Drttttt.. Drttttt.. Drtttt..
"Ya halo?"
"Lo dimana"
"Udah di tempat biasa. Lo langsung ke sini aja buruan"
"Iya iya ini bentar lagi juga nyampe."
"Ya udah buruan gue kasih Lo 5 menit Tasya."
"Buset.. 5 menit pala lo pe'a ini masih jauh banget gila."
"Sebelum 5 menit gue traktir lo belanja!" sahut iyan cepat.
"Tunggu!" ucap Tasya setelah itu sambungan berakhir sepihak.
Tasya memacu mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Malam ini dia memakai mobil Jazz merah kesayangannya.
*****
Tiba di arena balap Tasya langsung mengambil posisi di belakang garis start. Terlihat seseorang mengetuk jendela mobilnya dari luar.
"Siapin isi dompet lo yan." ucap Tasya tersenyum tipis.
"Iya gue siapin asal lo bisa menangin balapan ini dulu." balas Iyan lagi menunjukan senyum simpulnya.
Mata Tasya beralih melirik mobil BMW hitam disamping mobilnya.
"Yaps, kita liat aja nanti." Ia tersenyum kecut dan menaikkan kembali kaca mobilnya bersiap untuk memulai pertandingan.
Sorak sorai penonton dan pendukung saling memberi support kepada dua pembalap yang saling beradu merebut posisi terdepan.
Tasya menginjak dalam pedal gas mobilnya. Melaju dengan kecepatan diatas rata rata. Ia menumpahkan segala bebannya dalam perlombaan ini. Menumpahkan segala emosi yang sudah lama berkecamuk. Bayangan Ibunya menangis memohon maaf kepada sang Ayah mulai menari di kepalanya membuatnya tanpa sadar emosi.
Mobilnya melaju sangat kencang dan tanpa sadar melewati garis finish untuk kesekian kalinya.
Ia berhenti di tempat Riyan berada kemudian keluar dari mobil dan menatap sang pemilik BMW hitam yang tadi menantangnya. Ia melipat kedua tanganya dan bersandar pada pintu mobil.
Keluarlah sang penantang masih dengan raut datar dan dinginnya. Ia memberikan kunci yang segera di tangkap oleh Riyan yang sengaja berdiri di samping tasya.
"Pertandingan yang menakjubkan Nona." ucap pria itu dengan menunjukan smirknya.
Tasya mengacuhkannya karena ia sangat tidak suka dengan pria angkuh dan sombong.
"Asa lagi kemampuan anda jika ingin menantang seseorang." Balas Tasya dingin. Kemudian memberi isyarat pada Riyan untuk meninggalkan tempat ini.
Pria itu diam memandang kepergian gadis dingin itu.
Gadis Yang cukup berani.
*****
"Dari mana kamu Tasya jam segini baru pulang." Suara berat itu menghentikan langkah Tasya menginjak anak tangga.
Tanpa menolehpun Tasya tau bahwa Ayahnya lah yang memanggil. Yap dia Roman Budianto
"Dari rumah teman." Balas Tasya dingin tanpa menoleh dan hendak melanjutkan langkahnya yang tertunda.
"Apakah begitu caramu jika menjawab pertanyaan orang tua Gadis malam?" Sahut ayahnya lagi.
Tasya berbalik dan menatap ayahnya datar dan diam mendengar kelanjutannya.
"Besok kamu akan pindah sekolah."
"Nggak mau."
"Begitukah jawabanmu kepada orang yang lebih tua darimu Tasya? apa Ibumu terlalu memanjakanmu sampai kau lupa bagaimana bersopan santun? Keluar sesuka hati ikut balapan liar tidak jelas. Kalau kau tertangkap razia nanti malah merepotkan."
"Tenang saja aku tidak akan merepotkan lagi dan tidak akan mengikuti balapan itu. "
Setelah berkata demikian Tasya naik dengan cepat dan membanting pintu kamar keras.
