Pagi menjelang siang. Bel istrahat sudah berbunyi sejak 3 menit yang lalu dan di sinilah Tasya berada. Di bangku kosong belakang sekolah. Tepatnya belakang perpustakaan tempat yang tepat untuk sendiri. Tempat ini sangat jarang di kunjungi. Hanya terdapat beberapa siswi yang bisa di bilang nerd yang sekedar datang duduk menghabiskan bekal mereka dan kembali lagi ke kelas.
Duduk dengar gitar di pangkuannya. Gitar yang setia menemaninya sejak iya masih duduk di kelas 6 sekolah dasar. Teman sepi yang selalu ia bawa kemana-mana.
Ia duduk sambil mengeluarkan Machbook yang ia bawa juga sehari hari tempat menuangkan keluh kesahnya tepatnya.
Usai ia menulis beberapa kalimat diMachbook itu dan mulai memetik senar gitarnya.
Tubuh saling bersandar
Kearah mata angin berbeda
Kau menunggu datangnya malam saat ku menanti fajar.
Sudah coba berbagai cara
Agar kita tetap bersama.
Yang tersisah dari kisah ini hanya kau takut ku hilang.
Perdebatan apapun menuju kata pisah.
Jangan paksakan genggamanmu.
Ia menyanyikan lagu tersebut penuh penghayatan. Orang di sekelilingnya hanya menatap dalam diam, Tasya punya suara yang bagus. Ia juga pernah memenangkan kontes tarik suara semasa kecilnya dulu. Tapi semenjak kejadian naas itu ia tidak pernah lagi bernyanyi di depan banyak orang. Ia hanya akan bernyanyi untuk dirinya sendiri.
REFF
izinkan aku pergi dulu yang berubah hanya tak lagi ku milikmu.
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya ku tetap teman baikmu.
Usai menyanyikan lirik tersebut tanpa sadar air matanya telah menggenang di pelupuk matanya. Sekali berkedip saja maka air mata itu akan jatuh. Segera ia hapus air matanya sebelum jatuh.
Suara tepuk tangan seseorang menghentikan gerakannya menghapus air matanya.
"Wow suara kamu bagus juga," Seru pria yang berjalan kearahnya.
Tasya memandang datar orang tersebut.
"Santai aja kali mandangnya, nggak usah gitu amat" ujar sang pria lagi di barengi dengan kekehan.
Tasya sama sekali tidak mengindahkan perkataan pria di sampingnya, ia hanya berbalik dan memandang lurus ke depan tanpa menganggap bahwa ada orang di sampingnya.
"Saya jarang liat kamu bersuara saat di kelas, tapi tadi saya suka saat kamu bernyanyi kamu seperti menghayati lagu yang kamu nyanyikan." Yup kalian bisa menebak. Dialah Jhony yang beberapa hari ini diam diam memperhatikan tasya dari jauh.
Entah kenapa ia ingin mengenal seorang Tasya.
Tasya diam mendengar jhony yang sedari tadi terus mengajaknya berbicara.
"Dari diamnya kamu saya bisa menyimpulkan kalau kamu orang yang kalem, dan pendiam juga tentunya."
Tasya diam lagi.
"Tapi saat pertemuan pertama kita yang tidak disengaja sepertinya kamu orang yang cerewet. Tapi ternyata saya salah yah." Ia terkekeh "kamu ternyata pendiam."
Tepat setelah mengatakan kalimat itu Tasya langsung berdiri dan berkata dengan masih memunggungi jhony.
"Do not judge the book from the cover."
dan pergi menginggalkan jhony yang masih memandang punggungnya dengan senyum tipis.
Jhony belum juga beranjak. Dan saat ia bergeser tanpa sengaja ia menjatuhkan sesuatu. Diliatnya benda itu ternyata liontin dan didalamnya terdapat foto Tasya dan seorang perempuan yang tersenyum manis memperlihatkan lesung pipinya.
Bell masuk berbunyi, segera ia kantongi liontin itu dan beranjak menuju kelasnya.
Setibanya di kelas di liatnya tasya yang duduk tenang menunggu pembelajaran berikutnya. Ia berencana mengembalikan liontin itu tapi melihat tasya yang tidak menyadari barangnya itu hilang membuatnya mengurungkan niatnya.
Ia berjalan santai ke tempat duduknya dan seperti biasa mulai mengeluarkan bukunya sekedar kedok agar terlihat belajar namun nyatanya tidak di pelajari sama sekali.
Tak lama kemudian Ibu Aini masuk dengan buku tebalnya dan dimulailah jam pelajaran geografi.
