Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Aku dan mama masih bertahan kerja disini, meskipun terkadang banyak kami bersedih kena makian, tapi semua itu tidak masalah jika kami saling menguatkan. Kalau tidak salah tepat di bulan ke 6, aku baru tau kenyataannya. Mbak Tari yang selama ini baik ternyata dia suka mengadu ke majikan, ngadu yang terbumbui jadi majikan semakin semena-mena terhadap kami.
Saat itu aku sedang di dapur untuk membuat bubur bayi, tidak sengaja aku mendengar mbak Tari sedang berbincang dengan Cici (majikan kami). Toko yang letaknya tepat berada dibawah dapur membuat suara mereka terdengar dengan jelas, apa yang mbak Tari ungkapkan adalah semua tentangku.
Sakit, apa yang mbak Tari bicarakan semua bohong. Katanya aku tidak becus jadi babysitter, mencuci baju bayi saja aku tidak bisa, cuma dibilas satu kali dan masih berbusa saat dijemur. Padahal, selama ini aku mencuci baju menggunakan deterjen khusus bayi, dan aku membalasnya sampai air terlihat bening.
Tidak hanya itu, dia juga bilang kalau aku suka mainan HP waktu kerja jaga anak. Padahal selama aku kerja HP selalu aku simpan di kantong, kecuali ketika istirahat siang baru aku pegang HP itupun sebentar hanya untuk menelpon mbah Putri juga adik-adikku. Beda sama dia, posisi apapun selalu telfonantelfonan dengan kekasihnya.
"Ma, mulai sekarang kalau ada apa-apa gak usah cerita ataupun curhat ke mbak Tari" ucapku kesal setelah kembali dari dapur.
"Kenapa?"
"Tau ga sih, ternyata dia tuh suka jelekin aku di belakang Ma!"
"Ya Mama tau" ucap Mama dengan santai.
Aku mentatap mama heran, selama ini Mama tau tapi kenapa dia masih saja baik padanya. "Apa? Mama tau?"
Mama menatapku lalu tersenyum. "Tau. Hanya saja apapun yang dia bicarakan dibelakang, Mama pura-pura tidak tau."
"Tapi kenapa Ma? Kenapa dia berbuat seperti itu? Demi cari muka, dia sampai menjelek-jelekkan di belakang." ucapku kesal.
"Sudah biasa. Mama pernah dengar dia curhat sama salah satu karyawan, sebenarnya dia begitu karena iri padamu"
Iri padaku? Apa yang mbak Tari kurang memangnya! Enci justru lebih berpihak padanya, gumamku dalam hati.
"Dia pernah bilang, anak baru masuk kok sudah dibeliin ini itu, baju suster baru dan lain-lain."
"Haha. Konyol sekali, bukankah memang begitu peraturannya?"
"Ya begitulah. Yang penting kamu sabar saja. Tidak usah di gubris apapun yang kau dengar. Meski kau tau, dan kau tidak suka, jangan terlalu menunjukkan. Paham?"
"Iya Ma" jawabku agak malas.
Apa aku bisa? Bersikap biasa saja pada orang yang jelas membenciku. Tapi ya sudah, aku akan bersikap biasa saja, tapi tetap menjaga batas supaya tidak terlalu dekat dengannya.
Suatu hari salah satu dari anak kembar itu sakit, ia demam tinggi. Kami semua khawatir, apalagi orang tuanya, saking hawatirnya kami semua di interogasi, kenapa bisa sakit? Apa anak saya jatuh? Apa saja yang dia makan? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Majikan sangat kesal padaku juga mama karena anaknya sakit. Apa daya? Kami hanya tertunduk menjawab pertanyaan dengan jujur. Kami tidak tau kenapa bisa sakit karena dari makanan juga kami buat dengan sangat steril dan menjaganya sepanjang hari supaya tidak terluka sedikitpun.
Malam itu juga engkoh membawanya ke rumah sakit, aku tidak ikut karena harus menjaga saudara kembarnya dirumah. Yang ikut ke rumah sakit hanya Mama, Cici dan engkoh. Sedangkan aku bersama mbak Tari dan si kecil dirumah.
"Apa kau perlu bantuan?" tanya mbak Tari melirikku tajam.
"Tidak mbak terimakasih" jawabku sambil tersenyum.
