Gue mematut di depan cermin dan mendapati wajah yang kusut serta mata berkantong. Pasti gara-gara semalam gue nggak bisa tidur ---mikirin Rio. Selama ini, gue merasa seolah udah kenal banget sama dia, tapi ternyata gue salah. Ternyata, ada banyak rahasia di hidup Rio yang nggak gue tau.
Ditambah lagi, otak gue sepertinya akhir-akhir ini juga mulai konslet. Gue nggak tau kenapa, kadang wajah Rio terlihat lebih ganteng dari biasanya, kadang juga, pas lagi gabut nggak jelas, tiba-tiba gue terbayang senyuman Rio. Sesuatu yang sangat nggak wajar, yang entah kenapa semakin gue sangkal, semakin terasa mengganjal dan bikin gelisah.
"Ngaca teros, lama-lama pecah tuh kaca," sindir Rio yang membuat lamunan gue buyar, "lo mau pesen apa?"
Gue sama Rio saat ini lagi ada di kedai kopi deket kampus. Setelah gue paksa-paksa, akhirnya dia mau bayar hutang penjelasannya ke gue. Terus dia ngajakin kesini.
"Lo yang bayarin kan ?"
Rio berdecih, tapi mengangguk juga. Jarang-jarang makan dibayarin Rio, Rio kan kalo sama sesama manusia pelit, tapi kalo sama Alex ---kucing kesayangannya enggak.
"Enaknya pesen apa yaa?" tanya gue sambil sibuk membolak balik buku menu.
"Pesen yang paling murah!" Rio menyahut.
"Ogah, di sini yang paling murah cuma air mineral. Gue pesen greentea ya Yo?"
Rio mengangguk."Lo tunggu sini, biar gue pesenin dulu."
Nggak lama kemudian, Rio kembali dan duduk di hadapan gue. Dia diem, begitu juga dengan gue. Diantara kita nggak ada yang berusaha buat ngomong duluan, sampai akhirnya gue ngalah.
"Yo? Gue nungguin lo buat cerita loh!"
Rio yang lagi asyik mengutak atik hpnya kemudian menatap gue.
"Sabar dong Vik, gue masih mikir kata-kata yang sehalus mungkin biar lo nggak terluka parah."
"Njiir, lo bikin firasat gue jadi nggak enak tau!" sahut gue sebal.
"Tuh kan, belum apa-apa lo udah su'udzon duluan, yakin mau denger cerita gue?" tanya Rio, "gue jadi mikir-mikir lagi nih buat cerita ke elo."
"Segitunya lo khawatirin gue, jangan-jangan lo naksir ya sama gue?"
"Faak. Nggak usah ngarep lo!" Rio menatap gue sebal.
Gue ngakak melihat ekspresi wajahnya yang tampak sebal, walaupun sebenarnya sebagian hati gue sedikit tercubit mendengar isi mulutnya Rio yang kejam.
"Makanya buruan cerita!" pinta gue pada Rio.
"Jadi gini, seben--"
"Silahkan dinikmati Kak," ucapan Rio terhenti karena pelayan yang datang membawa dua gelas greentea.
Gue menghela nafas. Nahan kesel. "Lanjutin ceritanya!"
"Sabar dong Vik," Rio nyengir, "sebenernya ... gue udah tau soal Kak Dipa yang gay."
"Jadi itu bener?" Gue membelalak kaget, "lo tau dari mana?"
"Dari yang bersangkutan lah," jawab Rio, "sebenernya, gue mulai sering chatting sama dia, dan udah dua kali ketemu juga. Terakhir gue ketemu dia pas ada acaranya anak jurnalistik."
"Anjir, gue berasa ditikung sama temen sendiri. Gue juga nggak sengaja liat lo pas di acara itu," gue menyesap greentea perlahan, "kok dia bisa seterbuka itu sama lo?"
Rio mengangkat kedua bahunya. "Mungkin dia nyaman sama gue."
"Kalo dia naksir sama lo gimana Yo?"
Rio cuma tersenyum sambil mengangkat bahunya, dan gue nggak ngerti makna dari senyumnya.
"Emang mahonya udah parah ya? Nggak bisa ditolong? Dia nggak pengen tobat gitu" tanya gue kepo.
"Dia udah pernah ena-ena, beberapa kali malah," jawab Rio, "kayaknya dia nyaman sama dunianya Vik."