Selama jam pelajaran Ibu Aini yang menjelaskan di depan Jhony hanya sok memperhatikan padahal pikirannya tertuju pada wanita di sampingnya kini yang sedang fokus pada guru mata pelajaran.
*****
Jam sekolah telah berakhir dan Tasya tidak berniat pulang ke rumah. Dilajukannya mobilnya menuju perpustakaan kota.
Tempat dimana ia akan duduk sambil membaca novel bergenre romance dan teen fiction. Biasanya ia akan menghabiskan sorenya di perpustakaan dan kemudian ke taman untuk sekedar berkeliling.
Merasa lapar saat dalam perjalanan ia singgah di salah satu cafe untuk mengisi perut. Setelah memarkir mobilnya ia masuk ke cafe dan duduk di salah satu bangku pojok yang dekat dengan jendela.
Sambil duduk menunggu pesanan ia ke toilet untuk mengganti seragamnya dengan baju casual yang selalu ia bawa di dalam tasnya.
Setelah selesai ia kembali ke tempatnya menunggu pesanannya. Tak lama kemudian pesanannya tiba dan ia segera menyantapnya.
Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore dan ia masih berada di perpustakaan kota. 2 jam mendekam disana akhirnya ia memutuskan beranjak dan pergi ke taman yang dekat dengan perpustakaan. Ia tidak memakai mobil dan memilih berjalan kaki ia kembali kemobil sekedar menyimpan buku yang ia pinjam kemudian mengambil ponselnya di jok belakang.
Banyak sekali notification dari Ibu dan Kakanya. Tapi ia abainya dengan mengaktifkan mode pesawat agar tak ada yang menghubunginya.
Ia berjalan santai mengelilingi taman. Memperhatikan anak anak bermain sambil tertawa. Setelah puas berkeliling ia memutuskan duduk di salah satu bangku taman.
Tidak lama kemudian seorang anak menghampirinya.
"Kak boleh tolongin bukain ec klim aku nggak." Tanya anak kecil itu dengan tatapan matanya yang polos dan tangannya yang mengulurkan es krim pada tasya.
"Boleh" jawab Tasya dengan senyum manis.
"Kaka cendili?"
"Iya." Jawab Tasya sambil menggendong anak kecil itu agar duduk di sampingnya.
"Aku dicini cama mama dan papa"
"Oh ya? Mama sama Papa kamu dimana?"
"Tuh dicana lagi cama tante tante celewet"
Tasya tekekeh mendengar celotehan anak itu mengenai tante cerewet yang sedangkan bercengkrama dengan Ibu dan Ayahnya.
"O iya, kaka cantik namanya ciapa?"
"Nama kaka Tasya, kalau kamu nama siapa adik kecil"
"Nama aku Cilla Acilla Maicaloh" jawabnya dibarengi senyum yang membuat matanya menyipit. Lucu.
"Shila kamu disini ternyata. Aduh mama cariin juga dari tadi." Panggil seorang perempuan yang aku yakini adalah ibu dari anak kecil ini.
"Maaf yah mba. Shila sedikit cerewet." Ucapnya tersenyum ramah.
"Nggak apa apa kok." Balasku tersenyum pula.
"Ayo shila kita pulang." Ajak mamanya
"Iya ma bental." Ucapnya lagi menahan tangan ibunya. Dan berlari memeluk kakiku. "Kaka cantik makacih yah"
"Iya sama sama shila." Ucapku balas memeluknya lagi dan dia tiba tiba mencium pipiku.
Setelah itu ku turunkan dia dan ia berlari kearah mamanya dan melambai kearahku. Ku balas lambaian tangannya dan saat ia sudah tidak terlihat aku kembali mengingat masa lalu, masa dimana akupun pernah seceria dia saat bertemu teman baru, teman yang sampai sekarang kucari dan kuusaha untukbertemu kembali. Ku helah nafas berat dan beralih menatap arloji yang melingkar manis dipergelangan tanganku.
Waktu sudah menunjukan pukul 6 kurang 10 menit ku langkahkan kakiku menuju mobil yang terparkir di sekitar perpustakaan.
Dalam perjalanan mengemudi aku mematikan mode pesawat yang sedari tadi kugunakan dan menyimpan ponselku didashboard tak lama berselang aku mendengar nada dering ponselku berbunyi menandakan panggilan masuk. Ku geser tombol hijau tanpa melihat nama pemanggilnya karena pandanganku masih fokus pada jalan raya.
"Assalamualaikum" ucapku.
"Walaikumsalam, kamu dimana sya?"
"Tasya di jalan bu ini, lagi nyetir." Dan yup yang menelfon adalah Ibuku.
"Langsung pulang yah nak jangan singgah singgah lagi."
"Iya bu ini mau langsung pulang kok."
