Canggung. Itulah yang gue rasain ketika gue ngeliat Rio. Perasaan nggak enak semacam lagi sholat udah rakaat terakhir tapi tiba-tiba pengen kentut.
Gue udah berusaha buat bersikap biasa aja ke dia, tapi malah keliatan nggak biasa dan aneh, karena sejujurnya, gue emang nggak baik-baik aja.
Gara-gara ada tugas kelompok yang anggotanya dibagiin langsung sama dosen, takdir yang nggak bersahabat bikin gue jadi satu kelompok sama Rio dan Porno.
"Pika sama Rio kok pada diem-dieman?" Tentu aja Porno menyadari atmosfer kecanggungan diantara kami. Gue dan Rio yang biasanya berisik, mendadak nggak berkomunikasi sama sekali.
"Nama gue Vika pake 'V', kebiasaan deh!" sahut gue kesel, Porno malah nyengir.
"Kalian berantem ya?" tanya Porno lagi, "sesama Muslim, apalagi kalian teman akrab, nggak baik berantem."
Gue melirik Rio. Dia keliatan sok sibuk mengutak atik hapenya seolah-olah nggak denger Porno berbicara.
"Sesama Muslim juga nggak baik su'udzon!" Akhirnya gue menyahut jutek. Kasian Porno kalo dikacangin terus.
"ASTAGHFIRULLAH... IYA SAYA LUPA" Porno tau-tau berteriak heboh, refleks gue dan Rio nengok ke arahnya.
"Lupa apaan?" Rio bertanya.
"Lupa kalo barusan saya udah su'udzon. Maaf ya." jawab Porno sambil cengar-cengir nggak jelas.
"Udah ah, ayuk mulai ngerjain!" Ajak gue sebelum kelakuan Porno yang nggak jelas makin menjadi.
Kita bertiga pun mulai berbagi tugas dan ngerjain dalam hening.
"Temen-temen, saya ke toilet dulu ya..." pamit Porno. Tinggal gue berdua sama Rio. Sesuatu yang sebenernya gue hindari.
Rio masih tampak asyik dengan tugasnya. Mengabaikan gue yang ada di hadapannya. Rasanya pengen buru-buru balik kost aja. Gue benci sama situasi ini, di mana semuanya keliatan baik-baik aja walaupun sebenernya enggak.
"Entah kenapa, gue ngerasa lo ngejauhin gue." Akhirnya gue bersuara.
Rio menghentikan aktivitasnya dan menatap gue. "Gue emang sengaja menjauh."
"Kenapa?"
"Sikap lo berubah." jawab Rio cuek dan kembali berkutat dengan tugasnya.
"Bukannya gue berubah," gue mengelak, "gue masih nggak nyangka aja, gue butuh waktu buat adaptasi."
"Gue bakalan bersikap biasa lagi, kalo lo juga bisa bersikap normal ke gue." balas Rio.
"Kenapa lo jadi kayak gini sih Yo? Apa ini semua gara-gara kak Dipa?"
"Ini udah jadi pilihan gue, jauh sebelum gue kenal sama Kak Dipa." ujar Rio sambil menatap sengit ke arah gue. "Gue harap, lo bisa menghargai pilihan gue."
Gue tersenyum pahit. "Suatu hari, kalo tiba-tiba lo pengen berubah, gue bakal selalu ada, gue nggak akan kemana-mana."
"Sebenernya lo yang kenapa sih Vik? Lama-lama lo bikin gue risih tau nggak! Apalagi ngeliat tatapan mata lo yang selalu terluka tiap ngeliat gue ...," Rio bangkit dari tempat duduknya, "kerjaan gue udah selesai, gue mau cabut dulu!"
"Gue peduli sama lo Yo, gue nggak rela ...." lirih gue sembari menatap nanar punggung Rio yang makin lama makin menjauh.
Nggak lama kemudian Porno balik. "Loh Rio kemana Pik?"
"Balik duluan," jawab gue lesu, "kerjaannya udah selesai.
"Saya nggak tau kamu ada masalah apa dengan Rio," kata Porno, "tapi sebaiknya segera diselesaikan ya Pik, kamu yang tabah."
