Chereads / Blanc Et Noir / Chapter 9 - BEN 1.8 Titipan bekal

Chapter 9 - BEN 1.8 Titipan bekal

Dingin nya malam terasa.

Jaehyun yang sedang berdiam diri di balkon menatap layar computer. Menampilkan ke dua wajah cantik dari sahabat nya. Jika dipikir-pikir padahal mereka terakhir bertemu adalah sore tadi.

"Lo ngapain sih anjir, ngajak video call malem-malem. Gua mau nonton drakor nih!" itu Mawar yang sedari tadi misuh-misuh tidak jelas.

Yang di angguki oleh Nata, gadis itu sedang memakai masker wajah yang baru saja di beli. "Iya nih Jaehyun ganggu aja"

Entah apa yang sedang mereka bicara kan. Ketiga dari manusia berbeda spesies itu seperti tidak pernah—dan tidak akan bisa kehabisan topik pembicaraan.

Saat ketukan di pintu kamar Jaehyun tidak terdengar bahkan panggilan pun di abaikan. Dirinya terlalu asik bercengkrama, Sehun masuk tanpa di duga. "Elsa abang mau pin—"

Terputus, tatapan Sehun memaku di layar monitor.

Ada Nata di sana, yang sedang tertawa terbahak-bahak menggunakan maskernya hingga retak.

"Pinjem apa bang?"

Mendadak Sehun menjadi tukang keong. Saat kesadarannya pulih ia sempatkan untuk menyapa Mawar dan Nata di sana. "Hai Mawar, sudah lama nggak main kerumah. Dan juga, Dinata..."

Kedua nya tersipu, Sehun yang malu-malu dan Nata yang berlari hingga membanting pintu. "Jae, Nata kenapa?"

"Lo lupa War? Kan dia di tolak abang gue waktu mau ngelamar kerja di sana" yang seolah melupakan keberadaan Sehun, Mawar dan Jaehyun asik bergibah. "Apa jangan-jangan dia pundung?"

"Abang pinjem charger" berlalu dan menutup pintu kembali. Sehun menghela nafas sejenak. Kenapa perasaan nya jadi membuncah seperti ini?

Tepat di saat datang nya Irina bersama sang cucu. "Tolong jaga Rendi sebentar ya Hun, mami mau ke wc dulu"

Mendadak Sehun menjadi baby brother.

Sepatu di hentak kan berulang kali. Mencoba menarik perhatian yang tidak mengundang atensi. Nameera sukses menjadi pajangan di ujung kursi. "Kun, kamu masih lama?"

Yang di panggil nama nya membuang nafas jengah. Menjawab tanpa melirik sama sekali "Masih lama, saya harus lembur lagi malam ini, kamu pulang saja duluan. Dan maaf... nggak bisa antar"

Selalu saja seperti ini.

"Kamu nggak ada alasan lain ya? Selalu itu dan itu aja yang dipake" Nameera yang sedang mengerucut kan bibir nya. Berjalan dengan wajah di tekuk mendekati Khalif. "Minimal temenin aku makan malem aja Kun, kamu nggak bisa?"

"Nggak bisa nameera. Kamu makan sendiri saja"

Mendadak naik pitam. Nameera menutup paksa benda yang berada di hadapan Khalif—laptop. "AKU INI TUNANGAN KAMU KUN! NGGAK BISA LEBIH PERHATIAN SEDIKIT AJA?"

Sabar, dan mengehela nafas pelan. Ini sudah biasa. "Saya masih sibuk nameera, dan kamu bukan anak kecil lagi. Yang harus selalu ditemani saat makan" dengan nada lembut Khalif menjelas kan.

"Apa ini gara-gara Dinata?"

Tercekat, gerakan Khalif terhenti saat kembali membuka laptop. Membuat Nameera tersenyum, miris. "Ternyata benar. Telfone dari dia kemarin berefek besar untuk hati kamu ya?"

"Ini nggsk ada hubungannya dengan Dinata"

"Kamu masih cinta?"

