Chereads / BOB RIBON / Chapter 8 - Luluh

Chapter 8 - Luluh

Udah tiga hari gua bolos sekolah cuma gara-gara ucapan si Dante. Dan sekarang, dimana hari ke-tiga ini gua melarikan diri dari orang gila itu, gua menghabiskannya di sebuah pagelaran seni teater yang cuma butuh biaya seharga Rp45.000,00 untuk membayar tiket masuk.

Gua bawa badan kemari hanya seorang diri, yang berarti gua jomblo. Ya. Dengan momen yang bersamaan dengan jiwa gelisah gua tempo hari, Sofie mencapakan gua lewat DM Instagram! Ya gua sih nerima-nerima aje, wong gua juga sadar kok selama ini gua ngebiarin dia semenjak gua bertransformasi ke Indonesia. Bukan hanya itu informasi yang gua dapat selama belakangan ini, kawan kawan lama gua juga udah pada bisa menentukan titik kemandiriannya sebagai seorang anak.

Pagelaran yang ada di depan pandangan gua sekarang mempertunjukkan seni teater tentang  legenda si Kabayan. Gua sangat menikmati alur ceritanya, dimulai tirai yang akan disingkap kan hingga titik alur yang sekarang sedang diperankan sangat terlihat mendalami dan mampu menghipnotis setiap sorot mata penonton. Sangking tenggelamnya dalam pertunjukkan yang diperankan, tak terasa waktu acara pun sudah selesai.

"Buseeeetttt, manis bener nih cewek. Indonesia punya stok beginian darimana woy?!" batin gua teriak ketika gua menoleh ke arah orang yang manggil nama gua dengan sebutan Kakak dan menyebutkan ciri-ciri fisik dan pakaian yang gua kenakan.

"Ini, Kakak, dompet dan rokok Kakak tertinggal di bangku ruangan tadi," ucap si cewek itu ketika dia ada dihadapan gua.

"Em...Terimakasih, ya!" balas gua ramah dengan sedikit salah tingkah.

"Tidak masalah," ucap dia lagi dengan senyum manis yang membuat jantung gua mengadakan party di musim panas, sesak yang melelahkan!

"Kamu mau kemana?" tanya gua basa-basi biar akrab.

"Saya mau ke acara kuliner yang ada di pusat kota ini, Kakak," jawabnya dengan raut wajah yang menyerupai simbol tanda tanya.

"Kalo gitu boleh gak kita bareng? Soalnya aku baru pertama kali ke Bandung. Jadi, takut nyasar kalo kesana-kesini sendirian," dusta gua. Dan dia cuma menjawab dengan anggukan kecil yang ditaburi oleh senyuman manis di bibir.

"Oyah, nama aku Bob Ribon, panggil Ribon aja. Kalo kamu?" tanya gua yang pada dasarnya memegang pepatah "Tak kenal maka tak sayang", siapa tau kan kalo udah kenalan dia jadi sayang sama gua?

"Laurenssy, panggil saja Olin," jawabnya menjabat salam kenal gua.

"Yaudah, yuk!" ajak gua untuk berkelana mengelilingi pameran kuliner.

Setelah menjelajahi dunia kuliner di Bandung pada malam ini, gua dan Olin bersinggah di sebuah cafe anak muda. Suasana malam ini seakan mendukung niat gua untuk mengenal Olin lebih jauh, tidak terlalu ramai, dan tidak terlalu sepi. Dengan keadaan perut kita yang udah kenyang duluan sebelum ke tempat ini, gua dan Olin memutuskan hanya memesan secangkir kopi hangat yang tentunya akan mengurangi bahkan menghilangkan rasa ngantuk.

"Kok kopinya pait banget, ya?" tanya gua ke Olin sambil menyesuaikan ekspresi yang gua lakoni.

"Ini manis kok, kan kita memesan hal yang sama," jawab dia polos.

"Beneran pait. Tapi pas liat kamu ternyata aku sadar kalo manisnya pindah ke kamu," gombal gua.

"Kamu tau basi, kah?" tanya dia yang gua tahu itu pasti hanya sebuah candaan. Dan gua pun hanya menjawab dengan senyuman kecut yang hambar.

"Eh, Lin. Kamu sebenernya orang mana sih? Kok logat ngomongnya beda?" kepo gua.

