Chereads / BOB RIBON / Chapter 9 - Tragedi Penyogokan Nilai

Chapter 9 - Tragedi Penyogokan Nilai

Kagak terasa hari ini adalah hari ke-tiga gua menjalankan ulangan akhir semester atau seringkali disebut UAS. Gua belajar keras semampu gua dan gua mengerjakannya sebaik mungkin tanpa melakukan kreativitas contek mencontek. Bagaimanapun hasilnya nanti, berarti itu yang terbaik buat gua. Ingat bro, Tuhan lebih tau daripada kita, Tuhan lebih paham apa yang terbaik buat kita. Dalam part ini gua cuma mau kasih satu saran, jangan pernah menyalahkan keadaan! Ingat, keadaan sulit atau keadaan yang kagak kita inginkan bukan berarti keberuntungan menutup kemungkinan. Dan ingat, keadaan seperti itu mengajarkan kita untuk bisa terus berdiri kokoh di atas kaki kita sendiri! Bagaimana dengan keadaan mudah atau keadaan yang sesuai dengan ekspektasi kita? Keadaan seperti itu lah justru adalah kode, sinyal dan frekuensi untuk menyadarkan akal sehat dan hati nurani kita agar senantiasa selalu bersyukur dan saling menolong. Cukup melakukan ke-dua hal itu dengan hati yang tulus, maka hidup dan jiwa akan selalu dalam keadaan tenang seperti menyaksikan sekaligus mendengar suara air terjun yang sedang mengalir.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa seorang pengawas yang baru saja memasuki ruangan yang menjadi saksi kami dalam menjawab setiap pertanyaan yang tertulis di dalam web yang telah disediakan.

"Baik, Bu!" jelas kami menjawab baik-baik saja.

"Syukurlah jika seperti itu. Sudah siap untuk mengerjakan ulangan hari ini?" tanya pengawas tersebut dengan ramah.

"Siap, Bu!" semangat kami menjawab.

"Baiklah, sekarang kita berdo'a terlebih dahulu agar diberikan kelancaran dan kemudahan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketua murid! Silahkan pimpin teman-temanmu,"

Sang KM pun menuruti perintah pengawas tersebut, kami berdoa dengan hikmat. Setelah memanjatkan do'a selesai, kami satu persatu pun mulai memasuki web ulangan yang telah diberitahu link dan tentu dengan password-nya.

Ya, gua akui teman-teman gua memiliki kreativitas contek mencontek yang tinggi. Lu yang lagi ada di bangku sekolah, atau pernah sekolah pasti tahulah bagaimana mereka beraksi. Walaupun setiap dinding ruangan dipasang alat perekam berupa cctv, nyali mereka seolah enggan untuk tunduk mengikuti maksud cctv itu dipasang.

"Mereka terlalu ada-ada aja buat gua yang gini-gini aja," batin gua berbicara diikuti oleh senyum simpul di bibir.

Satu-persatu peserta mulai me-submit hasil pengisian UAS di mata pelajaran pertama. Kamipun menunggu 15 menit untuk melanjutkan mata pelajaran selanjutnya. Seperti biasa, kami mengisi waktu tersebut dengan sangat beragam. Ada yang dengan mempelajari materi selanjutnya, berdiskusi tentang soal-soal yang baru saja dikerjakan ataupun materi yang selanjutnya akan menabrak waktu 10 menit yang tersisa, ada yang dengan bergurau ria, ada yang memanfaatkan waktu dengan mengistirahatkan kesadaran, ada yang mengisi kelaparan dengan bekal yang dibawa ataupun dengan jajanan yang dibeli di kantin sekolah, ada yang sibuk menyiapkan kertas kecil berisi huruf-huruf kecil untuk perbekalan selanjutnya, dan ada yang berkeliaran di luar ruangan hanya untuk menyejukkan kesumpekan.

*****

UAS tersisa 2 hari lagi yang artinya ulangan akan segera berakhir di semester ini dan nilai pun akan segera diumumkan. Di jam pulang sekolah kagak sengaja gua mendengar percakapan antar dua wanita di sebuah ruangan yang bertuliskan "Ruang Kepala Sekolah" di papan pintu yang pintunya sedikit terbuka, entah sengaja dibuka, entah kagak sengaja terbuka, gua kagak tahu pastinya yang penting isi dari percakapan tersebut membuat indera pendengaran gua agak terusik.

"Apa uang segitu bisa membantu anak saya?"

"Cukup, Bu. Ibu tenang saja, akan saya bantu semaksimal mungkin. Ibu hanya perlu duduk manis di rumah dan menunggu kabar dari anak ibu sendiri. Oh iya maaf, Bu. Tadi siapa nama anak ibu?"

"Alya, kelas XI IPS—,"

"Bon!"

"Anjrit, Lu!" kaget gua ketika ada serangan rangkulan mendadak dari kawannya Dante, Fahmi.

"Lagi ngapain lu ada disini?"

"Sst...Jangan berisik!" titah gua menempelkan jari telunjuk pada bibir gua sendiri.

"Kenapa?" tanyanya berbisik-bisik.

