Waktu kian berlalu, tidak terasa kini aku sudah berumur 15 tahun. Baru lulus SMP dan, entah bisa melanjutkan ke sekolah menengah atau tidak.
Diusiaku itu aku sudah diharuskan berfikir dewasa, masa yang seharusnya masih sekolah tapi aku pikirkan untuk pergi bekerja. Melihat adik-adik yang masih sekolah dasar, aku tidak tega jika mama harus membiayaiku untuk melanjutkan sekolah.
Dua bulan setelah kelulusan, ayah kembali menghubungiku. Dia menyuruhku untuk ikut bersamanya dengan alasan akan di sekolahkan di kampung halamannya, Padang Sumatera Barat.
Aku tidak bisa langsung memberikan jawaban tanpa persetujuan Mama, setelah mendapatkan telepon dari ayah aku langsung memberi tahu Mama. Tersirat ekspresi keberatan di wajah dan hatinya, Mama terdiam, tidak sanggup memberi jawaban, intinya dia tidak rela jika aku harus ikut dengan Ayah ke Seberang.
"Mama"
"Apa kau sudah yakin mau ikut dengan ayah?" ucap Mama dengan nada yang bergetar.
Aku terdiam berdiri memandang Mama yang mulai membendung cairan bening dimatanya yang merah.
"Apa kau tega meninggalkan Mama?" aliran air bening membelai wajah sayunya.
Aku terdiam, tanganku mengepal erat. Satu sisi aku juga ingin melanjutkan sekolah, sisi lainnya aku juga tidak ingin jauh dari Mama.
"Tapi Mama juga tidak boleh egois kan? Kamu juga harus memiliki masa depan yang cerah nak. Pergilah, Mama mengijinkanmu" ucapnya setelah merenung beberapa saat.
"Mama jangan sedih, aku akan melihat juga keadaan disana. Jika baik keadaannya, aku akan meminta ayah untuk membawa kalian ke sana" ucapku. Mama tersenyum sambil mengusap air matanya.
Dengan bekal yang cukup, baju seperlunya, aku siap berangkat. Sebelum ke Padang, aku harus terlebih dulu ketempat kakak tiriku, em... Saudara sedarah sebenarnya, cuma beda ibu, mereka anak dari istri pertama ayah yang meninggal dan tinggal di daerah kota B. Aku menunggu ayah menjemputku.
Meskipun sambutannya sangat dingin, aku tetap bersikap biasa. Ini kali pertama kami sesaama saudara seayah saling bertemu. Canggung sudah pastilah. Tapi aneh, rumah dan posisi tempat tinggal itu seperti tidak asing lagi, rasanya aku pernah kesana sebelumnya, tapi kapan??
"Kamu Nimas ya?"
"emmm, iya"
"Kenalin aku Fitri"
Seorang wanita tinggi semampai menghampiri, tubuh kurusnya terbalut jilbab panjang memakai bawahan rok panjang abu-abu duduk di kursi sudut sampingku.
"Jadi kamu mau ikut ayah ke Padang?"
"Iya Kak, kata ayah aku mau di sekolahin di sana."
"Oh, syukurlah" ucap kak Fitri tersenyum.
Aku duduk sambil mengamati ruang tamu, kaya ga asing deh. Tidak berselang lama, seorang anak perempuan berambut pendek masuk ke dalam rumah sambil membawa jajan di kedua tangannya. "Eh... Sepertinya aku pernah lihat dia" gumamku dalam hati sambil serius memandangi anak berusia sekitar 6 tahun itu.
"Oh iya, dia Mila. Adik bontot disini" jelas kak Fitri.
"Mila? Eh... Aku pernah bertemu dan melihatnya tapi dimana ya?." gumamku masih dalam hati.
"Ada apa Nimas?"
"Eum... Ga ada apa-apa Kak" jawabku sambil mengalihkan pandangan.
Kak Fitri merenyitkan alisnya, "Mila, kamu anter kak Nimas ke kamar ya." ucap Fitri padaku, Mila jalan duluan dan akupun menyusul langkahnya.
