"Bisa kita bicara sebentar?"
"Maaf nggak bisa, saya harus pergi"
"Kemana?"
"Bertemu Dinata"
Gadis cantik berambut panjang itu menghela nafas kasar, lagi. Mendengar nama seseorang yang sangat di bencinya. Yang bahkan nada bicara Khalif terlihat lantang menyebut nama itu. "Tapi aku ada perlu dengan kamu, Kun!"
"Sama saya juga ada perlu dengan Dinata. Permasalahan ini harus selesai, bagaimana pun caranya. Dan juga saya nggak ingin Dinata terus-terusan merasa di buang oleh keluarga nya sendiri"
"Kalau memang nyata nya dia di buang? Bagaimana?"
Ah. Tatapan tajam itu lagi. Khalif memberikan itu secara Cuma Cuma hanya untuk Nameera seorang. Kemana perginya sifat gentle, ramah dan baik hati dari seorang Khalif jika berhadapan kepada seorang wanita.
"Sialan kamu!"
Lihat. Bahkan kasar sekali kata kata nya.
Nameera berdecih sinis. Tersenyum, miris. Dalam lubuk hatinya menertawakan diri sendiri. "Apa sekali aja, kamu nggak bisa untuk terus-terusan memikirkan tentang perempuan Brengsek itu?!"
Khalif menyugar rambut nya cepat. Sama seperti yang Nameera lakukan tadi. Lelaki itu berdecih sinis. "Kaca dirumah kamu sepertinya kecil ya? Atau perlu aku belikan yang lebih besar? Supaya kamu bisa becermin diri, mengetahui bahwa kamu lebih buruk dari Dinata saat ini!"
Marah. Nameera merasakan emosi serta lonjakan dari perasaan yang membuncah di dada. Maka dengan kekuatan serta langkah cepat ia menjatuhkan diri di pelukan Khalif. Mendorong bibir nya untuk bertemu dengan bibir Khalif secara ganas. Bahan lelaki itu belum sempat untuk mengerjapkan mata pelan.
Tubuh Nameera tersentak kuat. Bagian dinding di belakang tubuhnya saat bertemu dengan punggung begitu sakit. Bahkan sedikit meringis dengan air mata hampir tumpah disana. "K-kamu..."
"Berhenti sampai disini. Kamu hanya membuat saya bertambah jijik bahkan benci, Nameera" yang sangat datar sekali dalam mengucapkan pelafalan itu. Bulu kuduk Nameera sampai meremang. Cekatan kuat di bagian bahu begitu kencang.
"Dan sekali lagi, jangan pernah bersikap lancang seperti tadi. Kamu tidak berhak atau memang tidak punya hak untuk menyentuh saya. Walau kita terikat dalam suatu hubungan sekalipun"
Telak. Dan lagi. Nameera ditinggalkan sendiri. Hujan yang sedang mengguyur ibukota Jakarta menambah suasana duka di hati. Menangis dalam diam, gadis itu memukul dada bagian kiri dengan kencang.
"Sialan!"
—
Mengetuk jari di atas meja dengan tempo lambat. Khalif menghembuskan nafas kasar. Mereka ulang kejadian saat ia sedang berada di kantor cabang ibukota. Apakah sikapnya sudah keterlaluan?
Tapi perempuan licik itu memang pantas mendapatkannya!
Memandang guyuran lebat air hujan. Dirinya mendengar saat lonceng pintu restoran berbunyi. Menandakan masuknya pengunjung baru. Dengan senyum bak malaikat mengembang. Sukses menambah ketampanan.
Nata tersenyum kikuk.
"Maaf udah lama nunggu ya?"
Gelengan pelan didapat kan. Khalif menarik sebuah kursi di depannya. Menyuruh Nata untuk duduk. "Mau pesen apa?" tanya ia lembut.
"Samain dengan punya kamu aja"
Hening.
Ah. Nata benar-benar benci situasi ini. Sama-sama diam. Enggan berbicara satu patah kata. "Ada apa? Sepertinya nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi bukan, Khalif?"
Darah berdesir hebat. Khalif sangat—amat merindukan suara Nata ketika memanggilnya. Berdehem pelan ia lakukan. menatap lurus bahkan tepat di manik kecoklatan Nata.
"Maaf"
Rangkaian kata yang sedari tadi bergumul di otak tampannya hilang begitu saja. Hanya kata maaf yang terlintas. Tanpa ada tambahan kata di belakang. Mendengar itu Nata hanya tertawa pelan jangan lupakan air mata memupuk di bagian sana. "Kenapa mita maaf? Aku baik-baik aja kok"
Bohong!
