Antara mual dan ngeri, pemandangan macam apa ini! gerutu dalam hati. Aku tutup mulutku supaya tidak terpekik, tapi belum sempat aku ngintip lagi seseorang membuka pintu.
"Haah..." terkejut.
"Sedang apa kamu! " ucap kakek dengan logat padangnya sambil mengerutkan kening.
"Aa... Aku... Aku... " gagap. Bingung mau jawab apa.
"Ngintip-ngintip! kalau takut ya jagan lihat! "
"Maaf kek. Aku cuma kaget karena suara teriakan orang itu tadi."
Kakek terdiam sesaat. "Ya sudah. Tidurlah, sudah malam" ucap kakek hendak beranjak pergi.
"Emm... Kakek. Tunggu... Sebenarnya sakit apa orang itu?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Khe... Khe.. Kamu itu seperti ayahmu. Keras kepala dan punya rasa penasaran yang tinggi. Bedanya adalah ayahmu pemberani dan kau... Penakut!. ucap kakek meledek sambil menyalakan rokok yang asapnya sangat menyengat, sampai-sampai aku terbatuk. Kakek duduk di sampingku.
"Ooohhh... gasiang tengkuraa~aak...
Bangunlah pa bilo den suruah bangun...
________________
________________
Oohh..gasiang tengkuraa~aak..
_________ ang minum taraso duri..."
(Artinya:oh gangsing tengkorak... bangunlah apa bila ku suruh bangun...
Ooh gansing tengkorak..
________kau minum akan terasa duri) (Maaf sebagian saya tidak tulis mantranya π)
Sontak bulu kuduk di seluruh tubuhku merinding mendengarkan kakek bersenandung dengan nada dan syair yang misterius itu.
"Kenapo?" tanya kakek.
"I... Itu. Lagu apa yang kakek senandungkan barusan? "
Kakek terdiam sesaat. Mimik wajahnya berubah serius dengan mata yang menatap tajam ke arahku. "Itu mantra santet Gasiang tengkurak! "
"Sa... Santet? " pekikku. Aku belum paham betul tentang santet.
"Ya! Santet itulah yang sedang bersemayam di tubuh orang yang berteriak tadi. " jelas kakek lagi.
"Kakek..." belum sempat aku bertanya lebih jauh, ayah memanggilku. Beliau menyuruhku pulang, malam itu apak Dek yang mengantarku ke rumah Anduang (Nenek) .
"Tidak yah, aku masih mau di sini" ucapku. Jujur aku masih penasaran dan ingin tahu.
"Tidak boleh! Kamu harus pulang" ucap ayah dengan wajah yang serius. Aku melihat ke arah kakek, dia pun mengangguk memberi isyarat supaya aku menuruti permintaan ayah.
Sial. Padahal aku ingin tau tentang gasiang tengkurak ini. Gerutuku dalam hati.
Memang hawa mistis di saung itu sudah membuat kepalaku pusing dan merasa mual. Akhirnya akupun nurut untuk pulang. Sambil berjalan keluar, aku melihat-lihat. Banyak benda-benda aneh yang tergeletak di tengah saung dan orang-orang duduk mengitari benda yang di letakan tepat di sebelah kemenyan besar yang sedang dibakar.
Aku bergidik, tekanan dikepalaku semakin kuat. Apak Dek sudah siap dengan sepeda motornya, dan aku mulai naik sepeda motor yang siap melaju.
Motor mulai meninggalkan saung, Aku tertarik untuk melihat ke arah belakang, tepatnya arah saung kakek, disana aku melihat ada sosok hitam, besar dan tinggi seperti rasaksa, berambut panjang, bertanduk dengan mata yang memancarkan sinar hijau.
"Apak!" pekikku sambil meremas pinggulnya.
"Kenapa? Ada apa?" ucap apak khawatir.
"Ti... Tidak pak. Aku, kaget hampir jatuh" ucapku beralasan.
"Hati-hati, pegangan yang erat"
Jantungku berdegup kencang, sepanjang perjalanan tertunduk untuk menghindari penglihatan yang aneh-aneh.
(*keesokan harinya*)
"Nemek. Dimana ayah?" Ucapku agak kesal.
"Dia tidak pulang"
"Baiklah aku akan menyusulnya."
"Tidak boleh! Kamu jangan ke sana." nada nenek tegas.
"Kenapa Nek? Aku mau sama ayah, sudah bertahun-tahun tahun kita ga ketemu, apa salah kalau aku ingin bersama ayahku?!"
"Bukan begitu. Ayahmu dan para sesepuh lainya sedang berusaha menyembuhkan apak Arman yang sedang terkena santet. Bahaya kalau kamu disana"
"Baiklah. Jelaskan padaku." ucapku menekuk kedua tangan didepan dada.
Nenek duduk di sebelahku.
"Kasihan Apak Arman. Sudah beberapa bulan ini dia belum lepas juga dari Santet gasiang tengkurak."