"Ya sudah kalau begitu hati hati yah, Ibu tutup. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam"
Tanpa Tasya sadari seseorang mengikutinya sejak ia pulang sekolah tadi sampai ia pulang kerumah. Tanpa sadar orang tersebut tersenyum di balik helm full facenya.
...
Tasya tiba dirumah dengan ekspresi dingin biasanya. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi ia langsung masuk kedalam rumah menuju kamarnya namun saat menginjak anak tangga ke 5 suara tegas seseorang dari arah belakang menghentikan langkahnya.
"Bagus yah, anak perempuan pulang sekolah bukannya langsung pulang malah keluyuran nggak jelas. Pulangnya malam lagi."
"Mas udah." tegur wanita di sampingnya lagi.
"Anak sama Ibu sama aja." Sarkas pria paruh baya itu lagi kemudian melangkah mendahului Tasya.
Namun perkataan Tasya menghentikan langkah pria itu yang baru 2 anak tangga dari tempat Tasya.
"Buah itu kalau jatuh pasti nggak jauh dari pohonnya. Kalau jauh berarti buah itu berasal dari pohon lain." Usai mengatakan kalimat ambigu dengan nada datar itu Tasya langsung melangkah cepat menuju kamarnya dan membanting pintu kamarnya kuat.
Sempat ia dengar Ayahnya memarahi Ibunya karena memanjakannya tapi ia menulikan pendengarannya.
Dari pada memikirkan itu lebih baik ia membersihkan diri.
Setelah mandi ia membanting tubuhnya di kasur queen size miliknya. Masih terbayang pertengkaran kedua orang tuanya tempo hari. Entah kenapa rasanya ia jadi tidak betah di rumah saat ini.
Lama memandang langit langit kamarnya. Perlahan rasa ngantukpun menyerangnya.
*****
At the other place
Seseorang memandang balkon rumah dengan lampu yang masih menyala dari dalam. Pertanda pemilik kamar tersebut belum tidur.
Dering ponsel yang terdapat di sakunya pun memaksanya melepaskan perhatiannya sejenak dari balkon rumah yang ia perhatikan.
"Lo dimana?" Tanya sang penelfon.
"Di jalan bentar lagi nyampe."
"Dijalannya udah dari setengah jam yang lalu kuy. Sampe sekarang masih aja dijalan. Emang jauh banget tuh rumah dari cafe?"
"Bawel lu ah, iye iye ini juga jalan. Udah bye!" Setelah mematikan telefon ia menoleh sekali lagi ke balkon yang sekarang lampunya sudah mati.
Sleep tight princess. gumamnya meninggalkan pekarangan rumah yang sedari tadi ia amati.
****
Waktu menunjukan pukul 2 dini hari dan gadis yang tadinya tertidur pulas sekarang nampak gelisah. Entah ia sedang mimpi buruk apa sampai keringat dengan deras membasahi pelipis dengan air mata yang sudah jatuh dari kedua sudut matanya.
Gadis itu kemudian tersentak bangun dari mimpinya dengan nafas terengah engah seperti sedang lari maraton.
"Just a dream, just a dream." Mengulang kalimat yang sama ia berusaha menetralisir degub jantungnya yang berdebar tak beraturan.
Setelah merasa sedikit tenang ia turun dari kasur dan menuju dapur untuk mengambil minum. Entah kenapa sekarang rasanya ia sangat kehausan.
Saat menuruni tangga, tak sengaja ia berpapasan dengan Kakanya yang juga dari dapur.
"Minum!?" Tanya Adnan ambigu.
yang hanya dibalas dengan deheman dari tasya.
Mendengar jawaban Tasya, Adnan hanya menghela nafas dan mengikuti adiknya ke dapur.
"Lo kenapa sih dek, kayanya marah banget sama Papa?"
Tasya diam.
"Sya kok diem sih? Ini lagi nanya"
Setelah meneguk habis air putihnya barulah Tasya menjawab.
"Yang bilang lagi nyanyi siapa?"
"Ya udah jawab. Why?"
"Kak Adnan kepo banget sih." Decaknya.
"Ya iyalah kepo. Belakangan ini kamu jadi agak pendiam. Eh ralat deh bukan agak tapi pendiam banget."
"Masa?"
"Iya dek ciyusss"
"Hussss nggak boleh bilang ciyusss pamali. Entar Tuhan marah loh"
"Oo iya sorry maaf," menggaruk tengkuknya yang gatal.
"Aku nggak marah sih hanya mood aku lagi jelek aja akhir akhir ini." Tasya menjawab santai.
Jelas Adnan tidak akan dengan mudah percaya apa yang dikatakan adiknya itu namun untuk sekarang ia akan coba menunggu waktu yang tepat. Cause, cepat atau lambat adiknya pasti akan cerita.