Akhirnya mbak Tari ikut bersamaku tidur di kamar bayi. Kami tidak banyak mengobrol, dia sendiri sibuk telfonan dengan kekasihnya. Seandainya aku ikut jahat, aku akan merekamnya lalu melaporkannya ke enci. Biar dia tau siapa sebenarnya yang suka bergadang telfonan dan kerja sambil mainan HP! Kesal.
Sampai larut malam aku tidak bisa tidur, kepikiran mama di rumah sakit. Apa mama bisa tidur? Apa engko dan enci masih marah-marah di sana? Kepikiran terus, aku lebih rela mereka memakiku saja.
Bang, bang, bang.... Tiba-tiba terdengar suara kaki yang sedang menuruni tangga besi dari lantai tiga. Aku terkejut lalu duduk di tepian tempat tidur. Aku menengok ke arah mbak Tari, dia tidur dengan nyenyak. Aku melirik ke arah jam dinding yang pada saat itu menunjukkan pukul 1 malam. Pintu yang hanya ditutup ala kadarnya, terbuka pelan seperti tertiup angin.
"Apa aku salah dengar?" gumamku. Aku kembali menutup pintunya,tapi sengaja tidak dikunci supaya saat engkoh datang kami mendengar klakson mobilnya. Namun setelah lama terdiam, suara di tangga itu tidak terdengar lagi.
Beberapa saat kemudian, tercium lagi bau bunga kamboja di hidungku. Bau khas yang biasanya tercium di balkon atas, padahal disini tidak ada yang menanam bunga kamboja.
"Oh ternyata kamu" ucapku. Meskipun aku tidak melihatnya tapi aku yakin kalau sosok wanita itu sedang ada di dekatku. "Kenapa kau menyusulku kesini? Bukannya malah senang kalau kamar atas kosong? Jadi aktivitasmu tidak terganggu!"
"Nimasss" terdengar suara wanita berbisik halussss sekali. Aku terkejut, berdiri dipojok ruangan kamar.
"Mama, ternyata dia bisa bicara. Hiks, aku takut" ucapku pelan dengan tubuh yang merinding. Baru pertama kalinya seperti ini, bicara tapi ditanggapi oleh yang tidak terlihat.
"Kamu... Tolong jangan menggangguku!" ucapku.
"Hati-hati.... " bisiknya lagi. Aku tersandar di tembok, badanku terasa lemas.
"Pergi. Kamu pergi!" ucapku sambil menutup mata dan kedua telingaku dengan rapat.
"Nimas kau kenapa?"
"Tidak! Jangan sentuh aku, pergiii!" bentakku.
"Nimas, ini aku mbak Tari! Kau kenapa??" tanyanya semakin tidak mengerti dengan tingkahku.
"Mbak Tari?" aku membuka mata dan telinga.
"Kamu kenapa? Ngapain kamu duduk di pojokan seperti ini?" tanya mbak Tari.
Aku terdiam, mengamati seluruh ruangan. Suara bisikan itu sudah tidak ada, begitu juga dengan bau kambojanya juga sudah hilang.
"Aku... Aku ga papa" ucapku dengan nada yang masih gemetar.
"Yakin kamu ga papa?"
"Iya mbak, aku ga papa"
Mbak Tari menatapku aneh, "Ada-ada saja. Bikin orang kaget" gerutunya. Iapun kembali melanjutkan tidurnya.
Aku duduk di tepian tempat tidur lagi, berusaha memulihkan detak jantung yang sangat kencang. Aku menoleh ke arah si bayi, untung saja dia tidur dengan pulas. Aku kira akan terbangun gara-gara suaraku tadi.
Termenung sejenak, memikirkan apa yang di sampaikan sosok itu tadi, dia bilang hati-hati... Tapi hati-hati kenapa? Dalam hal apa? Sudahlah, anggap saja makhluk itu cuma mau menggodaku, cuma mau menakutiku. Sekarang yang aku pikirkan, mbak Tari pasti akan menggosip lagi karena sudah beberapa kali memergoki tingkahku yang aneh. Aku menghela nafas panjang, mulai berbaring di samping si bayi lalu berusaha untuk tidur, berusaha untuk tidak memikirkan apapun dan berusaha untuk tidak mendengar apapun.