Ayah pasti marah. Mungkin caraku juga salah, mereka menghawatirkan aku. Tapi kalau ga begini juga mereka ga akan ngerti kan. Tapi ya sudahlah, kalau pun aku harus dimarahi ayah, itu memang sudah resikonya.
"Kemasi barangmu. Nanti sore kita akan pergi" ucap ayah dari depan pintu kamar.
"Pergi ke mana yah? " Apa... Aku diusir? bisikku dalam hati.
"Kerumah kak Eni. Sementara kau akan bersamanya di Pekanbaru."
"Apa Yah? Bukannya Nimas disini untuk melanjutkan sekolah? Seperti yang Ayah janjikan kan? " protesku.
"Ya. Tapi untuk sementara kamu tinggal saja dulu dirumah kak Eni. Disini ayah akan menyiapkan biaya untukmu sekolah, nanti kalau sudah siap, ayah jemput kamu di Pekanbaru"
Aku terdiam. Semua diluar dugaanku. Aku pikir, aku akan tinggal bersama ayah dan sekolah disini, tapi ternyata aku masih dioper lagi ke Pekanbaru. Apa-apaan ini. Aku harap, ayah tidak mengecewakan.
Pukul 3 sore aku dan ayah pergi menuju saung kakek untuk berpamitan.
("Sampai saung")
"Hmmm... Cucuku yang nakal! " sambut kakek dengan tangan seperti ingin menyentil. Tapi dengan cepat aku menutup kedua telingaku.
"Hahaha... Kali ini Kakek tidak akan memyentilmu" ucapnya.
"Baru beberapa hari kamu di sini sudah mau pergi lagi?" kakek tersenyum tapi matanya memerah menahan sesuatu. Sedih...
"Kata ayah, aku harus menunggu di Pekanbaru kek, setelah ada biaya ayah akan menjemputku untuk sekolah disini" jawabku.
Kakek terdiam. Ia melirik k ayahku dengan tatapan yang kesal. Spertinya ada sesuatu, ada apa ini?
"Ya sudah... Baik-baik kamu di sana ya. Ingat, kurangi kenakalan dan ngeyelmu" ucapnya sambil menonyol kepalaku, Nenek merangkul pundakku dan tertawa.
Kami akan melakukan perjalanan pukul 5 sore nanti, sebelum itu kami kembali berkumpul di saung kakek terlebih dulu. Meskipun punya rumah, kakek memang lebih suka berada di saung sederhana itu. Sudah ada apak Eli disana.
"Bagaimana keadaan Arman? " tanya ayah.
"Kondisinya semakin memburuk" jawab Apak prihatin.
Ayah tertunduk lesu. "Kalau begitu, kita lakukan dengan cara yang terakhir" jawab kakek dengan pandangan yang menerawang jauh.
"Apa itu tidak berbahaya? Apalagi kondisi Arman yang sudah lemah sekarang" ucap ayah.
Apa ada cara lain? bisikku dalam hati sambil menyimak percakapan itu.
"Apa salahnya dicoba? Aku tidak tega kalau Arman harus kesakitan setiap hari. Dia orang yang baik, sudah seperti anakku sendiri" ucap kakek.
"Pak Tuo yakin akan melakukannya? " tanya orang yang duduk disamping apak Eli. Sedangkan kakek terdiam sesaat. Lalu menganggukkan kepalanya, kemudian beranjak pergi.
Aku mengikutinya, kakek masuk kedalam ruangan kecil yang letaknya ada di ujung saung itu. Ia jongkok lalu mengambil peti kecil yang dibungkus dengan kain putih yang ia sembunyikan dibawah lemari kecil.
Aku masih terdiam mengamati, terlihat kakek menghela nafas panjang lalu perlahan membuka peti itu. Bau minyak yang lumayan menyengat langsung mendarat di penciumanku.
"Apa itu? " bisikku dalam hati. Terlihat ada benang dengan tiga warna. Merah, hitam, dan putih. Serta ada satu kepingan yang aku tidak paham apa itu. Rasa penasaran ku semakin kuat tapi... Aku ragu untuk menanyakannya.
"Nimas! " Tiba-tiba kakek memanggilku.
Aku yang sedang mengintai langsung terperajat kaget. Bagaimana bisa kakek tau aku disini padahal aku sudah hati-hati mengikutinya!
"Nimas! " ucapnya lagi.
"Kakek, maaf... Aku... " ucapku terbata.
"Masuklah" ucapnya tanpa. menatapku sedikitpun.
Aku ragu, kakek pasti marah karena aku telah menguntit nya. "Kakek, Maafin Nimas... "
"Sini! " ucapnya seperti tidak memperdulikan permintaan maafku.
Dengan langkah ragu aku terpaksa mendekat ke arahnya. "Iya kek" ucapku takut.
"Kau kemarin bertanya tentang gasiang tengkurak kan? "
"I... Iya" jawabku. Saat itu juga kakek menunjukkan peti itu padaku.
