Sehun membersit hidung nya sedari tadi. Jangan lupakan bahwa sudah beberapa hari belakangan ini ia melakukan rutinitas seperti biasa, yaitu begadang. Memeriksa proposal serta berkas-berkas yang tiada henti dan menumpuk di meja kantor.
Idenya untuk membawa pulang tumpukan kertas itu dicetuskan oleh Baekhyun, teman merangkap asisten pribadinya sendiri.
Mandi di tengah malam pun seakan menjadi faktor utama ia mengidap penyakit flu. Sungguh Sehun kepala batu. Diingatkan Irina untuk tidak mandi di tengah malam masih saja ia lakukan.
Maka yang terjadi selanjutnya adalah dirinya mendapat tatapan tajam serta pertanyaan yang mengintimidasi dari sang ibu saat di meja makan.
"Tuhkan bersin makanya cari istri sana Hun!" desis Irina, dirinya sedang mengambil nasi untuk Suho—sang suami yang ditaruhkan di atas piring.
"Nggak ada hubungannya mi" jawab Sehun, seperti biasa harus stay cool.
"Ya adalah!, supaya bisa ngurusin kamu kalo lagi sakit begini. Apa kamu mau mami jo—"
"Mi..." sela Suho, dirinya merasa iba, kasihan melihat putra kedua nya saat sedang sakit begini pun masih harus ditanyakan perihal jodoh. "Biarin Sehun makan dulu, habis itu jangan lupa minum obat Hun" peringat nya.
Baiklah, Irina menurut. Menutup mulut serta membiarkan putra nya makan dengan tenang ia lakukan.
Tunggu saja nanti!
Jaehyun pun turun dari singgasana nya. Melihat aura mencengkam di meja makan, ia tahu penyebabnya. Bibir Irina yang lebih mirip seperti cocotan bebek—alias boneka bebek mainan Jaehyun saat kecil.
"Bang, gimana temen aku yang mau kerja di kantor abang. Sesuai kriteria nggak?" bersikap santai, adalah keahliannya.
"Dia abang tolak"
Ucapan itu sukses membangun kan emosi serta amarah yang ada di dalam diri Jaehyun. "KOK DI TOLAK SIH?! DIA KAN CANTIK, PINTER LAGI!"
"Tapi abang nggak suka jadi ya ditolak" dingin dan datar, Sehun Orlando sekali.
Suho sampai bingung, keturunan siapa dia ini?
"Bang—"
"Abang pergi assalamualaikum"
Helaan nafas kompak dari ketiga nya terdengar. "Anak kamu itu pi" ucap Irina menatap punggung Sehun yang kian menjauh.
"Anak kita mi..."
—
Seperti biasa di pagi hari Nata berada di kedai kopi miliknya. Membersihkan meja serta lantai yang berdebu sudah menjadi pekerjaan rutin. Yang membuatnya harus menghela nafas pasrah di pagi hari ini adalah karna sebuah telfone.
Bukan dari pihak depcolector tetapi pihak kampus. Yang terus menerus memintanya untuk membayar uang muka semester ini.
Tanpa disadari bunyi lonceng di depan pintu yang menandakan pengunjung datang tetapi tak ia hiraukan. Pikiran tentang uang sedang berkecamuk di otaknya.
"Kalau melamun nggak bakal nyelesain masalah"
Berbalik dengan cepat serta mata yang membulat. Nata terpengarah mendapati Sehun berdiri tepat di belakang nya. "Mau ngapain bapak kesini?" lihat, judes sekali wanita ini.
Yang tak Sehun tanggapi, ia malah duduk santai tepat di meja yang baru saja Nata bersihkan. "Jadi ini kedai kopi kamu?" sangat santai, maniknya meneliti seluruh sudut ruangan.
"Sepi ya?"
Geram, gigi bergemelatuk serta tangan yang mengepal. Lagi, Nata tersulut emosi ulah abang nya Jaehyun yang nomor dua ini. "Kalau nggak penting mending bapak pergi, saya nggak mau pagi hari ini mood saya kacau!"
"Pesen kopi, boleh?" senyum malaikat Sehun lihatkan. Walau wajah pucat serta mata merah, ia tetap saja menawan. Untung nata tidak sawan.
"Kopi apa?!"
"Kopinta kau jadi istriku" santai sekali pengucapannya bukan? Nata sampai ber-istigfar karena nya.
"Yang bener! Saya sibuk"
"Minuman boba ada? Saya nggak suka kopi soalnya"
Baiklah, Nata turuti. Gadis itu hengkang setelah mendengar pesanan Sehun. Yang Nata lihat dari ujung sana, abang nya Jaehyun tampak menawan sekali.
Astagfirullah, Astagfirullah Ukhti!
"Penawaran saya masih berlaku loh" sungguh gila, baru saja Nata letakkan secangkir besar boba di hadapan MR.Orlando , sudah dilamar saja dirinya.
"Maaf, nggak berminat"
"Cafe kamu juga kelihatan nya sepi, butuh direnovasi biar menarik perhatian pengunjung. Dan juga... pihak kampus sudah nagih uang muka untuk semester ini bukan?"
Tepat sekali, Nata sampai terbatuk oleh nafas nya sendiri. "Tahu dari mana?! Bapak nguntit saya?!"
Menggeleng pelan disertai senyuman sehun menjawab "Jaehyun tadi pagi kasih tahu saya, bagaimana, masih mau nolak?"
—
Panas nya ibu kota membuat Nata harus berkali-kali menghela nafas serta keringat yang bercucuran. Hati dan pikirannya sedang di ambang mood terburuk. Ucapan—tagihan uang muka untuk semester ini masih saja terus terpikirkan.
Nasib kedai kopi pun masih menjadi congkak permasalahan utama.
Didalam tadi, dirinya masih ingat saat dosen bermulut pedas itu berbicara. "Dinata Ayu, kamu itu pintar sekali, sering mengharumkan nama kampus, tetapi kenapa sekarang sering membolos kelas terutama pas pelajaran saya?"
Meneguk saliva dengan kasar, tangan nata saling bertautan. "Maaf pak... saya belum bayar—"
Ucapan nata terpotong. "Kamu tidak punya uang? Padahal marga kamu Mahapraja"
"Tidak ada hubungannya dengan marga dan nama belakang saya pak"
Sungguh, geram sekali dirinya. Ingin menampar tapi masih sayang nyawa. Yang hanya dilakukan Nata adalah menelan bulat-bulat omongan tajam itu.
Bahu kanan Nata terasa berat, merasakan bisep seorang lelaki yang tiba-tiba mendekat padanya. "Maaf ya"
"Jaehyun?! Kenapa minta maaf? Santai aja kali"
Langkah keduanya berhenti, dengan Jaehyun yang memajukan wajahnya barang sesenti. "Kita cari tempat makan aja yuk!"
"Jadi lo ditolak abang gue?" Jaehyun bertanya sambil mengaduk segelas es teh didepannya. Nata mengangguk lemah, lebih menutup mulut dengan Jaehyun perihal ajakan Sehun untuk membina rumah tangga dengan nya.
"Terus tadi lo juga di panggil pihak dekanat?"
Lagi lagi Nata mengangguk. "Iya" lirih sekali suaranya, Jaehyun hampir tidak bisa mendengar.
"Pake duit gue aja dulu Nat—"
"Nggak usah Jae—"
"Tapi bisa lo ganti nanti!"
Mulut Nata terkatup, omongan Jaehyun ada benar nya juga. Meminjam duit tidak akan membuatnya mati kan? Maka sedetik kemudian ia bertanya
"Berbunga nggak?"