Chereads / Blanc Et Noir / Chapter 8 - BEN 1.7 Kedai kopi

Chapter 8 - BEN 1.7 Kedai kopi

Bagaimana rasa nya jika menunggu tanpa ada sebuah kepastian?

Bagaimana rasa nya ditinggal seseorang di saat kita sedang membutuhkan dirinya?

Dan bagaimana pula rasanya menanti kabar dari orang tersayang?

Sakit, kecewa, dan rindu adalah jawabannya. Yang kini cairan bening kembali membasahi pipi cantik Nata malam ini. Sambil memandang secarik kertas dan sebuah foto di tangannya. Tolong katakan kemana pergi nya sang pujaan hati.

Khalif Kuntoro, lelaki yang berhasil memenangkan hati Nata, dulu. Menjalin kasih sejak masih jaman putih abu-abu. Meninggalkan banyak kenangan manis serta luka mendalam. Dirinya pergi meninggalkan Nata dari dulu hingga sekarang.

Khalif yang selalu menemaninya di saat kedua orang tua Nata menjemput ajal masing-masing. Khalif yang selalu sigap menghapus air mata Nata. Hingga Khalif yang membuat Nata-nya menangis sendirian sebab pergi meninggalkan.

Secarik kertas itu sudah lusuh, dengan bagian ujung kiri yang sudah koyak walau sedikit. Selepas kepergian orang tua Nata disaat dirinya menginjak bangku sekolah menangah atas. Kelas sebelas lebih tepatnya.

Khalif selalu menemaninya, hingga setelah kelulusan disaat jiwa semangat Nata sudah kembali hidup lelaki itu malah pergi meninggalkan. Tanpa ada salam, kata perpisahan, atau pelukan nyaman untuk yang terakhir kalinya.

Nata benci! Sungguh!

Seakan-akan dewi kehidupan selalu membenci dirinya. Memberi banyak kesialan serta masalah yang selalu datang bertubi-tubi. Hingga mengambil orang terkasih.

Sambil terisak pelan, Nata mencoba menggapai sang gawai. Mendial nomor seseorang yang sudah sangat ia hapal diluar kepala.

Sial, lagi lagi suara wanita itu yang menjawab. Nata benci suara operator wanita!

Sekali, dua kali, hingga ke tiga kalinya—

"Halo?"

Telfone itu terangkat. Darah berdesir hebat.

Tangis Nata pun terhenti, dengan suara bergetar ia berusaha menutup mulut nya. Setelah tiga tahun lebih menghilang, dihubungi pun tidak pernah mengangkat. Ah pernah, sekali. Tetapi suara wanita yang mengangkatnya. Bukan operator tetapi suara itu seperti... Nameera—sepupunya.

"Khalif?" panggil Nata.

"D-dinata?"

Tercekat, Nata kembali menangis. Meracau, memaki hingga meminta untuk kembali. "Kamu jahat khalif, ninggalin aku tanpa pamit"

Sedang yang diujung sana menghembuskan nafas lelah. Khalif menangis dengan suara tertahan. "Maaf Dinata" hanya itu yang mampu ia katakan.

"–kamu dimana?"

Khalif membasahkan bilah bibir nya, menggumam kecil dengan perasaan bersalah membuncah di dada. "Shang hai, china"

Nata tersenyum, miris. Gadis itu meremas ujung seprai kasur. "Kamu baik-baik aja kan?"

"Baik, kalau kamu?"

"Baik" kurang lebih tepatnya.

"Kapan pulang ke Indonesia?" yang kini percakapan antara sepasang kekasih ini sangat kaku. Terdengar canggung tanpa ada ucapan selamat malam seperti dulu. Ah Nata rindu semasa dulu!

"Belum tahu—tapi secepatnya aku bakal pulang. Ada hal yang harus aku bicarakan dengan kamu, Dinata"

Nama Dinata terdengar asing. Sudah lama sekali dirinya tidak mendengar panggilan itu. "Kalau begitu ku tutup ya. Sehat selalu Khalif... dan aku rindu kamu"

Terputus. Sebab Nata kembali menangis, perasaan rindu itu menggerogoti hatinya. Yang sangat pedih sekali rasanya.

