Pagi ini cuaca lagi cerah-cerahnya, secerah hati gue. Jam delapan pagi gue udah stay di kampus, padahal gue baru ada kelas jam sepuluh nanti. Gini nih, efek diajak ngobrol sama kak Dipa kemarin. Jadi, hari ini gue sengaja dateng pagi-pagi buat minta formulir di markas jurnalistik.
Tok ... tok ... tok ...
Gue mengetuk pintu markas anak-anak jurnalis.
"Ada yang bisa dibantu?" Seorang cewek berkerudung menghampiri gue. Yaaah, padahal gue ngarepnya Kak Dipa yang keluar.
"Ehm... saya mau minta formulir pendaftaran kepanitiaan, Kak." jawab gue
"Bentar ya, silahkan masuk dulu." balas cewek itu mempersilahkan gue masuk. Ini pertama kalinya gue masuk markasnya anak jurnalistik. Banyak tempelan-tempelan khas mading dan foto para anggota jurnalistik. Ada foto kak Dipa, nyempil di barisan paling belakang, tapi dalam sekali liat gue udah langsung mengenalinya.
"Dipa, ada yang minta formulir jurnalistik tuh..."
Teriakan cewek tadi terdengar sampai di telinga gue berhubung markas jurnal nggak begitu besar dan sekat yang dijadiin pembatas antar ruangan di dalam markas cuma pakai papan triplek.
Jangan bilang kak Dipa yang bakalan ngasih formulirnya. Duh jantung gue mendadak jadi deg-degan. Padahal baru mau dikasih formulir, gimana kalo nanti gue dikasih mas kawin coba. Mungkin badan gue langsung kejang-kejang kali yaa?
Seperti yang udah gue duga, Kak Dipa muncul dari salah satu bilik ruangan sambil bawa formulir. Dia senyum ngeliat gue. "Temennya Adi yang kemarin di perpus ya ?"
"Iya Kak," jawab gue, "masih inget ternyata."
"Baru satu hari masa udah lupa." ujar Kak sambil tersenyum.
Subhanallah, mimpi apa gue semalem, sampai pagi-pagi udah disenyumin cogan idaman. Untung gue diciptain dari tanah liat, coba kalo dari lilin, pasti udah leleh gara-gara nggak kuat liat senyumnya.
"Temen kamu yang kemarin nggak ikut sekalian?" tanya Kak Dipa.
"Por-- eh Adi maksudnya?"
"Yang kemarin ke toilet." jelas Kak Dipa.
"Rio?"
Kak Dipa mengangguk.
"Kemarin udah saya ajakin tapi dianya nggak mau Kak." ungkap gue pada Kak Dipa.
Kak Dipa mengangguk paham. "Sayang banget ya."
"Emang kenapa Kak?" tanya gue kepo. Habisnya muka Kak Dipa keliatan kecewa gitu. Kan mancing banget buat dikepoin.
"Nggak papa, kalau banyak yang daftar kan makin bagus." jawab Kak Dipa.
"Ya mau gimana lagi Kak."
"Ini formulirnya," Kak Dipa nyerahin formuĺirnya ke gue, "batas pengumpulan formulir minggu depan ya."
"Makasih, Kak," ucap gue pada Kak Dipa seraya ngambil formulirnya, "kalo gitu, saya permisi dulu Kak."
"Sama-sama." Kak Dipa nganterin gue sampai ke beranda markas. Gue nunduk niatnya mau masang flat shoes yang tadi gue lepas, tapi malah salah fokus jadi ngliatin "anunya" Kak Dipa. Alhasil, gue kepleset. Harusnya, kalo di film atau sinetron kan si cowok bakal nangkep si cewek, terus mereka tatap-tatapan. Tapi berhubung ini bukan film ataupun sinetron, gue pun terjatuh dengan mulusnya. Di depan Kak Dipa. Reaksi Kak Dipa gimana? Tentu saja dia ngetawain gue, kenceng banget lagi, walaupun setelah itu bantuin gue berdiri.
"Hahaha, lo nggak papa kan?" tanya Kak Dipa sambil membantu gue berdiri, "Sorry kalo gue ketawa, refleks sih."
Untung Kak Dipa ganteng dan gue suka. Coba kalo nggak, pasti udah gue tendang tititnya.
***
"Hahahahaha, apes banget nasib lo Vik ... Vik ...."
Sial. Barusan gue habis cerita kejadian tadi ke Rio, dan dia ngetawain gue. Temen macam apa itu. Nggak ada empati-empatinya.
"Rio, yang kamu lakukan ke saya itu jahat!" ungkap gue sambil menyubit perutnya.
