Selang tiga hari ayah datang menjemputku. Dengan keyakinan,membawa impian bisa melanjutkan sekolah Aku bersedia berpisah dengan mama dan adik-adikku.
Dengan perjalanan kurang lebih satu setengah jam, akhirnya kamipun sampai di kota tujuan. Aku sedikit terkejut ketika berada di tanah kelahiran ayahku. Tempatnya masih plosok pedalaman, dari kota saja masih menempuh 5 jam perjalanan memakai bus dan ojek.
Jarak antara rumah satu dengan rumah lainya sekitar 100 meter, Berbeda dengan rumah etekku (bibi), rumah etek Jay berada di kota 15 menit dari bandara. Sebelum ke sini kami sempat mampir kesana tadi.
Lama perjalanan akhirnya kami sampai di Rumah Anduang, rumah tua setengah permanen dengan pepohonan rindang di sekelilingnya, bagian temboknya sebagian sudah retak, katanya sering terjadi gempa di sana.
Agak ngeri sih, hutan, jauh dengan tetangga desa, setiap ruangan hanya diterangi remang lampu kuning, sayu, senyap, dingin.
Kamar mandi letaknya di ujung belakang ruangan, di sana ada sebuah bak besar... Eh tidak, menurutku itu sebuah kolam, diatas kolam yang tingginya seleher ku itu tidak beratap, katanya sengaja tidak diberi atap supaya air hujan bisa tertampung di kolam itu. Mandi, nyuci, pakai air hujan. Suatu pengalaman yang luar biasa.
Kadang aku menahan pipis dimalam hari, ngeri rasanya jika harus ke kamar mandi sendiri apalagi kalau melihat ke atas yang tanpa tutup, mata langsung melihat rimbunan pohon bambu. Membayangkan saja rasanya sudah gemetar tidak karuan.
Siang harinya aku diajak pergi oleh Ayah ke saung tempat kakek.
"Kamu siap-siap Nak. Ayo ikut Ayah.
"Mau kemana Yah?" ucapku antusias. Aku agak bosan di sana, mau main di luar rumah juga takut karena masih banyak babi hutan berkeliaran.
"Kita ke saung kakek"
"Kakek? Nimas punya kakek disini?" tanyaku.
"Ya, beliau salah satu pemangku adat di desa ini, dah ayo cepat siap-siap!" ucap Ayah.
Aku segera lari menghampiri ransel dan mengambil jaket "Ayah kenapa pake sepatu bot? Memangnya kita mau ke hutan?" berburu mungkin. Pikirku.
"Enggak. Disini masih banyak lintah. Kalau kamu ga mau digigit lintah, pakai lah sepatu, kaos kaki, celana panjang yg rapat, udara sedang sangat lembab pasti banyak lintah"
"Haaahhh... lintaaahhh?!"
"Husstt. Kecilkan suaramu!"
"Hemmhh 😑😑"..
Ayahpun tertawa melihat tingkahku, dia tau aku takut akan lintah bahkan sangat anti. Aku pakai kaos kaki dan ujung celana yang aku masukan kedalam kaos kaki, baru pakai sepatu. " Ini konyol. Penampilanku jadi terlihat aneh" gerutu dalam hati.
Sedangkan ayah cengengesan melihat penampilanku yg seperti itu. Ayah menungguku di atas motor bututnya. Aku melangkah sambil jinjit-jinjit melewati semak-semak depan rumah, pada setiap langkah, aku pastikan tidak ada lintah yang hinggap di kakiku.
"Heeyy... Cepat lah! Masa dari pintu ke sini saja perlu waktu 15 menit! "
"Aahh ayaahhðŸ˜ðŸ˜takut lintah" teriakku.
"Dasar kau" gumam ayah.
*****
Kami naik motor menuju saung kakek, di perjalanan masih banyak sekali monyet liar yang bertengger di pohon atau di jalan raya. Suasananya benar-benar masih sangat alami, Aku masih menikmati pemandangan hutan, tapi ternyata motor sudah memasuki suatu halaman. Aku kira jauh tapi ternyata hanya ditempuh 10 menit memakai sepeda motor.
Ayah memarkirkan sepeda motor di halaman saung itu.
Saung yang masih sangat sederhana, terbuat dari kayu bambu dan beratapkan jerami. Sebelah kanan untuk berjualan makanan dan jajanan sedang yang sebelah kiri untuk orang-orang duduk sambil ngopi.
Kakek orang yang sangat ramah, tapi aku masih banyak diam, melongo ketika di tanya karena aku sama Sekali gak ngerti bahasanya. Kali ini ayah harus translate atau menjawab pertanyaan kakek untukku hehe. Sebenarnya Kakek bisa berbahasa Indonesia ya meskipun agak kaku sesekali terselip bahasa daerah, tapi cukup bisa dipahami.
