Tubuhku terasa bergetar hebat, suaraku bertambah berat, aku sendiri takut merasakannya tapi saat itu aku benar-benar marah ingin meluapkan semua kekesalanku. Akupun melanjutkan kata-kataku.
"Orang terpandang... Ya. Saya sering dengar ayah membantu banyak orang. Tapi keluarganya sendiri menderita dan membutuhkannya dia tidak pernah peduli. Ayah terpandang untuk orang lain sedangkan keluarganya sendiri menjadi korbannya. Dan pernikahanmu ini... Ga lain adalah sebuah permainan yang menjijikkan!"
"Apa maksudmu!" bang Aang geram hendak mendekatiku, tapi ayah menghalaunya.
"Gadis itu gila setelah menghina ayah kan? Katanya dia baru akan sembuh jika dinikahi oleh ayah. Masuk akal kah? Bukankah itu hanya sebuah permainan? Perlu kalian tau, itu bukan perbuatan mulia tapi perbuatan menjijikkan!"
"Nimas!" Sentak bang Aang semakin tidak terima.
"Kau orang yang tau keilmuan kan, Bang! Seharusnya kau tidak berlagak bodoh!" Suaraku semakin mengerang. "Kau membelanya sebagai seorang anak atau memang kau juga sama dengannya? Menyalah gunakan kelebihan yang dimiliki demi nafsu!"
"Beraninya kau berbicara seperti itu, sudah merasa hebat kau rupanya!" ucap Aang menggertakkan gigi.
"Tidak ada yang merasa hebat! Aku juga tidak merasa hebat" ucapku menatapnya tajam.
"Aku berani berdiri disini membawa perasaan mamaku, hak sebagai anak, impian dan harapanku juga adik-adikku. Kau setuju ayah menikah lagi silahkan. Tapi apa kau juga membenarkan cara dan kelakuannya? Pikir! Kau baru bertemu denganku Bang, dengan kejadian ini mungkin kau berfikir kalau aku anak kurang ajar, karena kamu tidak pernah tau perlakuan ayah terhadap keluargaku!"
"Cukup. Hentikan perdebatan ini!" sentak ayah. "Sungguh sama sekali tidak menghargai ayah, sikapmu yang menghina ayah seperti ini sangat menghancurkan perasaanku sebagai orang tua!" ucapnya lagi.
"Menghancurkan perasaan?? Ayah punya perasaan?" tanyaku menatapnya seksama. "Baiklah. Aku juga akan memperlihatkan bagaimana perasaanku sekarang!"
Aku berjalan menuju dapur mengambil batu yang biasanya digunakan nenek untuk mengulek/menghaluskan bumbu. Setelah itu aku kembali ke hadapan mereka sambil membawa batu itu.
"PRAAK... PRAAAANNNGGGG" sekali aku memukulkan batu itu ke meja kaca, meja kaca pecah seketika. Mereka bertiga melangkah mundur menghindari serpihan kaca. Dari raut wajahnya mereka sangat terkejut dan tidak menyangka kalau aku akan berbuat seperti itu.
"Kau... " ucap bang Aang.
"Lihat! Hancur, lebur, kaca itu adalah perasaanku, dan batu ini adalah kelakuanmu Yah." ucapku bernada dingin. Mereka bertiga sunyi menatapku.
"Ayah, aku adalah salah satu anak yang sangat protes dengan semua kejadian ini. Aku yakin saudara sedarahku juga sebenarnya keberatan hanya saja mereka terlalu takluk padamu meskipun perbuatanmu tidak bisa dibenarkan. Aku harap hari ini adalah kali terakhir kau mempermainkan perasaan seseorang, baik itu keluargamu sendiri atau orang lain. Aku bersumpah akan memaafkanmu, tapi aku tidak akan melupakan perbuatanmu"
Aku berpaling meninggalkan mereka yang masih terpaku. Masuk ke kamar nenek dan membating tubuhku ke atas ranjang, tanganku terasa kebas, urat leherku terasa mengendur, aku merenung lama merilex kan seluruh tubuhku yang terasa kaku.
Aku sadar perbuatanku keterlaluan, tapi bayangan wajah mama... Membuatku merasa sedih, dia pasti sangat terkejut jika mendengar hal ini. Apa yang harus aku jelaskan padanya nanti, dari mana aku harus memulainya.
"Apa yang harus aku lakukan." aku bergelut dengan pikiranku sendiri.