"Ya ampun Vik, lo kalo ngomong gitu bukannya mirip Dian Sastro tapi malah mirip Parno." Rio lagi-lagi tertawa. Duh, ini hari sial gue atau gimana sih? Kok dari tadi apes mulu.
"Ciye, yang dipikirannya cuma ada si Porno." Ledek gue ke Rio.
"Faaaak, malesin banget sih." Rio mendadak badmood. Hahaha syukurin.
"Tapi Yoo, kayaknya kak Dipa tertarik deh sama gue," ungkap gue pada Rio, "pas di perpus, dia nanyain kelas gue."
"Perasaan lo doang kali Vik," cibir Rio.
"Terus ngapain coba dia nanya-nanya kelas?"
Rio mengedikkan bahunya. "Ya mana gue tahu."
"Lo aja nggak bisa jawab kan? Jadi ada kemungkinan jawaban gue bener."
"Terserah," sahut Rio cuek. Sumpah nyebelin banget kalo Rio kayak gini. "eh gue juga mau kasih tau elo sesuatu."
"Apaan Yo?"
"Ini juga soal kak Dipa. Jadi--"
"Yo, dicariin Kakak tingkat tuh!
Ucapan Rio terpotong oleh temen sekelas gue.
"Gue nemuin Kak Dipa dulu. Ntar gue lanjutin ceritanya." pamit Rio seraya keluar dari kelas dan ninggalin gue.
Rio nemuin Kak Dipa? Demi apa?
***
Lima menit lagi kelas dimulai. Gue udah nungguin Rio dari tadi, tapi yang ditunggu masih belom juga memunculkan batang hidungnya. Padahal gue udah kepo banget dia ngapain aja sama kak Dipa.
"Akhirnya lo dateng juga."
Senyum gue melebar begitu melihat Rio dateng. Gue udah nggak sabar buat menodong dia dengan berbagai pertanyaan.
Rio cuma menatap gue dengan senyum sok misteriusnya, kemudian duduk di bangku pojokan ---bukannya di sebelah gue tanpa berminat menghampiri gue yang udah menunggu dengan harap-harap kepo. Anjir banget tuh bocah, nggak peka ditunggin dari tadi.
Dengan geregetan akhirnya gue mendatangi dia. "Lo kampret banget sih, gue tungguin dari tadi malah nggak peka!"
"Ada apa sih Vik? Gue baru dateng kok lo udah sewot aja." ujarnya dengan tampang sok innocent, bikin gue pengen nabok.
"Udah deh nggak usah sok polos!" tukas gue sebal.
"Lo bisa liat kan, kalo gue sekarang pake baju, polos dari mananya coba?"
"Anjay, lama-lama gue tabok lo!"
Nggak tau kenapa hari ini Rio ngeselin banget.
"Lo lagi pms ya? Kok bawaannya marah-marah terus," tanya Rio sambil tertawa.
Gue menghela napas keras-keras. Sabar Vika, sabar. Sumpah yaa, gue lebih baik ikut uji nyali daripada uji kesabaran.
"Lo beneran ketemu sama kak Dipa? Lo punya utang cerita sama gue!"
Rio nyengir. "Jadi dari tadi lo sewot gara-gara itu? Tenang aja Vik, pasti gue ceritain."
"Kalo gitu buruan cerita!"
"Kemarin, pas pulang dari perpus, Kak Dipa ngechat gue, buat mastiin, yang di perpus sama Parno, gue atau bukan." jelas Rio.
"Terus-terus?" tanya gue nggak sabar.
"Ya gue iyain aja," jawab Rio, "habis itu...."
"Habis itu, apaan Yo? Kalo ngomong jangan dikredit deh!"
"Sabar napa," Rio berdecak, "habis itu, dia anu...."
"Anu? Anu apaan? Jangan ambigu deh Yo...!"
Rio mendesah. "Duh, gue nggak mau bikin lo iri dan terluka, Vik."
"Udah ngomong aja. Gue udah akrab sama yang namanya luka." ujar gue meyakinkan dia.
"Jadi..."
"Jadi apaan woy?" Gue makin nggak sabar.
"Kak Dipa ngajakin gue hangout." ungkap Rio sambil nyengir.
Mata gue langsung terbelalak. "Terus tadi lo ketemu kak Dipa buat hangout? Kok cepet banget?"
"Enggak."
"Ih, serius Yoo!" Gue mengguncang bahunya pelan.
"Emang nggak. Orang gue ketemu sama anak fotografi."
"Berarti lo bohongin gue?" tanya gue dan disambut gelak tawa dari Rio.
"Kampret lo!" Gue menjitak kepala Rio.
Rio mengaduh kesakitan. "Ini balasan lo setelah gue dongengin panjang lebar Vik?