Ayah langsung menghampiri orang-orang yang memang sudah menunggunya, sepertinya obrolan mereka sangat serius, aku menopang wajahku dengan tangan kiri, ga tau apa yang harus aku lakukan, mau menyimak pun aku ga ngerti. Selain menghabiskan gorengan dan jajanan yang disediakan beberapa piring di hadapanku. Sekarang aku sudah kekenyangan, aku mulai bosan, tanganpun mulai usil memutar-mutar gelas teh yang setengah kosong.
"Ayah. Boleh aku jalan-jalan di luar?" ucapku.
"Ya.Tapi jangan jauh-jauh" jawab ayah singkat.
Aku mengangguk, lalu bergegas melangkah keluar. Depan saung itu seperti lapangan luas ada beberapa pohon besar di sana. Aku melangkah dengan kepala mendongak mengamati pohon, heran melihat pohon yang bisa tumbuh sebesar itu, apa ini termasuk pohon purba? " gumam dalam hati. Cerobohnya aku tidak memperhatikan jalan, aku tersandung salah satu akar pohon.
"Brruuukkk..." Badanku jatuh tersungkur..
"Aduh..." melenguh. lenganku berdarah. Belum hilang rasa sakit, aku melihat dari arah depan ada seekor monyet besar yang ukuranya kurang lebih sebesar anak manusia yang beruusia 2 tahun memandangku dengan tatapan marah.
"Oh ya ampun..." Aku panik ingin lari tapi kaki dan lenganku sakit. Monyet itu memasang ancang-ancang hendak menyerang dan merangkak ke arahku dengan buas. Jujur aku takut, mata terpejam rapat.
"Aaaaaaaa" teriaku histeris
"Buk... Bukk..." Terdengar suara pukulan berkali kali, aku beranikan untuk membuka mata. Ternyata di depanku sudah ada kakek yang telah mengusir monyet liar yang hendak menyerangku. Jika kakek tidak datang tepat waktu, mungkin aku sudah dicabik-cabik oleh cakar dan taring monyet itu.
"Kamu ga papa? " ucap Ayah dengan mimik wajah yang khawatir.
"Ga papa yah" jawabku gemetar. Ayah menggendongku menuju saung.
Luka diobati apak Eli, sepupu ayahku, sambil nyengir nyengir nahan sakit aku melihat sekitar, kenapa saung ini jadi ramai sekali. Lebih ramai dari sebelumnya.
"Apak. Ada acara apa ini?" tanyaku penasaran.
"Pengobatan dek." jawab apak singkat.
"Pengobatan? Ada yang sakit kah? "
"Iyah... Sakit, karena santet. Kamu jangan mendekat ya! " Apakah Eli memberi peringatan.
"Santet? "
"Iya... Ah sudah." ucap apak membereskan obat merahnya.
"Apak... Apa itu santet?"
"Sssttt..." Apak memberiku isyarat seakan berkata "Jangan banyak bertanya. Aku terdiam kembali mengamati orang-orang disana.
Aku mengamati satu per satu wajah orang yang duduk di saung itu. Sampai mataku tertuju pada salah seorang berbadan kurus dan berwajah pucat.
"Apa dia yang sakit santet? "Ah... Tapi dia terlihat sehat meski agak pucat" Gumamku dalam hati.
Tidak terasa waktu sudah larut malam. Tapi sepertinya ayah belum selesai.
"Ayah ayo pulang. Aku dah ngantuk" ucapku manja sambil ngucek mata.
"Kita pulang nanti Nak, kamu tidur aja dulu di ruangan itu ya, ada selimut dan bantal, pakailah, Ayah masih ada urusan"
Mendengar jawaban ayah aku sedikit kecewa, tapi ya sudahlah, aku dah capek dan ngantuk jadi aku putuskan untuk tidur saja.
"Haaarrggghh... Haaa!!"
"Astaghfirullahal'adzim... Apa itu?! Apa? " kaget bangun dari tidur.
Di tengah sunyinya malam triakan itu terdengar sangat kencang. Aku bangun, lalu memgintip dari sela-sela pintu yang ada di kamar saung itu. Terlihat kakek yang sedang komat kamit sambil memegangi ubun-ubun apak yang terlihat pucat tadi siang, dan sisanya memegangi tubuh,tangan dan kaki.
"Pegang yang kencang! Pegang yang kencang jangan sampai dia berputar kasihan raganya! " Teriak apak Deka dengan wajah yang berpeluh.
"Berputar... Putar?" Gumamku bingung masih sambil ngintip dari kamar. Aku semakin menajamkan mataku.
Terlihat kakek memberikan segelas air pada orang yang teriak tadi, tapi setelah ia telan air itu, tiba-tiba dia muntah. Air keluar dari mulutnya bersamaan dengan keluarnya darah segar, tidak lama setelah itu,dia pingsan tidak sadarkan diri.