Gue mengangguk. Biasanya kalo Porno ceramah, pasti gue mendebat. Kali ini, gue nggak punya energi buat adu bacot.
"Kerjaan gue udah selesai nih, gue balik dulu ya, tolong tugasnya lo jadiin satu." pamit gue pada Porno.
Porno mengangguk. "Hati-hati ya Pik."
Gue pun bergegas balik ke kost buat nenangin pikiran. Pas gue lewat wifi corner, gue ngeliat Kak Dipa dan Rio lagi ngobrol berdua. Kak Dipa tetep ganteng kayak biasanya, tapi bahkan pesonanya nggak lagi bikin hati gue deg-deg ser. Moodnya Rio juga kelihatan begitu baik. Berbanding terbalik dengan ketika dia ngobrol sama gue tadi.
Seketika lagu Sindentosca-Kepompong menggema di kepala gue.
Kini kita melangkah berjauh-jauhan,
Kau jauhi diriku karena sesuatu,
Mungkin ku terlalu bertingkah kejauhan,
Namun itu karena ku sayang...
Kenapa kita jadi jauh-jauhan gini sih Yo?
***
Level mood uring-uringan gue semakin memuncak begitu gue menyadari besok Rio ulang tahun. Besok hari ulang tahun Rio yang ke-20. Sialnya, gue nggak cukup punya rasa apatis yang tinggi buat mengabaikan hari jadinya itu, walaupun sekarang ada jarak diantara kita.
Gue bingung antara mau ngucapin, ngasih kado, atau pura-pura nggak inget aja. Kalo dipikir lagi, kayaknya gue nggak sanggup buat mengabaikan dia. Mungkin sebaiknya gue ngasih dia hadiah aja.
Pengennya ngasih kado underwear buat lucu-lucuan, tapi gue khawatir ukurannya nggak tepat. Kan gue nggak tau ukuran Rio segede pisang molen atau belalai gajah. Terus kalo dipake juga nggak bakal keliatan. Jadi, mending gue cari kado lain aja.
"An, lo sibuk nggak?" Gue membuka pintu kamar Ana sedikit, dia lagi nonton tv sambil tiduran.
"Nggak Vik, kenapa?" Tanya Ana.
"Temenin gue jalan yuk, nyari kado buat temen gue." ajak gue.
Ana bangkit dan mematikan tv di hadapannya. "Ayok, mumpung gue lagi gabut. Gue siap-siap dulu ya."
Sejam kemudian, sampailah kami di sebuah mall. Gue dan Ana pun mulai mencari benda-benda yang sekiranya layak dijadikan kado mulai dari jam tangan, kaos, topi, dan sebagainya, tapi nggak ada satupun yang sreg di mata gue.
Karena capek muter-muter, gue dan Ana pun akhirnya memutuskan buat makan di food court. Berhubung saat ini jam makan siang, otomatis food court rame banget, tapi untungnya gue masih dapet tempat duduk.
Diantara padatnya lautan manusia yang lagi kelaparan ini, tiba-tiba gue menangkap suara cowok tertawa ngakak yang amat gue kenal. Siapa lagi cowok yang ngakaknya bisa semerdu itu kalo bukan Kak Dipa. Gue pun segera mencari sumber suara. Rupanya di belakang gue, selisih dua meja, ada Kak Dipa lagi nongki ganteng sama temen-temennya.
"An, coba lo liat dua meja di belakang gue," pinta gue ke Ana, "ada Kak Dipa An, yang pake kaos putih jaket ijo."
"Itu Kakak tingkat yang sering lo ceritain? Ternyata ganteng banget ya aslinya." Ana mendadak heboh gara-gara pertama kali liat langsung muka Kak Dipa.
"Iyalah. Kalo gak ganteng mana mungkin gue terkagum-kagum liat wajahnya." Secara objektif gue masih mengagumi kegantengannya walaupun mulai sebel juga.