"Dengerin, Mi!" Kami berdua menguping pembicaraan dialog dua orang didalam ruangan yang ada dihadapan kami.

Ok, pembicaraan mereka ada yang janggal!

*****

"Mi! Si Dante kemana? Kok dia kayak yang ngejauh dari gua?" tanya gua selepas memasuki rumah sederhana gua.

"Sibuk, mungkin." Tas yang ia bawa di simpan di samping sofa.

"Ada yang lu tutupin nih pasti," celetuk gua sambil cengengesan.

"Kagak ada," jawabnya santai.

"Ah lu mah pasti disuruh tutup mulut kan sama si Dante?" tanya gua mulai kagak santai.

"Tutup mulut apaan? Kagak juga," tanya dia yang dijawab oleh dirinya sendiri.

"Oh iya, Bon. Siapa tadi yang nyogok nilai UAS?" tanya Fahmi penasaran.

"Kerjaan lu, nih. Maen ngalihin topik mulu gawean lu," sabar gua.

"Gua serius, Bob Ribon," ucap dia sambil tersenyum paksa.

"Alya," jawab gua sambil melepas kaos kaki berwarna hitam.

"Anak mana dia?"

"Anak IPS," jawab gua malas.

"IPS berapa?"

"Kagak tau, kan elu tadi ngagetin gua. Jadi, gua kagak denger dia anak IPS berapa. Yang pasti sih, dia seangkatan sama kita. Nyebat, Mi?" jelas gua sambil menawarinya rokok yang gua keluarin dari bungkusnya.

"Nama Alya kan ada dua di angkatan kita," jawabnya sambil menolak halus tawaran gua.

"Dua palalu?"

"Emang ada dua, Bon. Yang satu alya kelas kita, yang satunya lagi Alya anak IPS 3,"

"Alya IPS 3 mah namanya Amalia, Pinter!" ujar gua sambil tersenyum paksa.

"Kan sama aja, dia juga dipanggilnya Alya, kok," tuturnya sewot.

"Serah lu dah serah,"

"Kalo misalnya yang nyogok nilai iru bener dari kelas kita kita, gimana?"

"Liat nanti aja," putus gua sambil membaringkan tubuh di atas sofa.

*****

Pembagian raport semester akhir pun mulai dilaksanakan. Para orangtua murid senantiasa datang ke sekolah untuk mengambil hasil belajar anak-anaknya di sekolah. Tapi tidak dengan gua, gua mengambil raport hanya seorang diri. Gua kagak punya sanak saudara di daerah sini, sanak saudara gua berada di ibukota negara ini.

Sebuah raport telah gua genggam yang pastinya itu adalah milik gua. Setelah semua orang tua mendapatkan hak mereka, wali kelas yang telah membagikan raport kami pun mulai mengumumkan tangga rangking murid-muridnya. Rangking diumumkan dari akhir sampai pertama. Pengumuman rangking semakin dekat ke arah rangking 3 besar. Dan hasilnya?

"Gua rangking 2? Dan Akya rangking 1?" tanya gua dalam hati.

"Ada yang kagak beres, nih. Gua harus kasih tau ini ke Fahmi," ujar gua dalam hati.

Pembagian raport dan rangking pun selesai. Gua segera mencari Fahmi yang gua kagak ketahui keberadaannya.

"Bang! Lihat Fahmi kagak?" tanya gua pada abang-abangannya Fahmi.

"Tadi ama si Dante di kantin,"

"Ok, Bang! Thank you!" ujar gua sambil berlari meninggalkan senior gua.

"Fahmi, Dante!" panggil gua sambil masih berlari. Yang dipanggil menoleh ke arah gua.

"Ada apa, Bon?" tanya Fahmi yang merasa enjoy dengan kehadiran gua. Beda dengan Dante yang memalingkan wajahnya ketika gua menatap kearah dia.

"Duduk dulu sini, capek gua, jawab gua sambil duduk di bangku kantin. Merekapun ikut duduk di hadapan gua sambil memakan makanan yang dibeli.

Gua menjelaskan semuanya sambil membuktikan rekaman wali kelas gua yang mengumumkan tangga rangking.

"Kan bener apa kata gua, yang nyogok nilai itu si Alya kelas kita." Fahmi paham apa yang gua maksud.

"Kagak adil, Mi! Gua kagak suka ama yang kayak begini. Bukan masalah nilai atau rangking, tapi masalah kadilan yang dipermainkan oleh uang," marah gua.

"Udah, yang lalu biarkan saja," celetuk Dante seolah kagak setuju ama ucapan gua.

"Maksud lu apa, Te?"

"Ya begitulah," jawabnya acuh yak acuh.

"Ini bukan masalah takdir, Te!" ujar gua meninggalkan mereka berdua.

Ok, gua kagak bakal menyelesaikan ini, gua akan diam dan terlihat bodoh dimata mereka! Seperti alur yang gua buat dari awal. Ya walaupun gua sering melepaskan topeng palsu gua, tapi mereka kagak ada yang nyadar satupun! Entah memang benar seperti itu, entah gua nya aja yang kagak tahu.