Selain pemberian uang yang secara mendadak, kejadian apa lagi yang bisa membuat seseorang terkejut?
Tentu jawabannya adalah kedatangan seorang Sehun. Tanpa permisi dan aba-aba atau bentuk percakapan lainnya lelaki itu sudah duduk manis tepat di kursi depan wajah Nata.
Disaat rambut yang berantakan, air liur jatuh entah berantah serta gawai yang tidak lepas dari genggaman tangan. Nata sukses di buat kelimpungan. Wajah datar Sehun yang lebih mirip seperti triplek, membuat Nata bangkit secepat kilat.
"Bapak ngapain ke sini?!"
Mata Sehun yang terkatup sebab menahan pekikan yang memukakan di telinga. "Jemput kamu, kan tadi saya udah bilang"
"Nggak tuh. Bapak jangan ngada-ngada ya!"
Sifat inilah yang dibenci para lelaki. Tidak pernah percaya kepada pasangannya sendiri. "Kamu juga tadi baca pesan saya... cuman nggak di balas aja". Nata memijat pelipis nya pelan. Benar saja pesan itu sudah terbaca.
"Tapi saya kesini bawa motor pak. Bagaimana mungkin mau ditinggal begitu aja"
"Saya antar kamu pakai motor"
Hembusan angin malam menerpa wajah keduanya. Setelah menutup kedai kopi tepat di pukul tujuh malam, perjalanan di lanjutkan. Mengelilingi kota tua di daerah Jakarta. Entah motif apa yang berada di kepala Sehun tetapi Nata menikmatinya.
Sudah lama sekali ia tidak seperti ini.
Berjalan—sendiri atau ditemani. Sekedar menikmati kehidupan dari sesaknya waktu perkuliahan serta kesedihan yang memuakkan.
Motor scoopy Nata di bawa oleh Sehun dengan kecepatan sedang. Dan berhenti tepat di depan gerobak nasi goreng yang kata teman teman Sehun, nasi goreng disitu sangat enak seanterio Ibu kota.
Mobil mahal milik Sehun yang ditinggalkan begitu saja di depan parkiran kedai membuat Nata menghela nafas pelan sedari tadi. "Mobil bapak gimana?"
"Biarin aja, nanti di ambil sama supir saya"
Saat kedua nya sedang terduduk manis menunggu pesanan datang. Lagi lagi hembusan nafas lelah terdengar. Bunyi suara pengamen kota di pinggir jalan berangsur angsur membuat mood Nata kembali naik.
"Rencana bapak selanjutnya bagaimana?"
Sehun menoleh, menatap wajah Nata yang duduk persis di depan wajahnya. Senyum tipis terbit di wajah lelaki itu. "Nggak tahu, mami saya suka dengan kamu... ini diluar dugaan"
Kening Nata mengernyit. Apa yang di maksud dengan diluar dugaan? "Maksudnya?"
"Mami saya suka dengan kamu Dinata, yang artinya semua keputusan berada di tangan dia—seluruh orang pun akan setuju jika mami berkata iya. Hubungan kita bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius"
"Tapi bapak—"
"Saya bukan bapak kamu Dinata, panggil dengan sebutan lain aja"
"Oke, tapi om kan nggak punya perasaan spesial terhadap saya. Hubungan kita pun baru di mulai sejak minggu minggu ini"
Saat panggilan om itu tersamarkan. Sehun menghembuskan nafas berat.
"Saya akan berusaha"
—
Saya akan berusaha.
Ucapan itu terus terngiang-ngiang dalam otak cantik Nata. Berusaha dalam bentuk apa dan untuk apa?
Lelaki itu sedang mencoba untuk membuka hati nya kembali atau?
Entahlah. Yang pikiran Nata tidak lagi bersarang disitu. Lensa nya menatap sebuah bingkai foto disana. Lagi lagi perasaan itu menyeruak masuk ke dalam dada. Menghasilkan euphoria yang sangat—amat ia kenali.