Khalif benci situasi ini.
Saat tangan hendak menghapus atau bahkan menghalau sebuah cairan bening, tapi apa daya? Khalif masih mengetahui porsi diri terhadap hati Nata. Lebih memilih menatap sepatu mengkilap miliknya atau bahkan bisa dikatakan menunduk.
"Aku benar-benar keterlaluan. Mengkhianati kamu, bahkan berbohong tentang hubunganku dengan Nameera. Maaf atas semua kesalahan itu"
"Aku bersyukur kamu nyadar, Khalif"
Mengangkat kepala dengan cepat. Mengapa tanggapan Nata tentang dirinya begitu berbeda dengan apa yang ia pikirkan? Gadis itu sedang tersenyum sekarang. Bukan bahagia lebih merujuk pada kata miris sebenarnya.
"Setidaknya kamu masih punya hati. Memikirkan perasaan aku, yang entah saudara sepupu ku—Nameera memikirkannya atau nggak. Bahkan kamu tahu Khalif? Aku rasa semua orang di dunia ini jahat, kejam terhadap aku. Termasuk kamu.
Tapi itu semua salah. Oma berbeda, dan aku pikir kamu juga. Memang benar adanya hati aku sakit, kecewa lebih tepatnya. Aku nggak tahu kesalahan aku apa terhadap kalian. Yang bisa bisanya benci atau muak melihat aku?"
Khalif menggelengkan kepala pelan. Dengan mata yang mengeluarkan cairan bening sama derasnya seperti Nata. Beruntung ruangan makan ini berprivasi. Lelaki itu menggenggam telapak tangan Nata.
Rasanya masih sama seperti dulu. Hangat dan mendebarkan. Yang bahkan gadis itu tidak menolak sama sekali.
"Bisa tolong jelasin, salah aku apa? Mungkin Nameera pernah berbicara itu dengan kamu"
"Nggak, kamu nggak salah Nata"
"Tapi kenapa kalian semua bersikap seperti ini dengan aku?!"
Lepas kendali. Nata menangis sejadi jadinya di hadapan lelaki yang pernah menjabat penting di kehidupannya dulu. Masa bodoh jika suaranya terdengar bahkan sampai kedepan. Rasa sesak ini tidak mau hilang.
"Dinata—"
"Berhenti panggil nama aku dengan mulut kotor kamu Khalif!" Nata memandang sudut bibir Khalif. Ada bekas lipstick bewarna merah mencolok disana. Ia menghela nafas pelan. "Dan juga kita telah lama selesai, bahkan sebelum kamu berangkat ke Shanghai. Jangan pernah temuin aku lagi. Juga, terimakasih banyak atas kebaikan kamu selama ini.
Sampaikan salam ku untuk Nameera. Jangan pernah sekalipun kamu sakitin dia. Aku pergi"
Seperti itu saja akhir dari pertemuan ini. Khalif yang menyugar rambut frustasi. Memandang punggung Nata yang berjalan semakin menjauh. Lelaki itu menunduk—atau bahkan sedang menangis saat ini?
Kisah cinta di masa SMA telah usai.
—
Sehun mendapati Nata yang masuk ke mobil dengan senyum lebar. Berusaha menutupi jejak air mata di sana. Entah gadis itu yang terlalu bodoh atau polos. Membuat Sehun menghela nafas frustasi.
Jelas jelas lelaki itu menunggunya dari tadi. Bahkan belum ada setengah jam kekasihnya berada di dalam sana. Tetapi sudah keluar dengan tangis kuasa bercucuran.
"Kenapa belum jalan bang?"
Merasakan bahwa kuda besi milik kekasih yang tak kunjung hengkang dari tempat makan mahal ini. Nata menatap Sehun bingung. Lelaki itu sedang apa? Membuka tangannya lebar-lebar?
"Masuk"
"Eh?"
"Ck! Lama"
Seperkian detik kemudian Nata sudah berada di dalam rengkuhan. Elusan pelan di atas pucuk kepala di rasakan. Bahkan jantungnya bergemuruh dengan hebat saat mendengar penuturan atau yang lebih mirip disebut perintah dari Sehun selanjutnya.
"Nangis. Sekarang"
Seperti itu saja. Sangat sederhana. Sehun memang mengerti suasana hati Nata. "Jangan pernah merasa sendiri. Karna ada saya disini"