Kami berjalan melewati ruang tengah, aku terus mengelak kalau perasaanku salah. "Ga mungkin kan? Aku baru pertamakali kesini, tapi kenapa seperti pernah kesini. Setelah ini apa! Aku naik tangga trus masuk ke ruangan kosong diloteng atas ada dua kamar kosong gudang, dan lemari besar gitu? Haha halu!" ucapku memaki diriku sendiri seakan sudah tau keadaan rumah itu.
Aku masih terdiam, sesekali membetulkan ransel di punggung. Setelah berjalan melewati ruang tengah, kami masuk ruangan dapur, ada kamar mandi di sebelah kiri, saat menoleh ke kanan ternyata benar. Ada tangga menuju atas.
"Sial! Ini pasti cuma kebetulan kan!" umpatku.
Mila masih berjalan di depanku, tangga berbentuk L separuh sudah berkeramik, separuhnya lagi hanya dilapisi semen.
Semakin naik, aku melihat ada gudang tepat di samping sebelah kiri tangga. Mila menoleh ke arahku, lalu melanjutkan naik tangga. Pemandangan yang sama lagi. Setelah berada di ruangan atas, apa yang menjadi makiku ternyata benar.
Kamar mandi tepat di depan tangga, Dua kamar kosong, gudang, lemari besar. Kakiku terasa lemas, bingung dengan apa yang terjadi. Sebenarnya mana yang mimpi? Kemarin atau kejadian sekarang. Apa iya aku mengulang hal yang sama? Jika ingatan dan perasaan itu hanya sebuah mimpi atau imajinasi, masa sih bisa sedetail ini.
Tempat ini, ingatan ini... Argh kepalaku terasa pusing. Aku pernah kesini, bertemu dengan anak ini, Mila. Tapi kapan!
*****
Malam harinya, setelah mandi aku duduk diruang tengah sambil nonton TV sama kak Fitri dan Mila. Kepalaku masih saja dipenuhi dengan perdebatan yang tidak masuk akal.
Bagaimana bisa? Ilusi macam apa yang aku alami! Berfikir, bingung, entah pada siapa aku harus bertanya dan siapa yang mampu menjelaskannya. Rasa kantuk mulai melanda, aku pamit pada kak Fitri untuk terlebih dulu iastirahat.
"Kak, aku tidur duluan ya"
"Silahkan Nimas, tapi kalau kamu mau tidur di bawah juga ga papa, bareng sama Mila"
"Iya Kak, nanti kalau misal aku takut. Aku pindah ke bawah deh" jawabku tersenyum sayu.
"Oke deh kalau begitu"
Aku bangun dari tempat dudukku lalu melangkah menuju tangga dengan sisa tenaga. Menguap dan sayu, tiba-tiba terbelalak ketika kakiku sudah menaiki tigaanak tangga.
"I... Ini serius? Gelapnya" pekikku.
Antara takut tapi juga kepepet. Ruangan atas yang luas terasa begitu mengintimidasi dan menyeramkan. Tapi gimana, kamarku memang ada di atas sana.
Aku mengambil ponsel dari saku celana. Ponsel jadul dengan senter di atasnya. Lumayanlah, meskipun remang setidaknya ada cahaya.
Langkahku ragu, tapi aku juga ingin melawan rasa takutku. Agak gemetar sebenarnya, rasanya kaya masuk ke dalam rumah hantu. Hawanya benar-benar berbeda dengan ruangan bawah yang hangat dan penuh kehidupan. Sedangkan ruangan atas ini, senyap, lembab, dingin dan tidak terawat.
Saat aku lewat pas di depan kamar mandi, kaya ada sesuatu yang berdiri diam mengawasiku. Aku tetap melanjutkan langkahku, sampai di ruangan luas yang ada lemari besar, aku merasakan semakin banyak yang sedang melihat ke arahku.
Terus berjalan tanpa memperdulikan mereka. Sampai di depan pintu kamar, aku langsung berlari masuk dan langsung mengunci pintu.
Perasaanku lega, jantung berdegup kencang. "Sial. Kenapa rumah ayah seram sekali." gumamku.
Tapi mending lah, kamar yang aku tempati tergolong bagus. Berkeramik, spring bad, tapi plapon hanya tertutup terpal berwarna biru.
Beda dengan kamar sebelah yang juga kosong tapi masih dengan tembok bata, jendela yang masih terbuka nyambung dengan gudang. Cahaya lampu kuning bikin kamar sebelah terasa lebih menyeramkan.