Gue yang lagi minum greentea langsung tersedak. "Sumpah? Ena-ena sama cowok?"
"Sama bencong perempatan." jawab Rio.
"Ih, gue serius Ari!"
"Jangan panggil gue Ari, nggak enak dengernya." protes Rio. Nggak tau kenapa dia nggak suka dipanggil Ari.
"Salah sendiri nyebelin," sahut gue cuek. "Jadi, Kak Dipa beneran pernah ena-ena? Sama cewek atau cowok sih?"
"Ya menurut lo, kalo ada gay yang ena-ena, dia bakal ngelakuin itu sama cewek atau cowok?"
"Cc ... cowok." jawab gue.
"Udah jelas kan?"
Gue mengangguk. "Nggak nyangka ya, kak Dipa tititnya udah bekas."
"Njir bahasa lo," jawab Rio kemudian menyesap minumannya, "jadi, masih minat buat memuja-muja kak Dipa?"
"Nggak tau," balas gue, "agak ilfeel sih, tapi dia ganteng. Jadi, gue bakal berusaha maklumin deh. Ganteng mah bebas."
"Ganteng dari mananya coba?" tanya Rio. Dia kayak nggak rela waktu gue bilang Kak Dipa ganteng, mungkin dia iri soalnya kalah ganteng.
"Dari keseluruhan wajahnya lah. Bibirnya sekseh, hidungnya mancung, pokoknya ganteng!"
"Hmm ... terserah." sahut Rio cuek.
"Tapi Yo ... gue jadi kepikiran sesuatu." ungkap gue ke Rio.
"Apaan Vik?"
"Kalo ternyata dia beneran naksir sama lo, gimana? tanya gue penasaran, "terus lo diajakin ena-ena gimana?"
Rio menyeringai. "Tergantung, kalo gue yang jadi cowoknya, palingan bakal gue pikir-pikir lagi."
"Njiiir ... mau-maunya lo nyodok pantat bekas," cibir gue, "Emang selama ini, kak Dipa yang jadi cowoknya atau ceweknya?"
"Faak, bahasa lo alusin dikit napa," omel Rio, "tergantung deh kayaknya, kalo misalkan partner ena-enanya makhluk jadi-jadian semacam Aldo, palingan kak Dipa yang jadi cowoknya."
"Hah? Emang kak Dipa pernah gitu sama Aldo?"
"Ya mana gue tau," jawab Rio, "itu kan cuma permisalan."
"Anjay, jangan bikin gue ngebayangin yang iya-iya dong Yo!" protes gue kesal.
"Habisnya lo duluan yang mancing," balas Rio.
"Tapi, gue masih penasaran, kok bisa sih kak Dipa seterbuka itu sama lo? Gimana ceritanya?"
Rio mengedikkan bahunya. "Udah gue bilang kan, kalo Kak Dipa mungkin nyaman sama gue. Lo sendiri juga nyaman kan, kalo curhat sama gue?"
Gue menatap Rio dalam. Nggak tau kenapa, gue ngerasa Rio nyembunyiin sesuatu. Nggak mungkin orang bisa dengan mudah nyeritain sesuatu yang menyangkut privasinya ke sembarang orang. Sikap Rio yang kayak gini mendadak bikin gue jadi Su'udzon.
"Kenapa diem Vik?" Rupanya Rio menyadari perubahan sikap gue.
Gue menghela nafas. Mencoba mengumpulkan keberanian buat menyuarakan pikiran negatif yang hinggap di kepala gue. Pikiran negatif, yang entah kenapa membuat hati gue jadi nyeri.
"Yo ...." panggil gue.
"Kenapa Vik?" Tanya Rio.
"Lo masih doyan cewek kan? Lo nggak maho kayak Kak Dipa, kan?"
"Emang kalo gue masih doyan cewek kenapa, kalo maho juga kenapa?" Rio malah balik bertanya.
"Kan gue duluan yang tanya." Ujar gue protes. "Tinggal jawab apa susahnya sih!"
Rio keliatan berpikir sejenak. "Kalo gitu, kasih gue alasan kenapa gue harus jawab pertanyaan lo!"
"Gue peduli sama lo!" Jawab gue jujur.
Rio menaikkan sebelah alisnya. "Yakin peduli? Peduli sama sekedar kepo beda tipis loh."