Saat kepala menggeleng dan mulut berkata demikian "Iya"

"Jangan lupakan perjanjian keluarga kita Khalif... Dinata nggak bakalan bisa jadi milik kamu"

Benci. Perasaan Khalif diliputi rasa amarah saat ini. Maka yang terjadi selanjutnya adalah tatapan tajam menghujani Nameera saat itu juga. "Saya selalu ingat perjanjian itu. Nggak perlu diingatkan"

Senyum lima jari tercetak di wajah cantik Nameera saat itu. "Bagus. Jadi yang seharusnya kamu lakukan selanjutnya adalah belajar mencintai aku dan melup—"

"Nggak bisa" terpangkas. Khalif berkata dengan nada tegas "Sepupu kamu akan selalu berada di sudut hati saya. Dinata terlalu sulit untuk dilupakan. Yang seharusnya berhenti itu kamu Nameera!

Berhenti untuk mengambil semua hak dan segala hal yang berkaitan dengan dinata. Termasuk perasaan di hati saya"

Siang ini kota Jakarta sedang dalam keadaan mendung. Angin yang berhembus kencang disertai rintikan hujan membuat beberapa orang menepikan kendaraan di kedai kopi Nata hanya sekedar untuk berteduh.

"Gimana pagi tadi? Ramai?" itu Nata. Sebab tadi dirinya sedang dilanda urusan mendesak—membayar uang muka kuliah untuk semester ini. Uang yang didapat dari abang Jaehyun, Setelah pertemuannya dengan Irina beberapa hari yang lalu.

Yang namanya lukas mengangguk dengan senyuman lebar. Membuat Nata sedikit meringis. "Lumayan, dan oh iya kak tadi ada yang nyariin elo. Kayaknya pemilik café depan sih..."

"Sekarang orang nya dimana?" Sambil mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, manik mata milik Nata tak berhenti berputar. "Sudah pulang kayaknya, dia cuman titip ini"

Sodoran kotak makan berbentuk beruang. Dengan sticky notes yang berada di atas nya. Benda itu membuat hati Nata menghangat. "Jangan lupa makan ya. Maaf belakangan ini saya jarang datang, sedang sibuk"

Tipikal laki laki perhatian. Nata harap dirinya dan Khalif akan seperti itu. Yang sangat tidak mungkin akan terjadi, ia menggelengkan kepalanya kuat. "Kenapa kak?"

"Nggak pa-pa, lo lanjut aja ya Kas. Gue mau ke dalem ruangan sebentar"

Lukas memaku dan tersenyum ditempat menatap punggung Nata yang menghilang dari balik pintu. "Isirahat aja kak! Biar gue yang ngawas kedai hari ini!"

Nata merebahkan badan di sofa yang ada. Ruangan ini adalah bagian dari kedai kopi nya, sengaja di buat ruangan terpisah oleh mendiang sang ayah. Takut-takut jika ada keperluan mendesak, seperti kelelahan bisa dipakai.

Berisikan sofa panjang satu buah, serta pendingin ruangan disertai kulkas kecil di bagian ujung sana. Saat mata hendak tertutup, Nata terkekeh samar mendengar teriakan lukas yang sedang memanggil pemesan kopi.

Laki-laki itu selalu kelebihan energy.

Sayup-sayup terdengar suara kipas pendingin ruangan. Gawai yang berada di saku nata berdenting. Mengharuskan diri nya bangkit untuk merogoh benda tersebut.

0812 XXXX XXXX

"P"

Kening Nata mengernyit—bingung. Nomor siapa kah ini? Mengingat sejenak bahwa ia sedang tidak memesan makanan secara online.

"Siapa?"

"Sy sehun"

"Smpn nmr sy"

"Oh iya, nanti di simpan nomor bapak"

"Btw, dapet nomor saya dari mana?"

"Jaehyun"

Singkat sekali balasan nya! Nata tertawa kecil. Bapak Sehun memang selalu seperti ini. Luar dalam sangat dingin.

Menunggu hingga beberapa menit kedepan, tidak ada balasan. Percakapan itu terhenti saat Nata sudah terlelap. Mengabaikan satu pesan masuk yang langsung terbaca—sebab Nata belum keluar dari ruang obrolan.

"Nnti sy jmpt"