Di saat cairan bening berwarna Kristal menumpuk di ujung pelupuk mata. Nata merindukan kedua nya. Semuanya. Dan segalanya.
Pelukan hangat, masakan enak dari seorang ibu atau candaan, dan gombalan receh serta omelan panjang dari sang ayah sebab Nata yang tidak kunjung untuk tidur siang.
Sudah biasa, Nata terisak lagi malam ini.
"Kenapa rasa nya begitu sakit tuhan..."
Tangisan Nata di pertengahan malam sungguh nelangsa. Kejadian di saat kecelakaan itu terus terputar di otaknya. Hembusan nafas yang memberat membuat ia menghirup oksigen banyak-banyak.
"Ayah, Dinata takut..." Lirihan seperti itu. Terus saja terucap, seolah ayah akan datang dan memeluknya di waktu yang bersamaan.
Padam nya lampu pun seakan menambah suasana yang di rasa. Ketakutan Nata bertambah satu kali lipat. Menekuk lutut dengan mata tertutup. Mengapa ia merasa sedang di anak tiri kan oleh tuhan.
Rasa sedih, sesak, rindu, takut dan semuanya sungguh memuakkan. Lebih dominan. Hingga Nata memukul dada nya sendiri—bermaksud untuk mengurangi rasa sakit tersebut.
Bodoh, yang ada Nata hanya bisa menyakiti dirinya sendiri.
Tidak ada siapa pun. Nata sebatang kara.
Wanita tua yang sedang cemas di ujung sana menggigit ujung jari nya. "Tolong kamu datang kesana, Dinata sedang ketakutan dan lampu nya pun padam. Saya usahakan akan menelfone nya nanti"
Satu kata "Menangis" membuat lelaki yang baru saja diputuskan sambungan telephone nya menyambar kunci mobil dengan secepat kilat. Berusaha membelah jalanan malam kota Jakarta.
Sepuluh menit berlalu. Bertepatan dengan hidupnya lampu serta ketukan pintu di waktu yang bersamaan. "Dinata Ayu?"
Nata mendangak kan kepala nya. Siapa yang bertandang ke rumah nya di pertengaham malam seperti ini? Memanggil dengan nama lengkap pula.
Mengelap sudut mata dengan kasar. Berusaha menetralkan nafas sebaik mungkin. Nata memaksakan senyum nya hadir. "Pak... Sehun? Sedang apa disini?"
—
"Dinata sedang sakit?
"Ah, nggak kok"
"Dinata kapan bisa datang ke sini?"
"Nanti ya Oma, Nata sedang sibuk dengan tugas kuliah yang menumpuk. Doakan aja semoga Nata bisa ke rumah Oma secepatnya"
Bohong. Nata lagi-lagi berbohong.
Mana ada tugas kuliah yang menumpuk?
Yang ada absen kosong membuat dirinya kesusahan. Sebab di panggil oleh sang dosen dan diberi surat peringatan.
Oma tahu. Itu hanya alibi. Nata selalu seperti ini. "Ya sudah, sehat selalu Dinata. Uang jajan nya ada? Kalo nggak nanti Oma ki—"
"—Nggak perlu oma, uang Nata cukup kok" terpangkas. Nata selalu menolak uluran tangan serta bantuan yang di berikan Oma nya sendiri.
"Kalau begitu, telephone Oma matikan ya. Assalamualaikum"
Bertepatan dengan ditutup nya sambungan. Nata menghembuskan nafas berat. "Waalaikumsalam".
Apa dirinya terlalu berlebihan? Nata seharusnya patut di beri penghargaan. Sebab memotong pembicaraan orang tua.
Hanya saja—selalu dengan alasan yang sama. 'Tidak ingin merepotkan siapa pun, nata benci di kasihani termasuk dengan Oma nya sendiri'