Penyakit songongnya Rio kumat. Bikin gue pengen nabok. "Lo ngomong kayak gitu kayak nggak kenal sama gue aja."
Rio malah tersenyum. "Makanya, kasih gue alasan yang tepat!"
Gue berpikir sejenak. Gue pengen tau karena gue emang beneran peduli. Sederhananya nih, kalo misalkan Rio gay, terus suatu ketika dia nyamperin bencong dan kena razia, kan gue bisa nyelametin dia. Minimal gue bisa bantu jemput dia di kantor polisi.
Akhirnya, gue pun menjawab. "Gue nanya karena gue peduli, gue pengen tau biar gue bisa lebih ngertiin lo, biar gue tau gimana harus bersikap ke elo, biar bisa memahami lo juga disaat orang lain mungkin bakalan ngejudge lo macem - macem."
Rio menghela napas. Gue tau Rio keliatan keberatan buat ngomong. Tapi gue nggak mau meduga-duga, karena gue lebih percaya mulut Rio daripada firasat gue.
"Seperti yang mungkin udah lo duga, ya, gue gay." jelas Rio.
Air mata gue langsung menetes. Hati gue rasanya cekit-cekit. Ini reaksi macem apa coba? denger Kak Dipa gay aja, gue bisa maklum. Entah kenapa ada perasaan nggak rela ketika gue denger pernyataan dari Rio.
"Vik ...."
Makin gue hapus, air mata gue makin netes. Dada gue sakit, nyesek rasanya.
"Vikaa ...." panggil Rio.
"Gg ... Gue ngg ... nggak papa kok Yo," ucap gue terbata, masih menahan air mata yang rasanya makin berlomba-lomba minta dikeluarin, "gue cuma kaget aja."
"Kalo ada lagi yang mau lo tanyain, gue bakal jawab semuanya." Rio berujar.
Gue diem dan menunduk, nggak berani menatap Rio. Air mata gue menetes dengan deresnya, dan gue tau Rio paling nggak suka liat cewek nangis. Namun, kali ini gue nggak sanggup sok tegar di hadapannya.
"Udah sore Yo, gue balik dulu ya." Tanpa menunggu jawaban Rio, gue pergi ninggalin dia. Di jalan, beberapa pasang mata menatap gue aneh karena gue nangis sesenggukan sepanjang perjalanan menuju kost.
***
Sekarang udah beberapa jam sejak kejadian tadi, tapi air mata gue masih aja keluarnya keroyokan. Gue jadi bingung sendiri. Sebenernya ... gue kenapa?
"Jangan tanya kenapa, gue nggak papa!" ujar gue sambil sesenggukan, ketika Ana, teman sekost gue bertanya.
Ana menatap gue dengan tatapan heran bercampur bingung? Tadi pas pulang dari kampus, gue langsung masuk ke kamar Ana dan memeluk totoro ---boneka Stitch punya Ana yang super jumbo dan pelukable sambil nangis sesenggukan.
"Ya Ampun Vika, totoro gue kena ingus lu!" Vika mencak-mencak, tapi gue nggak peduli.
"Lo sebenernya kenapa sih Vik?"
Gue menggeleng pelan. "Gue nggak papa An, gue nggak papa."
Ana mendesah seraya menyodorkan tisu. ""Ya udah lo nangis dulu aja sampe puas, ntar kalo udah tenang baru cerita."
"Duh lo so sweet banget deh An, andai lo cowok, pasti udah gue taksir." ujar gue seraya mengelap hidung dengan menggunakan tisu.
"Nggak usah ngayal aneh-aneh deh lo, oh iya jangan lupa buang tisu bekas ingus lo ke tempat sampah." sahut Ana dengan jutek. Ana sebenernya baik banget, cuma sifat baiknya ketutup sama sifat juteknya dan mulutnya yang pedes.
"Iya iya, habis ini gue buang sekalian balik ke kamar," gue memutuskan buat balik ke kamar gue sendiri, "gue balik ke kamar dulu ya An, nih totoronya gue balikin. Makasih yaa..."
Ana manerima Totoro dengan setengah hati. "Untung penyakit gila lo lagi kumat, jadi kali ini gue maklumin. Gws buat hati lo yaa...."
Gue pun mulai berjalan ke kamar gue, mengunci pintu, dan air mata gue kembali tumpah.