BRAK.
Melihat sikap anak perempuannya Roman hanya menghela napas.
Tak berselang lama ponselnya berbunyi
"Ya hallo?"
"..."
"Baiklah saya segera kesana."
Setelahnya ia mematikan panggilan dan buru buru keluar dari rumahnya. Tanpa ia sadari Tasya memperhatikan kepergiannya dan sempat mendengar pembicaraannya di telefon tadi.
Melihat kesibukan ayahnya tasya hanya dapat menghela napas. Sesak ia rasa selama 12 tahun ini ayahnya hampir tidak punya waktu untuk keluarga.
Andai ayah tau aku merindukan saat saat kita berkumpul bersama
Bercanda bersama di halaman rumah.
Tertawa lepas dalam kesederhanaan.
Kenapa ayah terasa begitu sulit ku raih?
Padahal ayah nyata dekat denganku!
Apa sebenarnya yang membuat ayah seperti ini?
Apakah pekerjaan ayah?
Aku tak tau pasti Ayah kenapa tapi,
Dalam do'a Tasya selalu berharap Yah
Semoga ayah bisa kembali seperti dulu lagi.
Bermain bersama kami lagi.
Berkumpul bersama keluarga kecil ayah.
Dan aku juga berdo'a suatu saat nanti aku bisa membantu ayah kembali bersama kami lagi.
Tasya sayang Ayah.
Tulisan tangan Tasya pada Macbooknya mewakili semua yang ia rasakan. Tempat membuang keluh kesahnya. Tempat ia mengadukan sesak di dadanya melihat keluarganya yang semakin berantakan.
Hari demi hari berganti. Tasya masih saja sendiri memendam rasa sakit sendiri. Dalam hati kecilnya ia berharap semoga suatu saat ada yang mau menjadi pendengar yang baik untuknya.
Menjadi teman curhat yang baik untuknya.
Dan yang mau memberi dia semangat di saat keterpurukannya.
****
Di lain tempat seorang pria yang tengah duduk di pinggir kasur menatap kosong ke arah jendela besar. Memandang langit malam yang penuh bintang dan membayangkan wajah gadis yang sedari kecil yang ia kagumi.
Gadis dengan raut wajah ceria dan bawel. Gadis dengan senyum termanis. Gadis cilik yang mampu mengubah hari hari kelamnya.
Sungguh dia merindukan gadis cilik itu.
Pria itu menghela napas dan membaringkan tubuhnya di kasur king size-nya.
12 Tahun lalu...
"Hai." sapa seorang gadis cilik
Ia menatap gadis itu datar sedang sang gadis cilik membalas tatapan itu dengan senyum termanisnya.
"Namaku Tasya kau boleh memanggilku Syasya atau Tata atau Tasya" ucap gadis polos itu.
Pria yang di ajak bicara hanya memandang gadis itu dengan dahi mengkerut.
"Apa yang kaka lakukan disini?"
Tak ada jawaban
"Apa kaka sendiri?"
Tak ada jawaban
"Oh ya siapa nama kaka? Aku sudah memperkenalkan diri dan kaka sudah mengetahuiku tapi aku sama sekali belum mengenal kaka."
Pria itu tidak menyahut dan hanya membuang pandangannya kedepan.
Sedari tadi tasya kecil selalu berusaha mengajak pria itu berbicara tapi sayang si pria tampaknya enggan menyahutinya.
"Ayo pulang Jhony." Wanita paruh baya yang entah datang dari mana langsung mengajak pria yang ternyata bernama Jhony itu untuk pulang.
Tampaknya ia ibunya.
"Oh, hay gadis kecil siapa namamu?" Sapa wanita itu pada Tasya.
"Hay tante namaku Tasya."
"Apa kau datang sendiri?"
"Aku datang bersama Ibu dan Ayah tante tapi mereka sedang ada di sana." Sambil menunjuk ke bawah pohon rindang yang tak jauh darinya.