*****
siang ini aku pulang, sudah dari kemarin ayah memesankan tiket pesawat untukku dan bang Aang. Siang harinya kami bersiap, rencananya sebelum ke bandara kami mampir dulu ke rumah etek Jay sambil menunggu pesawat yang akan terbang jam 8 malam nanti.
Setelah mengemasi barangku, sebelum keluar kamar aku merapikan kamar nenek. Untuk terakhir kalinya aku duduk sambil mengelus tempat tidur itu.
"Nenek, kakek, maafin Nimas ya. Maaf telah membuat keributan disini. Maaf... Nimas sudah memecahkan meja kacanya. Maaf. Nimas pamit pulang, setelah ini mungkin aku tidak akan kembali. Hanya melalui doa aku bisa melepaskan rindu pada kalian"
Aku melangkah keluar kamar, sebelum menutup pintu, aku menyeka lagi ruangan nenek dengan pandanganku. Meja yang tadi pecah sudah tidak ada, begitu juga dengan lantainya, sekarang sudah bersih dari serpihan beling kaca.
"Saya pulang. Terimakasih." ucapku bersalaman tanpa menatap wajah ayah.
"Jaga adikmu dengan baik, jika ada Riski ayah akan berkunjung"
"Saya akan menjaganya lebih baik daripada anda pak Yuti. Dan jangan pernah berfikir untuk berkunjung karena rumah dan hati kami sudah tertutup untukmu!" ucapku menatap dingin.
Ayah terdiam menatapku dengan pandangan sayu, wajahnya masih aku ingat dengan jelas. Bukannya kasihan tapi aku malah ingin marah melihatnya.
Aku berpamitan dengan ayah, untuk yang terakhir kalinya aku menyalami tangannya. Tidak ada lagi ungkapan yang keluar pada saat itu. Semua sudah tertumpah pada kemarahan tadi.
Aku dan bang Aang tidak banyak melakukan perbincangan, aku sendiri malas mengeluarkan suara. Sampai kita tiba dirumah etek pun, aku masih diam. Namun bagaimana pun juga, aku harus tetap berpamitan dengan baik dengan etek dan keluarganya. Hanya ada satu dalam pikiranku saat itu, aku ingin cepat sampai rumah.
Di pesawat....
"Dimana kau belajar keilmuan?" tanya bang Aang memecah keheningan. Aku terkejut dengan pertanyaannya.
"Aku tidak belajar keilmuan" jawabku singkat.
"Ternyata selain berani kau juga pembohong ya!"
"Pembohong apa?! Aku berkata yang sejujurnya! " kesal.
"Terus. Pas kamu marah-marah tadi, apa kau sadar? Udah kaya orang kesurupan dan aku yakin itu bukan kamu. "
"Ya aku sadar. Sadar sepenuhnya. Cuma rasanya aku benar-benar marah. Melihat kalian semua seperti musuhku" jelas ku agak bingung.
"Pantas kau begitu berani dan kurang ajar! " ujarnya meledek.
"Hei. Aku berbuat seperti itu karena ada sebab! Sudahlah. Aku tidak ingin membahas apapun denganmu. Menyebalkan."
Aang senyum sinis, "Dasar kau. Suatu hari aku akan mengajakmu bermain-main, lihat saja"
"Kau mengancamku?! "
"Haha, aku tidak mengancammu. Aku hanya ingin tau seberapa kuat kau menghadapiku"
Ternyata dia lebih gila dan menyebalkan dari apa yang aku bayangkan. Gerutuku dalam hati. "Maaf aku tidak tertarik!" ucapku.
Tapi tetap saja, bang Aang menatapku dengan tatapan yang aneh. Aku harap ucapannya hanya sekedar meledekku. Sebenarnya kemarahanku tadi hanya apa yang ingin aku luapkan, bukan karena aku memiliki keilmuan atau apalah sejenisnya.
Apa yang aku saksikan selama ini kebanyakan orang yang memiliki keilmuan hanya untuk disalah gunakan. Demi mendapatkan apa yang dia mau, dan seperti kisah apak Arman juga menjadi korban atas kesakitan hatian dari orang yang menggunakan keilmuan juga. Semoga aku jauh dari hal yang seperti itu.
Setelah sampai di tanah Jawa nanti, aku akan berusaha mencari jalan agar masa mudaku lebih bermanfaat. Ya, aku akan fokus saja kesana menjalani hidup tanpa seorang ayah, hanya mama, mbah Putri, dan adik-adik ku.