Ada perasaan ngeri, takut, kasihan sekaligus sedih. Riwayat manusia, takdir manusia tewas dengan cara berbeda-beda. Salah satunya korban hanyut ini, naas sekali mayatnya harus tertindih batu wadas yang besar. Tim SAR yang dibantu oleh warga berhasil menggempur batu wadas yang menindih mayat itu, aku mundur setelah melihat kaki yang melambai di atas permukaan air sungai.
"Nimas. Apa yang terjadi?" tanya Widya menatapku seksama. Aku terdiam, ini pertama kalinya buat aku melihat langsung jenasah yang mengenaskan.
"Ya udah. Ceritanya nanti aja, ayuk kita ke warung. Kita beli minum yah" ucap Widya langsung menarikku menjauh dari kerumunan.
Widya membeli sebotol minuman, ia menyodorkan padaku minuman itu. Mungkin dia tau kalau aku syok. Salahku sendiri sih, nekat melihat evakuasi itu. Kami duduk sebentar di depan warung, memberiku kesempatan untuk menenangkan diri.
"Wid, kita balik ke sekolahan yuk"
"Kamu udah ga papa kan?"
Aku jawab hanya dengan anggukan kepala. "Oke. Kita balik ke sekolahan" ucap Widya.
Jujur, meskipun hanya sekilas melihat. Tapi kaki itu terus melambai di mataku. Bahkan aku masih ingat dengan jelas sampai sekarang, apalagi saat mengetik cerita ini. Itu berarti aku harus masuk kembali ke dalam alur cerita ini.
Dua jam berlalu, lonceng tanda istirahat pun berbunyi. Hari ini badanku terasa lemas, setelah membeli beberapa permen dan cemilan ringan aku memutuskan untuk masuk lagi ke dalam kelas.
"Sial! Gila! Cuih. Nyesel aku ikut kamu!" Giyo teman satu kelas ku masuk kelas sambil memaki.
"Lah kok. Kan kamu juga penasaran!" jawab Erik.
"Ya aku ga tau kalau ternyata kaya gitu wujud mayatnya! Diihh serem" ucap Giyo lagi.
Aku yang duduk tepat di seberang mereka mendengarkan Erik dan Giyo yang sedang bercerita. Terlihat jelas wajah Giyo merah dan mata berair.
"Ada apa si?! Apa yang kalian bicarakan?" tanya Widya penasaran.
"Kamu tau kan, korban hanyut itu? Gila bener" ucap Giyo.
"Kenapa? Udah bisa diangkat kan?" sahutku.
"Udah Nimas. Bahkan barusan kami melihatnya secara langsung. Mayatnya hancur! bahkan ada beberapa tubuh yang hilang. Aku lihat bagian kepalanya gepeng, matanya mencuat satu yang satu sudah tidak ada!"
Seketika dadaku sesak mendengar Giyo berbicara. "Yang utuh cuma bagian kaki dan tangan, selain itu hancur karena kelindas wadas Nimas. Bahkan tadi aku melihat ususnya dimasukkin kekantong jenazah!" sahut Erik.
Itu usus manusia kan? Mayat manusia setragis itu? Ya ampun, aku merasa mual sekarang. "Cukup! Ga usah dibahas!" tegasku. Sungguh aku merasa tidak nyaman.
*****
Kehebohan orang hanyut masih menjadi cerita hangat meskipun 7 hari telah berlalu, dan ternyata tidak sampai disitu. Banyak keluhan yang mulai dirasakan oleh para penambang pasir.
Malam itu, kebetulan aku ikut mbah Putri pergi untuk memijat orang. Beliau memang tukang pijat di desa, bahkan kadang juga dari luar desa datang untuk pijat di tempat mbah Putri. Ba'da isya' kami berangkat, rumah yang minta pijat berjarak sekitar 100 meter dari rumah mbah putri.
"Ayo, ayo masuk." ucap pak Giri, orang yang mengundang mbah putri untuk pijat. "Sandal kalian dimasukkan saja, jangan ditaruh di luar!" ucapnya lagi.
"Loh memang kenapa?" tanya mbah putri tidak mengerti. Pak Giri mempersilahkan kami masuk.
"Desa kita ini lagi diteror sama arwah yang hanyut itu. Bahkan kemarin ada pocong yang mengetuk pintu salah satu warga yang rumahnya tidak jauh dari sungai. Pocong itu mengetuk sambil mengerang minta matanya ditemukan!" ucap pak Giri dengan mimik wajah yang serius.
