Tinggal di sebuah rumah yang cukup sederhana merupakan salah satu buah dari penerimaan beasiswa membuat gua ingin tau lebih jauh mengenai kota yang saat ini sedang gua singgahi. Bukan tentang kuliner atau tempat wisata yang gua kepoin, namun tentang kepribadian para penduduk, kemampuan dan pola pikir para penduduk, sudut pandang mereka tentang sesuatu, dan cara mereka mengatasi masalah hidup.
Dari hasil penelitian yang gua lakukan semenjak dua hari yang lalu atau tepatnya semenjak gua mendarat di Bandara Nasional, menyuruh otak gua untuk berpikir sejenak mengenai perencanaan dan persiapan hidup yang akan gua langkahkan sesegera mungkin! Dalam penelitian kecil ini, gua cuma mengandalkan mata, otak, dan perasaan sebagai alat ukur aktivitas ini.
Menurut data yang telah terkumpul, gua memutuskan untuk memiliki sikap bertolak belakang dengan kenyataan yang telah terkuak oleh data-data tersebut namun dalam waktu bersamaan pula gua akan tetap menjadi diri gua sendiri yang gak akan pernah ninggalin ciri khas gua seperti biasanya.
"Kampungan." Tanpa sadar mulut gua bergumam dengan smirk meremehkan sebagai pemanisnya, dilanjutkan dengan alam sadar gua yang baru aja mencerna gumaman yang tadi terlontarkan.
Sedikit cerita umum tentang isi dari kota ini yang udah gua ringkas sesingkat-singkatnya. Gaji besar, pangkat luhur, gelar tinggi, zona nyaman, posisi menjanjikan, dan akal sehat yang telah tertutup ambisi merupakan hal yang dipuja-puja oleh masyarakat sini dengan tidak etisnya. Sebagian besar dari mereka, membaca atau belajar itu menjadi musuh terbesar dalam zona kenyamanan. Harta, tahta, dan fisik sempurna juga tidak jauh dari sudut pandang mereka. Rata-rata cara mereka dalam mengatasi sesuatu atau berbagai masalah hidup itu terlalu terbelit-belit dan terlalu berbasa-basi. Istilah simpelnya gini, orang jelek atau bodoh tidak akan dihargai!
"Apa harus punya muka dan fisik yang enak dipandang dulu baru bakal dihargai? Apa harus punya otak pinter atau cerdas baru bakal dipuji dan mendapatkan pengakuan? Apa harus punya harta berlimpah, pangkat luhur, dan gelar tinggi baru bisa disegani tanpa dipandang rendah? Omong kosong mereka tentang "Anda sopan, saya segan!" hanyalah sebuah ilusi rekaan yang cuma pengen diperlakukan demikian namun faktanya sangat omong kosong!" emosi gua perlahan tersulut oleh pertanyaan gua sendiri yang udah gua ketahui jawaban pastinya.
Menurut pendapat gua mengenai pernyataan masyarakat tentang hidup itu sebenarnya simple merupakan hasil dari pemikiran yang sempit dan hanya bertumpu pada satu sudut pandang! Coba kalo bersudut pandang luas dan berpikir lebih jauh dan lebih dalem lagi, pasti akan berpikir sebenarnya hidup itu berat, gimana kagak berat? Yang namanya manusia pasti setiap lakonnya dikasih ujian hidup untuk meningkatkan kualitas dirinya, dan gak sedikit orang yang mampu menyelesaikan masalah sampai benar-benar tuntas! Ditambah hadirnya kasus verbal yang melanda sebagian hidup manusia pasti akan membuat pikiran kecil agak terusik dan hati kecil bertambah sedikit kacau walau hanya 0,001%.
Permasalahan-permasalahan itu semua tergantung dari cara mereka memperlihatkannya kepada orang lain. Ada yang dengan cara jalur A, ada juga yang dengan cara jalur B, C, D, atau yang lainnya. Yang pasti kebanyakan orang di sini melakukan acara suap-menyuap dan sogok-menyogok dahulu hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang menempatkan mereka pada tempat yang basah dan mendapatkan posisi.
Sepersekian detik dari pemikiran itu, laptop yang berada dihadapan gua memberikan notifikasi panggilan video masuk dari Bokap kesayangan. Tanpa banyak mikir lagi gua menerima notifikasi tersebut.