"Sebenarnya apa itu gasiang tengkurak? Kakek juga bilang begitu, tapi Nimas ga ngerti apa itu gasiang tengkurak? " ucapku meminta kejelasan.
Aku agak kesal karena waktuku bersama ayah harus terganggu dengan suasana seperti ini. Nenek menatapku seksama. "Gasiang tengkurak, Gangsing tengkorak" jawabannya singkat.
"Ga... Gangsing? Tengkorak?" bulu kuduk ku kembali merinding.
"Ya. Gangsing tengkorak adalah salah satu jenis santet yang kejam disini" jelasnya lagi.
"Siapa yang melakukanya?"
"Entah, siapa yang melakukannya. Tapi sepertinya ini masalah keluarga. Padahal apak Arman itu orang yang baik." Ucap nenek prihatin.
"Apakah apak Arman bisa disembuhkan?"
"Sedang diusahakan Nak... Kamu jangan kesana sangat berbahaya"
"Tapi aku penasaran" ucapku dalam hati.
"Nimas, kamu dengar Nenek kan? "
"I... Iya, Nimas dengar" ucapku gagap. "Nenek, apakah santet itu bisa... "
"DAAARRRRR !!!!"
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari arah dapur.
"Astaghfirullahal'adzim..." Serentak aku dan nenek terkejut.
"Appa itu Nek? " tanyaku. Padahal disana ga ada kompor, ataupun tabung gas. Lantas apa yang meledak? "Ayo kita lihat" ajakku.
Nenek menggelengkan kepala.
"Ayo Nek!" aku menarik tangannya lalu kami menuju arah sumber suara ledakan tadi.
Aku mengintip dari pintu dan ternyata...Tidak ada apa-apa di sana. Hanya saja dapur agak berasap dan baunya seperti kemenyan yang sangat menyengat.
"Ini akibatnya. Jika ada yang berusaha menghalangi santet itu, maka akan diincar juga." Ucap nenek dengan wajah yang memucat.
Aku terdiam... Ini resikonya jika menyembuhkan orang yang terkena santet.
"Aku akan menyusul ayah, Nimas mau ayah berhenti ikut campur! " ucapku melangkah keluar.
"Tidak! Tidak akan aku ijinkan kamu ke sana. Ini sudah menjelang maghrib"
"Tapi Nek... "
Nenek menarikku, lalu memasukanku ke dalam kamar.
"Di sini kamu aman. Jangan keluar sampai ayahmu pulang!" ucap Nenek langsung mengunci pintu dari luar.
"Nek... Nenek buka pintunya! " ucapku sambil berusaha membuka pintu. Tapi tidak ada jawaban darinya.
Rasaku makin gak karuan. Entah kenapa aku ingin sekali ke tempat ayah, aku ga mau ayahku atau keluarga terkena imbas juga. Tapi gimana caranya?. Aku duduk terdiam mencari cara supaya bisa keluar dari sini.
Aku terdiam, suasana mulai sepi. Hawa aneh kembali terasa menyelimuti tengkukku, angin dingin berhembus pelan. Mataku meraba setiap sudut ruangan, tanganku meraba tengkuk supaya hangat. Baru saja aku kembali ke arah depan, terdengar suara geraman yang menakutkan.
"Geeerrrgghhh"
"Nenek.... Nenek.... Tolong buka pintunya! Ada suara apa itu, aku takuutt..." teriakku sambil terus menggedor pintu.
"Tidak usah mencari alasan Nimas, itu hanya akal-akalanmu supaya kamu keluar dari kamar kan? "
"Tidak Nek!" Suaraku mulai bergetar tapi nenek tetap tidak percaya padaku, tetap saja tidak membukakan pintu.
Kepalaku kembali merasa ada satu tekanan berat, aku seperti diawasi dan merasa sesak di kamar seluas itu. Aku memberanikan diri untuk berbalik melihat ke arah suara geraman tadi. Tapi ternyata, tidak ada apa-apa disana.
"Ueeekkk" aku mulai mual. Benturan energi semakin terasa. Cukup! Aku ga kuat kalau harus diam di kamar ini.
Aku melirik jendela yang ada di kamar itu. Semoga saja jendela tua ini bisa dibuka. ucapku dalam hati.
Dengan susah payah aku membuka pintu jendela, akhirnya terbuka juga.
"Maafkan aku Nek." bisik dalam hati.
Aku mengendap-endap supaya bayanganku tak terlihat dari jendela ruang tamu. Berjalan jongkok penuh kehati-hatian berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun.
"Aduh, sepatuku ada di ruang tengah! Ah sudahlah." Omel dalam hati. Terpaksa aku keluar rumah memakai sandal.
Susah payah akhirnya aku bisa keluar rumah dengan aman. Tapi, ketika melihat jalan setapak yang gelap... Ada rasa hati yang menciut. Jalan terlihat sangat gelap, semak, pepohonan, tidak ada satupun lampu jalan.
"Bagai mana jika ada binatang buas? Ular, monyet, babi hutan... Harimau." nafasku berhenti sejenak semua campur aduk dalam pikiranku.