Tengkukku langsung terasa dingin dan merinding. Pantes aja desa hawanya jadi sepi tidak seperti biasanya. "Tapi apa hubungannya dengan sandal yang diluar??? Apa mungkin biar rumah terlihat sepi ga ada orang, jadi pocong itu ga ngetuk pintu?. Ntah lah! Duh. Trus nanti kami pulangnya gimana" bisikku dalam hati. Takut, deg-degan, anganku membayangkan jalan pulang yang gelap dan sepi.
Satu jam berlalu, mbah Putri Juga sudah selesai mijitnya. Kami duduk sejenak sambil meminum teh hangat yang sudah tersedia diatas meja. "Jangan khawatir mbah, nanti pulangnya saya antar pake motor" ucap pak Giri. Aku bisa bernafas lega, ternyata pak Giri mau mengantar kami.
"Terimakasih ya, maaf ngrepotin" ucap mbah. Aku juga melihat kelegaan di wajahnya. "Tapi... Bukannya warga kita ini juga sudah baik kan? Mau menolong si korban. Tapi kenapa malah di teror seperti itu?" tanya mbah putri.
"Itu dia mbah, kami juga tidak paham. Tapi kemarin saya ikut kumpulan desa, kata pak kiyai kita akan melakukan slametan (tahlil) dipinggir sungai. Semoga setelah itu desa kita kembali aman dan jauh dari gangguan" ucap pak Giri.
*****
Siang itu menjelang Dzuhur, seorang penambang pasir sebut saja namanya Tono, sedang beristirahat digubuk yang ada di pinggir sungai galo. Ia duduk sambil kipasan dengan caping, istirahat sebentar dan akan pulang untuk beribadah ke masjid.
Klotak... Klotak.... Pyaarr...
Terdengar jelas batu-batu kali yang saling bertabrakan, si penambang pasir itu mengamati suara yang ia dengar di telinganya. Batu-batu itu seperti dikorek orang yang sedang mencari sesuatu.
Tono menengok ke kanan dan kiri, mencari siapa yang masih ada di area sungai. Setahu dia, istri dan juga penambang lainnya sudah pada pulang barusan. Cuma dia yang masih istirahat disana.
Klotak... Klotak... Klotak... Suara batu terdengar lagi.
"Siapa ya?! Mak, pak lek?" teriak Tono memastikan masih ada orang di sana.
"Kulo pak" (Saya pak) ada jawaban tidak jauh dari tempatnya duduk. Tono bernafas lega karena ternyata suara itu berasal dari seseorang, yang ia takutkan kalau ada hewan buas di sana.
"Ooh, lagi ngapain kok ngorek-ngorek batu?" tanya Tono sambil masih mengibaskan capingnya.
Tapi suara itu tidak menjawab, hanya terdengar batu yang beradu dan terlempar. Tono mencoba melongok ke seseorang yang sedang mengorek itu, tapi tetap saja Tono melihat siapa-siapa di sana. "Apa kamu bukan warga sini?" tanya Tono lagi. Ia hafal betul suara-suara orang yang selalu bersamanya untuk menambang pasir.
Lagi-lagi suara itu tidak menjawab, Tono mulai merasa merinding. Hawa di sana jadi tidak nyaman. Tono penasaran, ia mulai mendekati arah suara. "Kamu siapa?! Nyari apa kamu?" tanyanya, ia merasa aneh dengan suara bebatuan yang di korek-korek tapi tidak ada sosok yang dia lihat.
"Aku lagi nyari mataku, huuu huuu huu mataku dimana?" jawab suara itu menangis tersedu.
Seketika Tono lemas, ia sadar, siapa yang sudah ia tanya barusan. Suara korekan batu semakin kencang dan tak beraturan. Sedangkan kaki Tono mulai gemetar. "Huuu mataku manaaa" tangisan itu terdengar lagi.
Tono langsung lari tunggang langgang naik ke daratan sambil berteriak meminta tolong. Sampai di desa ia menceritakan apa yang ia alami saat beristirahat disungai.
*****
Apa yang dialami Tono langsung terdengar ke semua warga. Bahkan untuk sementara ini, mereka menghentikan aktivitasnya di pinggir sungai. Ada kemarahan dari warga, sudah ditolong tapi malah meneror. Untung saja pak kyai memberikan penjelasan agar kegeraman warga mereda.
"Jangan marah, justru kalian harus kasihan. Dia masih tidak tenang karena anggota tubuhnya yang hilang. Begini saja, besok malam Jum'at kita adakan tahlil. Perwakilan dari setiap RT harus ikut dan bantu saya mengirim doa untuknya" ucap pak kyai.
Para warga mengangguk setuju, situasi yang cukup mengerikan kala itu. Alhamdulillah, menjelang 40 hari, gangguan dari korban hanyut tidak lagi terjadi.