"Tolong fotoin mereka dong, posisi duduk lo kan strategis banget." pinta gue ke Ana. Gue khawatir bakalan ada Rio di gerombolan itu. Daripada gue nengok terus nanti ketahuan dan akhirnya malu, kan mending mantengin lewat foto. Lagian kualitas kamera hpnya Ana terpercaya, jadi gambarnya nggak bakal pecah walaupun dizoom maksimal.
Ana mencebik. "Huuu... dasar lo, ya udah agak geser dikit biar semuanya keliatan."
Gue pun segera menggeser posisi duduk, biar Ana bisa leluasa mengambil gambar Kak Dipa. Setelah selesai, gue pun kembali ke posisi semula.
.
"Vik, kalo diliat-liat, kok temennya Kak Dipa agak lekong semua ya," ujar Ana sambil menggeser-geser layar hpnya. Ana yang orang awam aja bisa langsung peka. Emang kebangetan gue yang terlalu khusnudzon ke cogan.
"Ganteng mah bebas," sahut gue cuek.
"Iya juga sih," sahut Ana, "pantesan cowok ganteng banyak yang suka sama cowok ganteng juga, pasti gara-gara slogan 'ganteng mah bebas'."
Gue yang lagi minum, mendadak keselek. "Njiirr omongan lo nyangkut di tenggorokan gue. By the way, buruan kirimin gambarnya gih," pinta gue pada Ana.
"Iya-iya, sabar napa." Jawab Ana.
Tak lama kemudian terdengar notifikasi dari hp gue pertanda ada pesan Whatsapp yang masuk. Gue mulai mengecek satu per satu foto yang telah dikirim Ana.
Gue bernapas lega karena nggak mendapati Rio diantara germbolan itu. Ada Kak Dipa disana dengan berbagai pose candidnya. Mau gaya kayak gimanapun, kalo dasarnya ganteng ya tetep aja ganteng. Gue mulai mengamati satu per satu temen Kak Dipa. Temen Kak Dipa ada empat orang.
Sebenernya mereka berlima ganteng semua ---Kak Dipa urutan pertama yang paling ganteng sih, tapi dandanannya pada feminim semua. Mulai dari pake kaos V-neck, gesture tangan yang agak melambai, sampai rambut yang diwarna ala boyband korea.
Tiba-tiba ide cemerlang terlintas di benak gue. Kayaknya gue udah tau kado yang tepat buat Rio. Ah, cowok ganteng kadang emang bisa jadi sumber inspirasi.
***
Hari ini hari ulang tahun Rio. Niatnya gue pengen ngucapin tepat jam dua belas malem. Sialnya, gue ketiduran dan bangun kesiangan, akhirnya gue ngucapinnya sesempetnya aja. Berhubung gue bingung ngucapinnya lewat apa ---mengingat hubungan kita lagi nggak akur, akhirnya gue ngucapinnya via story instagram. Gue sengaja nggak ngetag akunnya, jadi kalo misal dia buka story gue ya Alhamdulillah, kalo nggak ya udah.
Hbd Rio,
Gue cuma bisa berharap, semoga apapun yang lo inginkan saat ini bisa tercapai :)
Cuma itu doa tertulus yang bisa gue ucapkan. Pengennya gue tambahin semoga segera kembali ke jalan yang lurus, tapi gue nggak mau mencemari nama baiknya. Terus pengennya sih mau minta traktir juga, tapi gue sungkan karena gue masih belum bisa menebak situasinya bakal kayak gimana. Nggak gue sangka, sejam kemudian dia ngebales story gue.
Makasih ya Vik :D
Gue seneng banget dapet chat dari Rio. Ada harapan hubungan kita bisa jadi lebih mendingan. Gue bakal berusaha buat ngehormatin keputusan dia. Mau dia gay kek, atau bahkan jadi bencong perempatan sekalian, itu hak dia, walaupun sejujurnya dalam hati gue tentu saja amat sangat nggak rela. Sementara gue cuma bisa diam-diam berdoa semoga Rio segera kembali ke jalan yang lurus. Gue pun segera membalas pesan dari Rio.
Vika
[Yo, gue punya sesuatu buat lo]
Rio
[Apaan Vik?]