Chereads / BOB RIBON / Chapter 12 - Berkenalan dengan Sosok yang Sebenarnya

Chapter 12 - Berkenalan dengan Sosok yang Sebenarnya

Sumpek dan berisik, itulah kondisi ruangan yang gua tempati saat ini bersama Dante sambil mengobrol bersama. Dante terlihat akrab dengan penghuni-penghuni atmosfer yang sama. Oh, bukan akrab lagi, melainkan Dante diperlakukan layaknya sang ketua. Dante bilang tempat ini bisa disebut tongkrongan.

"Kamu gak kangen sama aku?" Gua mengernyitkan dahi atas perlakuan cewek sexi yang sedang asyik menggoda Dante.

Dante memberi isyarat pada salah satu kawannya untuk membawa cewek genit itu pergi menjauh dari dirinya.

Dante berdiri dengan gaya yang baru gua lihat, nyeleneh akut!

"Woy!" teriak Dante meminta perhatian semua teman-temannya.

Dia mengajak gua untuk berdiri di sampingnya. Gua cukup malu menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang belum gua kenal.

"Kenalin, dia Ribon, dia milik gua!" Gua malu dan sangat kaget, dia berani-beraninya memberi pengumuman goblok seperti itu!

"Kalo sampe ada yang berani nyolek dia," ujarnya sambil menunjuk muka gua.

"Nasib lu akan berakhir di antara dua tempat, rumah sakit yang berakhir di kamar mayat, atau rumah sakit yang akan berakhir di lubang lahat. Lu tinggal pilih ae mau berakhir dimana kalo penasaran mah." Dante memperingati dengan tegas dan sedikit beringas.

"Paham kagak?!" tanya Dante memperingati lebih tajam lagi.

Semua orang yang ada di ruangan ini bersorak paham. Dante pun bersmirk puas mendengar jawaban teman-temannya, gua duduk kembali tanpa perintah dan tanpa izin darinya.

"Bon," panggil Dante dengan lembut.

Gua memalingkan muka dengan kesal.

"Kamu kenapa?" tanyanya sambil menarik dagu gua untuk menatap matanya.

"Hey. Mata kamu kenapa, hm? Kok segitunya lihat aku?" Gua masih diam membisu ketika ditanya olehnya.

Gua membuang muka dengan kasar sehingga membuat tangannya yang masih berada di dagu gua terlempar mendadak.

"Sorry, boleh tinggalin kita berdua?" tanya gua pada teman-teman Dante yang tadinya sedang mengobrol dengannya.

"Lu kagak lupa kan mau ceritain kenapa lu pake topeng goodboy?" tanya gua menagih hutang Dante yang belum terbayarkan.

"Karena, aku penasaran sama kamu. Lalu rasa penasaran itu, tumbuh menjadi rasa ingin mengenal. Rasa ingin mengenal itu, tumbuh menjadi rasa sayang. Rasa sayang itu, tumbuh menjadi rasa cinta. Rasa cinta itu, tumbuh menjadi rasa ingin memiliki." Hisapan rokok kedua kalinya ia hisap lebih dalam.

"Dengan berbagai cara aku lakukan agar bisa memilikimu seutuhnya. Awalnya aku kira kamu menyukai sosok yang baik karena kamu orang yang jenius. Nyatanya, kamu lebih suka dengan sosok yang apa adanya." Gua terbengong bodoh.

"Waktu itu aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku saja, tidak lebih. Tapi, kamu menganggap berlebihan." Senyum simpul terukir di akhir kalimatnya.

"Lu ngomong pake bahasa kebanyakan orang pake aja dah, aneh gua dengernya." Gua mengambil rokok yang ada di atas meja.

"Jangan pernah merokok lagi, okay?" lembut, namun tegas. Itulah intonasi peringatan Dante pada gua.

"Kurang-kurangin merokoknya," lanjutnya mulai melembutkan lagi intonasi bicaranya.

"Ck. Lu ngomong pake bahasa yg biasa lu pake ke temen-temen lu aja, agak aneh gua dengernya kalo lu pake bahasa lembut begini. Kalo kagak mau diubah, ngapain ngasih tau diri aslinya kek gimana," sindir gua sekenanya.

"Aku merasa kurang ajar kalau bicara kasar pada orang yang udah aku pilih untuk aku jaga."

"Oh, gitu. Te, lu bisa gak liatin gua bukti nyata kalo lu itu seorang badboy yang dibilang Fahmi? Gua penasaran se-badboy apa, se-beringas apa sih elu tuh? Paling badboynya cuma bisa naklukin anak cupu," ledek gua.

"Sejauh ini kamu belum paham sama diri aku?"

"Ha? Apaan sih? Lu ngomong apa?" Gua kebingungan mencerna maksud dia.

"OK!" final Dante memutuskan perbincangan ini.