"Jadi kaka namanya Jhony. Boleh dong aku panggil kak jojo." Sambungnya girang.
Ibu jhony hanya tersenyum menatap tasya yang begitu aktif dan ceria.
Dari situlah di mulai perkenalan mereka walaupun kebanyakan tasya yang mendominasinya. Sejak saat itu mereka mulai akrab dan berteman baik tapi sayangnya mereka harus berpisah karena Ayah Tasya yang mendapat pekerjaan keluar kota.
Sampai sekarang ia sama sekali tidak melupakan wajah gadis cilik yang membuatnya kagum itu.
Sial. Rutuk Jhony dalam hati ketika melihat ban motornya pecah.
Matanya menatap sekitar mencari cari bengkel terdekat. Dilihatnya sebuah bengkel tak jauh dari tempatnya berdiri. Diapun mendorong motornya menuju bengkel tersebut, terlihat beberapa orang sedang bekerja. Kalau di liat liat sepertinya pria tersebut seumuran dengannya.
"Bang tambal ban yah," ucapnya.
"Iya mas di tunggu yah, silahkan duduk dulu." Suguh si pekerja ramah pada jhony.
Baru beberapa menit mainkan ponselnya. Terdengar derum mobil sport mendekat Dan masuk kedalam bengkel tersebut.
"Bom! Iyan mana?" Teriak gadis yang memakai masker itu pada salah satu pekerja di sana.
Yang di tanya hanya menunjuk sebuah private room dengan dagunya.
Jhony yang melihat itu hanya diam menatap dan kembali memainkan ponselnya.
Tidak lama kemudian gadis itu keluar dari ruangan bersama pria yang ia kenal dan itu memancing perhatian jhony dari ponsel yang sedari tadi ia mainkan.
"Bom, jaga bengkel yah gue keluar dulu bareng nih putri."
"Sip. Dijagain tuh putri esnya entar cair loh." Gurau Ribom yang di panggil bom bom.
Yang di ejek hanya mendelik tajam pada bombom.
"Awas yah lu bom. Gue pites entar kalau balik." Galak Tasya.
Yah. Perempuan dengan mobil sport hitam itu adalah Anastasya Emerald teman satu sekolahnya yang terkenal Galak. Dan Jhony tidak menyadari itu, pasalnya Tasya memakai pakaian casual dengan rambut yang di kuncir kuda dan masker mulut.
Riyan hanya tertawa dan segera mengajak Tasya untuk pergi. Persis setelah kepergian mobil Tasya, motor Jhonypun selesai di tambal. Ia pun segera membayar dan memacu motornya ke rumah.
****
Setibanya di rumah ia langsung menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai 2.
Setelah berganti pakaian ia keluar menuju dapur untuk mengambil minum. tepat setelah ia menuguk habis minumnya handphone dalam sakunya bergetar menandakan panggilan masuk.
"Ya halo?"
"Kak lu dimana?"
"Dirumah. Kenapa?"
"Jemput gue."
"Emang supir lu kemana dek?"
"Nggak tau. Mati mungkin!?"
"Hust, nggak boleh gitu. Ngomong kok nggak disaring banget."
"Ya udah jemput sekarang nggak pake lama!" Panggilan mati secara sepihak.
"Nasib-nasib punya adik titisan nek lampir kok gini banget" Gumamnya
Sembari mengumpat dalam hati ia mengambil kunci mobil sportnya dan berangkat menjemput adik satu satunya.
Setiba di sekolah adiknya ia melihat adiknya menunggu di depan pagar. Laurend George, adik dari Jhony George. Sifatnya tuh lembut tapi emosional, jarang senyum tapi baik hati, suka menolong tapi benci di puji. Yah begitulah kepribadiannya.