"Kak malam ini aku tidur bareng kaka yah,"
"Kok.- tumben biasanya juga langsung masuk kamar aja kalau pengen tidur. Nggak minta ijin gini."
Tasya mendelik "kaka mah gitu nggak izin salah izin juga salah. Au ahh" rajuknya mendahului kakanya.
Adnan terkekeh "iya iya boleh. Apasih yang enggak buat adik kaka ini." Godanya.
Yang digoda balas mendelik"yang sampai belakangan tidur di sofa" jail Tasya kemudian lari mendahului kakanya menuju kamar.
"Wah curang!!" Susul Adnan lari mengejar yang sudah duluan.
Setelah sampai dikamar Adnan Tasya langsung mengambil posisi memeluk kasur ditengah kingbed adnan. Entah kenapa ia lebih suka kasur empuk milik kakanya dibandingkan miliknya, Padahal sama saja.
"Kak adnan kalah jadi tidurnya di sofa" kekeh Tasya yang sekarang sudah menjulurkan lidahnya ke arah Adnan. Berhasil mengerjai kakanya itu adalah hal menyenangkan yang paling di sukai Tasya.
"Nggak boleh dong. Masa gitu kan nggak adil tadi kamunya yang lari duluan."
"Adil nggak adil kaka tetep kalah!"
"Yah sya, masa tega liat kaka sendiri tidur disofa sih."
Tanpa memperdulikan ekspresi memelas Adnan Tasya kembali berujar. "Kak tadi aku mimpi buruk."
"Mimpi apa kamu dek?"
"Tapi aku mau nanya dulu, kok kaka bisa ada di dapur sih tadi??"
"Tadi kaka haus akhirnya turun minum. Lagi pula besok kan weekend jadi nggak masalah tidur sampe siangan dikit." Acuh adnan lagi.
"Ooo gitu,"
"Kamu mimpi buruk apa sih dek. Kaka kepo nih,"
"Aku mimpi ada yang pengen ngebunuh papa tapi aku yang di jadiin pionnya."
Kening adnan mengkerut mendengar cerita adiknya itu. "Mimpi itu hanya bunga tidur Tasya."
"Tapi aku ngerasa, itu tuh kaya realita kak.. Kaya bakalan terjadi gitu." Kekeuh Tasya lagi.
"Itu mungkin karena pengaruh kamu yang terlalu benci sama papa makanya ke bawa mimpi."
Tasya diam.
"Lagi pula kamu kenapa sih benci banget sama papa?"
Tasya diam lagi.
"Sya, kenapa sih semenjak kejadian itu kamu sepertinya benci banget sama papa?"
Yang ditanya akhirnya ia bersuara. "Aku benci papa jauh sebelum kejadian itu kak jadi tolong jangan sangkut pautin bencinya aku sama papa dengan kejadian itu."
Adnan diam. Masih menatap adiknya yang sekarang duduk sambil besandar di kepala ranjangnya.
Lama keduanya terdiam akhirnya adnan mendekat dan merangkul adik semata wayangnya itu.
"Kalau papa punya salah sama ade, maafin papa yah. Papa hanya mau yang terbaik buat kita." Nasehatnya sambil mengelus rambut panjang Tasya yang lurus.
Tasya hanya berdehem menanggapi. "Kak aku ngantuk,"
"Ya udah tidur gih."
"Tapi kaka temenin di sini." Rengek Tasya dengan ekspresi yang sangat lucu.
"Loh kan tadi kaka disuruh tidur di sofa." Heran adnan. Adiknya itu cepat sekali berubah ubah layaknya bunglon yang menyesuaikan diri dengan tempatnya.
"Emang kaka mau tidur disofa yang kecil itu?" Tanya tasya lagi.
Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil nyengir Adnan berujar lagi. "Ya enggak mau sih, Masa kamu tega sih dek kaka di suruh tidur di sofa."
"Ya udah makanya."
"Iya deh iya," Adnan terkekeh.
Setelah itu Tasya menggeser sedikit badannya memberi ruang yang cukup untuk kakanya itu.
Tidak lama setelahnya Tasya mulai hilang kesadaran berbaur dengan mimpi entah itu mimpi indah atau buruk seperti tadi.
Sedangkan Adnan masih belum tidur sama sekali. Sambil memperhatikan wajah polos adiknya. Tanpa sadar senyum tipis terukir di wajahnya.
"Gue akan selalu jagain lo sampe kapanpun. Dan nggak akan biarin lo sendirian." Gumam Adnan pelan sambil mengecup puncak kepala Tasya dan menutup mata mencari ketenangan di alam mimpi bersama adiknya itu.