"Saya orang Papua, Kakak." Senyum dia membuat seorang Bob Ribon ambyar!

"Oh gitu. Terus ke Bandung dalam rangka apa?" Gua semakin penasaran!

"Hanya liburan," jawabnya enteng.

"Berarti bakal balik lagi ke Papua, dong? Terus aku gimana? Baru aja kenalan tadi." Ekspresi gak rela gua pasang sedemikian rupa.

"Kakak boleh berkunjung ke Timur sana." Keramahtamahan dia membuat gua semakin luluh dan kagak rela berpisah!

"Nanti kita bareng saja, bagaimana?" tawarnya menyuruh gua untuk memilih sebuah pilihan.

"Kapan?" Sebatang rokok menemani kesepian bibir ini.

"Minggu depan. Soalnya, mulai minggu depan saya akan sekolah kembali." Semakin lama gua bersama Olin, hati gua semakin luluh sedalam-dalamnya melihat kepribadian dan rupa manis yang bertengger di diri Olin!

"Boleh tuh boleh." Apapun yang akan terjadi nanti, yang penting gua bisa ngapel ke rumah dia!

"Oh iya, Kakak. Boleh tidak Ko simpan nomor telepon di handphone saya? Supaya lebih mudah berkomunikasinya," tanya dia yang terlihat mulai teringat sesuatu yang hampir terlupakan.

"Nih." Gua melakukannya dengan sangat senang hati.

"Kalo begitu, saya mau pulang. Terimakasih!" Lagi-lagi hati gua ambyar!

"Ok!" Gua kagak mampu lagi menahan getaran jantung yang ada di dada gua.

Gua pun mengantarkan Olin ke hotel yang ia tempati selama di Bandung. Malam ini sangat mengasyikkan di tengah keramaian Kota yang menyempurnakan keadaan ini. Hidup sebagai perantau memang menyenangkan, selain dapat pengalaman, sepercik perasaan pun tak luput dari kisah nyatanya. Menjalankan rutinitas di negeri orang ternyata membuat gua semakin penasaran tentang hal-hal lainnya yang lebih mendasar, lebih luas lagi ruang lingkup yang ingin gua cari tahu. Seperti kisah gadis manis yang hidup di Papua. Ternyata Papua yang baru gua tahu selama gua berpindah-pindah tempat, Papua menyimpan sebongkah harta karun yang sangat menggiurkan.

Tanpa oceh sana-sini, gua langsung pulang setelah mengantarkan Olin sampai ke tempat tujuannya.

"Gelap gini, mati dari pusatnya kali nih lampu," gumam gua ketika sampai di kamar, dan gua pun mencoba untuk menyalakan saklar lampu.

"Wanjrit!" kaget gua.

"Hufft...Elu ternyata, Te. Ngapain sih disitu pake digelapin segala lagi ruangannya?" cerocos yang berasal dari kesepontanan diri gua.

"Kamu kemana aja?" tanya Dante mengalihkan pertanyaan yang gua keluarkan.

"Main," jawab gua malas.

"No! Itu jawaban dari, "Kamu ngapain?". Bukan, "Kamu kemana?"." Langkah kaki dia menghampiri posisi gua.

"Ck! Udahlah, mendingan lu sekarang pulang ae ye," lelah gua sambil mengacak-acak singkat rambut gua.

"Yasudah. Lebih baik sekarang kamu mandi, nih handuknya. Makan malam udah aku siapin," ujarnya sambil melempar kecil sehelai handuk hitam yang biasa gua pakai.

"Gaperlu, makasih. Udah kenyang," tolak gua sambil memasuki kamar mandi.

Seperti biasanya, durasi mandi yang gua gunakan hanya membutuhkan kurang lebih 15 menit. Gua bernostalgia terlebih dahulu sebelum beranjak tidur melalui jepretan foto yang gua ambil bersama Olin.

"Lin, gua bakal perjuangin elu," ucap gua teguh ketika gua akan memejamkan mata untuk terlelap tidur.

Rasa penasaran gua tentang Papua semakin memuncak ketika semakin dalam gua menanamkan perasaan tulus pada Olin. Apa yang akan terjadi nanti? Papua? What do you think about Papua, dude?