Di perjalanan pulang Laurend mengoceh tentang keseruan dan kesebalannya di sekolah. Sebagai kaka yang baik jhony hanya mendengarkan dengan seksama sesekali berkomentar seperlunya.
"Bang lo punya pacar nggak sih? Atau gebetan gitu?"
"Gak"
"Jawaban lu singkat amat elahh bang, bang," Keluh Laurend
"Terus maunya sepanjang apa?"
"Panjangan dikit kek like, nggak ada emang kenapa gitu! or nggak ada kalau lo? Ah, nasib deh punya kaka gini amat."
"Pacar nggak ada tapi gebetan ada. Trus?"
"Anjirrrr masa!? Serius lo bang, Kirain abang gue yang tampan nan kece ini homo hehehe." Cengirnya.
Jhony yang tidak terima di bilang homo seketika melotot mendengar ucapan adiknya itu.
"Piece bang damai oke, becanda doang kok" Laurend menangkat jari telunjuk dan jari tengah dengan senyum lebar.
"Hummmmmm"
"Gebetan lo orang mana bang? Cantik nggak? Trus satu sekolah? Namanya siapa? Kok nggak di kenalin ama gue sih bang? Wahhh jahat lo jadi abang." Dan serentenan pertanyaan pun mulai di berikan.
"Berisik!" Tegur Kakanya.
Yang di tegur hanya nyengir tanpa dosa. "Tapi seriusan kak namanya siapa?"
"Mau tau banget atau mau tau aja?" Usai mengucapkan kalimat itu ia keluar meninggalkan adiknya duluan kedalam rumah.
Laurend yang di tinggal segera menyusul sambil meneriaki nama abangnya.
"Aduh ini apa sih baru pulang udah ribut ribut gitu." Mrs. Grace Ibunya Jhony dan Laurend.
"Itu tuh ma bang Jhony punya gebetan." Adu Laurend pada sang Ibu.
Mrs. Grace yang mendengar itu menoleh ke arah putra sulungnya dan tersenyum jahil "bener itu bang?"
"Nggak ma bo'ong, sok tau tuh Laurend" elaknya.
"Abang sendiri kok yang bilang." Kekeuh Laurend mengeluarkan muka polosnya.
"Gak apa apa kok bang kalau ada sekalipun nanti bawa aja main ke rumah kenalin sama mama."
"Nggak ada ma suer dehh. Laurend tuh ngaco." Bantahnya mendelik tajam kearah Laurend.
Laurend polos hanya tersenyum tanpa dosa. Melihat muka polos itu Jhony hanya mendengus dan pamit naik ke kamarnya.
****
Waktu makan malam pun tiba keluarga besar Orlando George berkumpul untuk makan malam bersama dalam kesederhanaan.
"Bagaimana sekolah baru kamu bang?" Tanya pria paruh baya yang duduk di ujung meja.
"Lumayan pa, anak anaknya juga baik. Bersahabat semua kok,"
"Baguslah belajar yang rajin kamu. Jangan tawuran terus. Ingat jaga sikap juga sama guru guru kamu." Nasehat Mr.Orlando sang kepala keluarga.
"Dengerin tuh bang. Jangan tawuran mulu" tambah Laurend mengompori.
"Iya pa" sahut Jhony sambil menatap tajam Laurend.
"Kamu juga Laurend jangan suka jailin guru jangan suka bolos."
"Dengerin tuh dek. Jangan suka bolos. Rajin rajin ngerjain tugas jangan malas." Balas Jhony lagi dengan fakesmilenya yang sangat di benci Laurend.
Laurend yang mendengar itu tersenyum paksa dan berujar. "Iya abangku yang kece but durhaka."
Mendengar saling sindir kedua anaknya Mr dan Mrs george itu hanya menggeleng kepala.
"Ya sudah ayo makannya di habiskan setelah itu istrahat besok pagi berangkat sekolah." Ucap Mrs. Grace mengakhiri obrolan di meja makan.