Kepulan asap yang dihasilkan dari uap panas kopi masih terus memenuhi ruangan ber AC itu. Hanya keheningan yang terisi, seakan kedua pemuda berbatang membiarkan kecanggungan meluap. Salah satu dari mereka menatap luar jendela—menyediakan pemandangan Ibukota yang sedang diterpa hujan lebat sore ini.
"Kamu sudah lama suka dengan Dinata?" tanya pria bertubuh lebih pendek itu. Sedang yang ditanya hanya terkekeh samar. "Dari jaman SMA, mungkin dia nggak inget sama saya," jawabnya.
"Kalo kamu?"
"Saya nggak tahu lebih dalam perasaan saya terhadap Dinata itu gimana, yang pasti setiap ngelihat dia, jiwa pelindung saya selalu keluar. Ini juga bukan karena saya diperintah sama Oma-nya, lebih ke apa ya..." gumam pria itu sembari menyesap kopi panasnya.
"Saya ngerti, nggak usah terlalu dipikirin."
"Langkah selanjutnya gimana? Kamu mau berhenti begitu aja dari kedai kopi punya Dinata?"
"Nggak tahu, logika saya nyuruh berhenti tapi lagi-lagi hati milih kebalikannya."
"Jangan dipaksa kalo kamu nggak kuat untuk lanjut," nasihatnya.
Sedang Lucas, orang yang dimaksud oleh Asegaf tadi sekali lagi hanya tersenyum kecil. Berhenti ya? Gumamnya.
Ya, perlu diketahui saat ini keduanya sedang berbicara di dalam café milik Asegaf yang terletak tepat berseberangan dengan kedai kopi milik Nata. Membicarakan pasal perasaan yang tidak memiliki tuan, kedua pria berbatang itu sama-sama terlena dalam ruang sepi.
Yang baru saja diketahui, katanya Lucas memiliki rasa terhadap Nata sejak jaman SMA. Sedang Asegaf... entahlah, laki-laki berwajah tampan itupun terlihat bingung dengan perasaannya sendiri. Mengatakan bahwa jiwa pelindungnya selalu keluar jika sedang bersama Nata.
"Terakhir, tadi sore..." Lucas menggantungkan kata-katanya, membuat Asegaf sedikit penasaran. "Nata kelihatan bahagia, cuma karena lihat Sehun pulang tugas dari Bali. Hal itu buat perasaan saya jadi..."
"Sakit?" tebak Asegaf yang tentu saja benar.
Lucas lagi-lagi tertawa pelan, dan menganggukkan kepala. Tangan besarnya memilih untuk mengambil gelas kopi panas yang berada dihadapan wajah. Meminum hingga tandas tanpa memikirkan akibat dari kegiatannya itu bisa saja membuat lidahnya terbakar.
"Saya nggak bisa berhenti untuk melindungi Dinata."
Lucas mendangakkan kepala, melihat Asegaf di sana. Lelaki tampan itu sedang memandang jendela luar dengan tatapan sendu.
Lucas masih menunggu lanjutan kata-kata dari Asegaf.
"Kenapa? Apa karena Oma yang nyuruh?" Akhirnya Lucas melemparkan pertanyaan sebab terlalu lama menunggu Asegaf yang tidak bersuara.
"Itu salah satunya, yang terpenting saya nggak mau lihat Nata sedih lagi karena ditinggal keluarga. Sudah cukup dia kehilangan ayah dan ibunya. Perihal Yena—"
"Yena?" tanya Lucas bingung.
"Kembaran Yuna yang sudah meinggal tujuh tahun lalu akibat kecelakaan beruntun."
"Termasuk kecelakaan yang merenggut nyawa ayah ibunya Nata juga?"
"Iya."
"Yuna bukannya pacar Sehun?" tanya Lucas yang masih belum mengerti.
"Iya, Cas," jawab Asegaf dengan sabar. Lelaki itu bahkan sempat menarik napas pelan supaya emosinya tetap terkontrol.
"Kenapa memangnya dengan Yena?"
"Dia sempet menghilang tepat saat kecelakaan beruntun itu, dan boom tiba—tiba Yena muncul kembali dihadapan Sehun beberapa hari lalu di Bali, berperan sebagai mitra kerja," jelas Asegaf. Sedang Lucas terlihat bertepuk tangan pelan sembari membuka mulutnya lebar.
"Bang..." panggilnya. "Kok bisa tahu semua kejadiannya secara lengkap sih?" tanya Lucas heboh, seperti sudah melupakan beberapa waktu lalu bahwa ia terlihat seperti pria patah hati yang sangat menyedihkan seanterio Ibukota.