"Kenapa nggak dikasih tahu sekarang aja Kun?"

Khalif menoleh, memandang dingin wanita disampingnya. "Dia—sepupu kamu Nameera. Dan saya nggak sanggup untuk memberi tahu Nata tentang ini. Saya pamit pulang"

Lagi, selalu saja seperti ini. Nameera yang ditinggal seorang diri. Jahat sekali!

"Aku kurang apa sih?"

"Lo nangis?" itu Mawar. Gadis cantik berperawakan bule merangkap sahabat Nata dari segala sisi. "Kenapa? Cerita sama gue! Lagi butuh duit ya? Atau abis nonton film drakor?—lo rindu ayah dan ibu?"

Tipe teman yang selalu memberi perhatian cukup. Mawar terlalu baik. Maka yang menjadi jawabannya adalah anggukan pelan Nata.

Keduanya sedang berada di kedai kopi hari ini. Temannya itu sedang membantu Nata untuk merekrut pegawai baru yang akan dipekerjakan mulai hari ini.

"Maksud dari anggukan lo itu apa? Lagi butuh duit atau bagaimana?"

"Cuma kangen ayah dan ibu aja" bohong.

Senyum manis serta pelukan Mawar dirasa. "Kalo kangen ayah dan ibu, lo boleh main kerumah Nata. Pintu rumah gue selalu terbuka kok. Dan papa udah nanyain lo terus tuh"

Ah selalu saja. Keluarga Mawar menganggap dirinya adalah sebagian dari mereka. "Makasih Mawar, semoga jodoh lo cepat datang deh"

"Anjir, tapi gue aamiin in"

Saat pelukan itu terlepas, Jaehyun datang. Bak pangeran dalam serial kartun kegemaran Nata, temannya itu terlihat berkilau dengan beberapa kantung kresek di tangannya. "Sorry telat my girl, ngantri beli makanan kesukaan kalian dulu nih tadi"

Toyoran pelan diberikan secara Cuma Cuma dari Mawar. "My girl? Tampol nih, mau?!" yang hanya dibalas kekehan pelan dari seorang Jaehyun.

"Gimana? Udah dapet pegawai yang memenuhi kriteria?" sembari menghabiskan pangsit yang dibelikan Jaehyun tadi mereka berbincang di bagian ujung kedai kopi milik Nata. Menghindari keramaian yang ada disana.

Mengangguk pelan Nata menunjuk dengan dagu nya kepada seorang pria jangkung di ujung sana. Tersenyum bak orang tolol yang melayani pembeli. "Udah, masih mahasiswa, lukas namanya. Dia juga sering beli kopi disini kok"

Mata tajam Jaehyun memincing, menatap tajam lukas dari ujung sana. "Bule? Kok namanya begitu? Udah diteliti belum anaknya gimana?"

"Sudah Elsa sayang, anaknya baik kok nggak bakal neko-neko" yang dijawab oleh Mawar sembari mengelus kepala Jaehyun.

"Adik tingkat kita, kalau mau lo boleh tanya langsung sama dia. Seru kok anaknya"

Jaehyun mendengkus geli "Ya kali, tapi temenin ya"

Mawar mengamati semua pengunjung yang datang. Menawarkan inovasi kopi terbaru sambil tersenyum ramah. Saat posisi sedang sepi ia berjalan mendekati Nata. "Mas-mas yang suka kesini dimana Nat?"

Kening Nata berkerut geli, hembusan nafas Mawar menggelitiki. "Jangan bisik-bisik anjir. Lagi ada urusan kali, jangan lupa dia juga punya kedai kopi sendiri tuh didepan. Lebih ramai dari kita lagi"

"Dan satu lagi ya Mawar, namanya Asegaf. Biasa di panggil abang sama gue!" ucap Nata sombong, sedang Jaehyun menggeleng pelan melihat kelakuan dari kedua temannya. Tidak heran, mereka selalu seperti itu.

"Jadi lo nge-kos?"

Yang namanya lukas mengangguk ramah "Iya bang, anak rantauan soalnya"

"Oke, kalo ada apa-apa kasih tau gue aja. Jangan sungkan, dan satu lagi... jangan deketin Nata dia sudah ada yang punya"