"Jika kau ingin tau mendekat saja, tidak perlu menguntitku" ucap kakek.
"Maaf kakek" aku tertunduk.
Kakek tersenyum. "Sebenarny aku tidak memperlihatkan ke sembarang orang tentang ini. Tapi aku akan menjelaskannya padamu. Daripada kamu cari tau sendiri itu lebih berbahaya kan?! " kakek menatapku seksama.
Iya, aku memang suka nekat kalau sudah penasaran. Aku meminta ijin untuk memegangnya mengamati benda yang ada di peti itu. Oh iya, selain ada benang tiga warna juga ada satu keping benda berbentuk pipih dengan dua lubang.
"Kakek, apa... Ini gangsing tengkorak? " tanyaku ragu. Tapi aku sungguh ingin tau.
"Ya" jawabnya.
"Tapi kenapa dinamai gangsing tengkorak? " tanyaku, perasaan biasa saja, tidak ada yang aneh, mana tengkoraknya. Pikirku, sambil melihat kembali peti siapa tau ada yang belum aku lihat.
"Kau tau kepingan pipih yang sedang kau pegang? Itu terbuat dari tengkorak manusia"
Nafasku terhenti sejenak "Apaa?! " ucapku langsung melemparkan kepingan pipih itu ke kotaknya. "Aahh maaf kakek" aku reflek.
"Khe khe... Kau ini!" Kakek malah terkekeh lalu mengambil kepingan itu. "Ingin tau tapi penakut dasar! "
"Kakek. Bagaimana bisa kakek mendapatkan tengkorak itu? Jangan-jangan... "
"Apa? Ini adalah tengkorak dari kakek dari kakek buyutmu. Itupun atas kemauan beliau" ucap kakek. Aku masih diam memandang kakek seksama.
"Sebelum meninggal kakek buyutmu berpesan, untuk mengambil bagian tengkoraknya. Dan inilah jadinya, gangsing tengkorak. Dan tengkorak ini diambil dari bagian keningnya" ucap kakek sambil mengelus permukaan tengkorak itu.
Aku bergidik merinding, berarti gangsing ini sudah menjadi alat turun temurun. Tapi... "Kakek punya gangsing tengkorak kan? Jangan bilang kakek juga melakukan hal yang sama kejinya" ucapku menatap kakek tajam.
"Apa maksudmu bocah?! " ucap kakek memangdangku serius.
"Apa kakek juga melakukan santet dengan gangsing ini?! " ucapku bernada tegas.
Kakek terdiam, Tatapannya berubah sayu.
Bukannya aku sok tau, tapi dari gelagat kakek sepertinya ia pernah melakukannya. "Sudah. Kakek tidak usah menjawab. Nimas sudah tau jawabannya" ucapku beranjak pergi.
"Ya. Dulu pernah satu kali. Dan itu membuat kakek menyesal sampai sekarang" jawabnya. Aku terhenti, mendengar getar suara kakek. Aku berbalik kembali menatapnya seksama.
"Dulu aku sempat gila uang. Orang itu datang padaku dengan membawa imbalan yang sangat banyak" ucap kakek menatap jauh ke masa lalu.
"Hanya demi uang kakek rela menyakiti, menyiksa orang lain? Siksaannya sama seperti yang dialami apak Arman sekarang kan?! Kakek kejam! " ucapku bernada tegas.
Kakek mengangguk. "Itu jadi penyesalan kakek sampai sekarang. Dari keserakahan itulah kakek sempat menyimpan benda ini dalam waktu lama. Sesekali kakek gunakan untuk mengobati santet yang sama" ucap kakek beralih menatapku.
"Apa kakek berniat membantu apak dengan benda ini lagi? " tanyaku.
Kakek mengangguk penuh harap. Benar... Berarti gangsing tengkorak melawan ilmu yang sama. Tapi apa mungkin? Sedangkan kondisi apak Arman sudah cukup lemah, apa dia sanggup menahan dua sisi yang berbeda? Antara yang menginginkan nya mati, dan yang menginginkan nya sembuh. Suatu perbedaan energi yang berbeda apa dia sanggup?
"Aku tau. Kondisi Arman tidak memungkinkan, tapi apa salahnya dicoba. Dengan ini mungkin bisa mengalahkan dukun itu" ucap kakek yang seperti tau apa yang aku pikirkan.
Kakek kembali menutup peti dengan rapat dan menyimpannya kembali. "Kakek, aku minta maaf atas ucapanku tadi"
"Khe Khe... Tidak apa. Justru Kakek suka dengan prinsip dan kepribadianmu. Kau sudah mengerti mana yang baik dilakukan dan yang tidak. Pertahankan itu ya! " ucapnya menepuk pundakku.
"Sekarang ayo, kita kembali kedepan. Jangan sampai ayahmu mengira kalau kau hilang" ucap kakek beranjak dari tempat duduknya, setelah menyimpan peti itu lagi kami kembali menuju saung. Aku mengikuti langkah kakek kembali ke saung bagian depan.