Asegaf tampak tertawa pelan sembari menggeleng. "Otak kamu ketinggalan di kedai Dinata ya?" tanyanya yang terdengar seperti ejekan.
"Oma nyuruh saya bukan untuk jagain Dinata aja, Cas. Tapi cari semua informasi dari orang-orang terdekat dan di sekitar Nata."
"Termasuk saya, Bang?" tunjuk Lucas pada dirinya sendiri.
Asegaf menyugar rambutnya kasar, lalu menatap Lucas dengan tatapan datar namun tegas. "Kamu juga kan suruhan Oma, tentu saya tahu akar serta semua informasi tentang kamu."
Tak lama kemudian Lucas tertawa keras, seperti orang gila. Membuat Asegaf tidak mengerti di mana letak kelucuan ini. "Kenapa sih, setiap ngomong dengan Abang suka ikutan jadi bahasa formal. Yang tadinya Lo-Gue, malah Saya-kamu."
Mendengar hal itu, Asegaf ikut tertawa. Ia yang baru saja menyadari bahwa Lucas sejak beberapa menit tadi ikut berbicara formal dengannya. "Terserah kamu mau ngomong pake bahasa apa, saya ikut aja."
—
"Abang beli oleh-oleh apa aja di sana?"
"Banyak?"
"Ada jajanan?"
"Ada, bahkan daleman untuk kamu pun iya."
"Gila!"
Saat ini Nata sedang memandang kekasihnya dengan tatapan horror. Sejak kapan Sehun otaknya menjadi seperti ini? Senang berbicara pasal hal berbau dewasa secara blak-blakan?
"Kok gila sih?" tanya Sehun di sela-sela kekehannya. Bahkan tangan besar Sehun turut menarik lengan Nata supaya kembali berjalan mendekat.
"Abang selama di Bali kemaren ngapain aja?" tanya Nata sembari berkecak pinggang.
"Kerja lah, sayang."
Nata sampai bergidik ngeri mendengarnya. Belum terbiasa saat mendengar satu kalimat 'sayang' meluncur bebas dari bibir tipis Sehun.
"Sini, jangan jauh-jauh. Aku kangen."
"Nggak mau, ah! Mesum." Kalimat terakhir yang Nata ucapkan dengan kalimat pelan, tetapi Sehun masih dapat mendengar. Membuat laki-laki itu tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya begini rasanya memiliki hubungan dengan seorang anak muda. Dijamin setiap hari selalu bikin ketawa.
"Nggak... sini-sini." Susah payah Sehun meyakinkan Nata untuk kembali duduk dan mendekat kepadanya.
"Ayo buka oleh-olehnya bareng-bareng."
"Nanti ada daleman..." cicit Nata pelan.
"Astagfirullahaladzim." Sehun sampai beristigfar karena Nata. "Aku bercanda Nata..."
Baiklah Nata menurut, menurunkan ego serta ketakutannya sebentar. Demi jajanan khas kota Bali yang katanya sangat enak-enak di sana. Membuat Sehun melebarkan senyum dan mempersilahkan Nata mengambil sekoper besar oleh-oleh yang sempat di beli oleh Baekhyun.
"Jangan lihatin terus," ucap Nata dengan suara bergetar sebab menahan malu.
"Besok kita ke rumah Oma, yuk?" ajak Sehun random.
"Ngapain?" tanya Nata terlampau heran. Sebab tidak biasa-biasanya Sehun mengajaknya ingin bertandang ke rumah wali satu-satunya Nata.
"Mau ngelamar kamu," jawab Sehun santai.
"Ngomong sekali lagi, Abang aku suruh keluar ya!" bentak Nata sembari berjalan ke arah sudut kamar. Mengambil sapu yang tergelatak sempurna lalu mengangkatnya ke atas. Seakan bersiap untuk menghajar Sehun habis-habisan.
"Kamu kalo salting parah bener ya?"
"Bukan salting!"
"Terus apa?"
"Malu!"
Malam itu Nata dan Sehun habiskan dengan canda serta tawa hingga dini hari. Mengisi benih kerinduan sebab terhalang oleh jarak karena berbeda pulau beberapa hari yang lalu. Membiarkan bahkan mengabaikan dering ponsel, menandakan pesan masuk secara beruntun di gawai keduanya.
(+62) 812X XXX XXX
Bersenang-senang aja dulu
Tapi harus siap untuk menghadapi banyak masalah di hari ke depan ya
Sebab saya nggak bakal lepasin kalian berdua cuma karena Yuna sudah meninggal
Permainan masih belum dimulai