar alasan gua.
"Bacot lo, Bob!" marahnya dengan smirk di akhir ucapannya.
"Bob, semenjak dia kenal lo, dia kembali ceria, dia bisa ketawa bareng temen-temennya lagi, bisa ngejalanin kehidupan yang semestinya. Tolong jangan rusak itu semua!" ujarnya menjelaskan keadaan Dante.
"Maksud lu?"
"Lu bisa minta penjelasan lebih lanjut ke Fahmi, gue gak ada hak untuk ngejelasin itu semua. Gue pulang dulu ya, makasih buat mie instan dan air putihnya!" ucap dia sambil mengambil tasnya yang ia simpan di atas sofa.
"Gua anter ya, Ya? Udah malem, khawatir gua soalnya lu cewek, kalo laki mah pulang sendiri jalan kaki ae sih gua mah bodo amat," tawar gua sambil mengambil kunci mobil.
"Boleh,"
Malam begini, Kota masih aja dipadati kendaraan dan lampu penerang jalan. Di pertigaan jalan arah rumah Alya banyak musisi jalanan yang sedang berjuang mendapatkan rupiah untuk kebutuhan sehari-harinya. Salah satu diantara mereka menghampiri kendaraan gua, gua menurunkan jendela agar bisa mendengar lebih jelas musik yang ia mainkan menggunakan sebuah ukulele sebagai iramanya. Gua mendengarkan dengan khusyuk, kagum melihat anak-anak yang usianya sangat belia rela mengadu nasib di jalanan dengan bakat yang membuat inisiatif gua semakin mengakar kemana-mana.
"Nih, buat jajan. Baik-baik, ya! Jangan nakal! Kakak permisi dulu, ya," ujar gua memberi uang merah satu lembar padanya, lalu gua menjalankan kembali mobil yang gua kendarai karena kendaraan-kendaraan yang ada di belakang gua pada kesetanan ngelaksonin gua agar cepat menerobos lampu merah pertigaan yang telah berpindah ke lampu warna hijau.
"Tuh kan, Bob! Diklaksonin banyak orang. Elo sih pake ngajak ngobrol gelandangan segala," ucapnya enteng.
"Sorry, dia bukan gelandangan. Dia anak kecil yang sengaja dibuang, entah itu dibuang keluarganya, atau dibuang oleh masyarakat. Coba kalo kita inisiatif memberi, membina dan memanusiakan manusia, pasti kagak akan pernah ada kata gelandangan," ujar gua setenang mungkin. Karena, kalo gua kagak bisa ngendaliin lagi emosi gua, gua pastiin Alya udah dapet warna memar di wajahnya. Gua kagak mau mukul cewek lagi, cukup Sofie yang pernah merasakannya.
"Iya, Bob. Maaf." Alya menundukkan kepalanya.
Jarak rumah Alya semakin dekat. Gua memang kagak tahu dia tinggal dimana. Dia hanya ngasih tahu alamat dan ciri-ciri rumahnya.
"Bob, maaf rumah gue jelek," ucapnya sambil menunduk malu.
"Maaf gue udah bilang rumah sementara lo sempit, udah hina lo didepan umum," lanjutnya semakin merasa bersalah.
"Santai aja lagi, Ya." Gua meyakinkan dia bahwa hal itu kagak penting buat gua.
"Lo masih mau temenan sama gue kan?" tanyanya memohon.
"Tentu aja lah! Tapi temenan ama gua mah ada syaratnya,"
"Apa tuh?" bingung Alya.
"Open minded, itu doang kok syaratnya. Ya maksudnya lu jangan menilai sesuatu apapun itu dari apa yang lu lihat atau apa yang lu denger. Kagak harus berpikir intelektual, cukup respect aja sama sesuatu apapun itu,"
"Siap, Bos!" responnya sambil hormat layaknya ajudan sang jenderal. Gua terkekeh dan reflek mengusak rambut dia.
"Nyebelin banget sih, Bob!" kesalnya.
"Yodah sekarang lu cepet masuk gih, gua mau balik. Sumpek liat lu dari tadi," canda gua.
"Iya-iya," nurutnya masih memasang wajah kesal.
Tugas gua menjaga cewek yang lagi bareng sama gua udah kelar. Tinggal balik, terus selesain lagu yang akan gua bawa buat kompetisi band yang gua bangun.