"Kamu masih inget sama..." Dante menggantungkan kalimatnya membuat gua semakin gemas.

"Raka! Albar!" teriak Dante memanggil dua nama yang asing gak asing bagi gua.

Tak lama kemudian, dua sosok manusia menghampiri kami yang sedang menunggu sebuah maksud.

"Inget mereka, Bon?"

"Elu?" bingung gua mengacuhkan pertanyaan Dante.

"Siapa coba?" tanya Dante pada gua.

"Mereka orang yang paling ditakutin ama masyarakat kan?" jawab gua sambil mengernyitkan dahi.

"Kalo kamu mau tau aku kayak gimana aslinya, silahkan lihat temen-temen aku," ujar Dante menjawab simbol tanda tanya yang ada di pikiran gua.

"Eh lu pada, ngerti kan maksud gua?" Dante memberi sebuah isyarat (?) pada Raka dan Albar.

Lagi lagi gua mengernyitkan dahi gara gara bingung ama si Dante. Ribet amat orangnya, kenapa kagak to the point aje orang gila?! Salah gua juga sih pake kepo segala.

Gua pun yang sedang kelabu ditarik sopan oleh Raka dan Albar.

"Biasa aje kali nyet nariknya, kagak usah kek narik raja Inggris." Jarak langkah kaki yang berada dalam ukuran satu diameter, gua suruh mereka ubah ukuran diameter tersebut menjadi lebih besar, yang artinya gua suruh mereka untuk jalan duluan di depan gua.

Ruangan ini tidak terlalu mewah, tidak terlalu luas, tidak terlalu nyaman. Malahan tempat ini sangat acak-acakan.

"Maaf-maaf ae nih. Bukannya gua ada maksud apa apa cuy, tapi kita kagak mau nyari perkara ama Dante." Itulah kalimat pembuka yang Albar ucapkan ketika tepat berada di dalam ruangan yang Dante maksud tadi.

"Sebenernya kenapa sih?" Gua murka plus kepo.

"Ceritain, Bar!" Titah Raka pada Albar.

"Baca tuh koran Tempo yang di tempel di tembok," ujar Albar pada gua sambil menunjuk sang objek.

Karena rasa penasaran gua yang egois, gua pun menuruti perintah Albar.

Gua menenggak ludah yang terasa kering ketika membaca lebih jauh isi koran tersebut. Shit, men! Dante jauh lebih beringas, lebih nakal, lebih barbar dari gua! Gua malu banget, malu yang ke dua kalinya!

Dante berasal dari siswa STM yang pasti kalian pun tahu dunia STM itu seperti apa. Dante dikeluarkan dari STM ketika kelas satu semester dua, gara-gara bacok orang sampe kritis. Akhirnya dia pindah sekolah yang dimana kepala sekolahnya adalah istri dari pamannya sendiri, jadi seperti pakai orang dalem. Mendalami ilmu pelajaran kelas satu SMA selama tiga tahun berturut-turut hingga akhirnya pamannya lah yang menaikkan Dante ke jenjang kelas selanjutnya, disitu juga berarti Dante seangkatan dengan gua tapi beda usia. Dante tidak baik kelas selama tiga tahun berturut-turut itu disebabkan karena kejahilan dia, kenakalan dia, ke bar-bar an dia, ke gilaan dia dalam hal membantai seseorang atau segerombol orang. Dante adalah seorang mantan narapidana gara-gara kasus kriminal. Dante adalah seorang ketua dari geng besar anarki, geng besar motor balap liar, dan geng-geng besar lainnya yang dinobatkan sebagai geng terberingas di kota ini bahkan sampai ke luar kota.

Gua pun keluar ruangan dalam keadaan kelu, kelu yang dibuat sendiri. Kagak tahu bakal bertingkah gimana di hadapan seseorang yang selama ini gua remehkan. Rasanya anjing banget!

"Gimana sayang?" Pertanyaan Dante yang mendadak membuat gua tersontak kaget.

Gua lihat ke sekeliling, si Raka dan Albar udah ngacir ke alamnya. Seakan merasakan perasaan gua, tanpa sepengizinan gua, Dante menggendong gua versi monyet lagi gendong anaknya. Gua kagak peduli lagi sama rasa kaget, yang gua rasain hanya satu, malu!

Dante memangku gua dalam posisi duduk yang bertempat di tempat awal gua duduk.

"Udah, gak usah malu. Gak usah merasa gak enak." Sebuah telapak tangan mengelus-elus punggung gua dengan lembut seakan memerintahkan sugesti gua untuk tenang.

Dan dari sinilah dimulainya rasa segan gua pada sang kekasih bayangan, Dante. Gua menerima dia sebagai kekasih bayangan, karena gua pengen tahu sejauh mana Dante mencintai gua. Apa hanya karena perasaan? Atau hanya untuk sebagai pelampiasan hasrat?