"Kak Ribon! El kangen Kak Ribon tau!" teriakan semangat 45 itu berasal dari Elzhara yang berada di seberang sana. Gua hanya tersenyum sebagai jawaban atas pernyataan dia.
"Gimana kabar hari ini, Bim?" tanya Mama diiringi menyebut nama gua dengan nama panggilan sewaktu gua kecil, Bimbim. Oh, dulu gua dipanggil Bimbim karena gua suka dengan kendaraan beroda empat pada saat itu. Namun, panggilan itu perlahan lenyap ketika gua semakin beranjak dewasa. Alasannya, karena menurut gua itu terlalu kekanak-kanakan, sedangkan posisi gua dalam keluarga adalah sebagai anak sekaligus kakak! Dipikir-pikir itu konyol juga.
"Baik, Ma," jujur gua.
"Mama akan mengirim uang mingguan buat kebutuhan kamu disana," kata Mama Meila yang terlihat khawatir.
"Mama gak perlu repot-repot, di sini Bimbim bisa cari uang sendiri kok. Bimbim kan ke sini biar bisa mandiri, kalo kayak gitu terus kapan Bimbim bisa mandirinya?" jelas gua protes.
"Aish, anak ini," jengkelnya membuat Papa Max berdecih tanpa mau mendengar penyelesaian ungkapan dari istri tercintanya.
"Cih, gak ada perantau sejati dimanjain Mama nya." Gua menyimak perdebatan singkat mereka sambil menyulutkan sebatang rokok yang tinggal tersisa satu.
"Bimbim, kamu bisa gak kasih contoh yang baik buat adek kamu?" Perempuan paruh baya dibalik layar laptop ini yang berstatus sebagai nyokap gua bertanya dengan lemah lembut namun ada sedikit penekanan.
"Yaelah. Mama sama Papa aja yang ngasih contoh baik ke El, biar Bimbim yang ngasih contoh buruknya. Biar dia bisa bedain mana yang pantes dilakuin dan mana yang gak perlu dilakuin," jawab gua seadanya.
"Kak Ribon bener kok, Ma. Dari Kak Ribon, El bisa bedain mana yang positif dan mana yang negatif." El tersenyum ramah membenarkan jawaban gua.
"Bimbim pulang setiap semester selesai," kata gua sambil mematikan rokok dengan cara menempelkannya diatas lidah gua hingga apinya padam, karena disini kagak ada asbak.
"Artinya kamu pulang 6 bulan sekali?" tanya bokap gua.
"Hm. Yaudah, Bimbim mau mandi dulu," ujar gua seadanya karena badan gua udah kerasa kagak enak, kayak ada lengket-lengketnya gitu.
"Tetep kritis ya, Bim!" ujarnya mengingatkan gua untuk selalu berpegangan pada salah satu prinsip yang udah lama gua genggam.
"Pasti." Gua menjawab dengan mantap sambil dibarengi cengiran nyeleneh khas gua. Seketika itu pun gua memutuskan panggilan video tersebut.
Gua segera menyelesaikan aktivitas membersihkan badan di sore hari ini. Gua keluar kamar mandi menggunakan handuk berwarna hitam yang gua lilitin dipinggang kurus gua, tanpa banyak lama gua hanya menggunakan celana dalam dan boxer.
Sore ini gua berniat untuk mengunjungi para tetangga baru dan memberikan sebagian masakan gua sebagai salam perkenalan. Kagak ada satupun orang yang tau bobot keluarga gua. Kalo pun mereka tau, gua kagak peduli.
Kegiatan itu pun berlangsung dengan baik, ada beberapa tetangga yang ngajak gua masuk ke rumah mereka buat ngeteh bareng atau hanya sekedar ngobrol untuk mengakrabkan diri, gua menerimanya dengan senang hati.
Gua yang udah beres mempersiapkan segalanya, memutuskan untuk berkeliling sebentar di area tempat tinggal sementara gua.
Hari semakin gelap dan sunset semakin kagak kelihatan, gua mengambil selfie berlatar belakang sunset sebagai dokumentasi dan kenang-kenangan nanti. Gua pun mengecek hasil jepretan gua, dilihat-lihat gua ternyata sangat ganteng. Justin Bieber ae lewat! Iya, gua ngelewat depan dia gitu :)