Chereads / My Annoying Father / Chapter 7 - BAGIAN 6

Chapter 7 - BAGIAN 6

Meringkih pada hati yang terluka..

Ku berusaha memeluk..

Namun, tiada arti..

Kira-kira apa aku bisa berharap?

Setelah semua yang hilang dariku..

Akan kembali seperti dulu?

Tulisku sebuah puisi, mengalir begitu saja. Entah apa yang membuatku bisa merasakan sensasi berbeda ketika mengutarakan perasaan lewat tulisan.

Mungkin aku hampir kehilangan salah satu fisikku, atau bahkan dapat meregang nyawaku sekejap.

Rasa traumatik pada 2 kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu.

Pertama, pada kecelakaan ketika emak dan bapak masih berjualan di Pasar Minggu.

Kedua, ketika hari kelulusan tiba. Saat bis melaju jalan untuk menempuh perjalanan pulang.

Menikmati temaram kota Bandung dengan jalan yang berliku nan curam, membuat hati deg-degan berpacu dalam adrenalin yang menguras nafas.

Ahh, bagaimana tidak trauma. Aku duduk di samping jendela bis. Dengan otomatis akan terlihat keadaan diluar.

Walau keadaan gelap, tapi banyak pencahayaan lewat kendaraan di belakang bis.

Jalanan yang menanjak membuat laju bis sedikit melambat. Banyak kendaraan memberi kode klakson agar bisa lebih cepat lajunya.

Namun, bis yang kami tumpangi pun terhambat oleh bis di depan kami. Entah bis dari mana yang pasti bukan rombongan bis sekolah kami.

Tak ayal bagaimana rasanya, tiba-tiba bis di depan kami merosot kebawah entah rem blong atau faktor lain.

Pak supir yang mengangkut bis kami banting stir ke arah kanan untuk menghindari dempetan bis dari depan.

Namun naas, bis lain yang berlawanan arah sedang melewati jalan menurun dengan kecepatan diatas rata-rata.

Seketika aku yang di samping jendela berteriak.

"Aaaahhhhhhhh"

Jendela disampingku berhasil pecah. Bisku tertabrak, serpihan kaca dan dorongan kuat dari bis yang melaju di depanku membuatku terjepit diantara bangku-bangku bis.

Bis kami hampir oleng dan terbalik. Namun, dengan cepat diselamatkan oleh bis 2 rombongan sekolah kami. Dengan menghimpit bis kami. Agar bis kami tidak jatuh dan terbalik.

Situasi menggemparkan, mencekam. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa? Badanku tidak bisa bergerak karena himpitan yang membuat nafasku tersenggal.

Aku bersimbah darah yang keluar dari kepalaku, disebabkan dari kaca yang menusuk-nusuk. Semua penumpang berusaha menyelamatkanku.

Namun kedua tanganku terjepit, sehingga aku tidak bisa memberikan perlawanan pada benda yang menghimpitku.

Sungguh aku berada pada dua kemungkinan.

Hidup, atau mati?

"Bapak.. emak.." lirihku pelan berusaha mencari ponsel yang terjatuh di kolong bangku tempat dudukku.

Namun usahaku sia-sia. Aku hanya bisa terdiam dengan kucuran darah yang terus mengalir melewati pipiku.

Suara gemuruh orang-orang panik

Semua penumpang diperintah untuk keluar dari bis. Karena keadaan yang sudah tidak memungkinkan untuk 4 bis yang saling menghadang ini, mundur.

Bunda dan Ilke berhasil tidak terjepit, mereka berdua membantuku untuk keluar dari himpitan bangku.

Keadaan panik, sehingga orang-orang bingung harus berbuat apa. 15 menit berlalu, aku terjepit diantara bangku-bangku bis ini. Belum ada yang berusaha membantuku, karena masih fokus pada evakuasi penumpang yang lain.

30 menit berlalu setelah semua penumpang keluar dan mengemasi barang-barang. Sungguh, setengah jam yang terasa seperti seharian.

Tolong aku, aku udah gak kuat. Lirihku dengan pelan, ku berbicara semampuku.

Setelah semua penumpang turun. Bunda Ilke menuju pintu bis berteriak-teriak meminta tolong, sedikit demi sedikit bala bantuan dari kaum Adam berdatangan.

"Pak tolong pak, dia kejepit pak" ujar bunda dengan panik.

Mereka pun berusaha mengeluarkanku yang sudah lemas tidak bisa melawan diri. Aku hanya pasrah menunggu usaha mereka menyelamatkan ku.

Hampir semua penumpang sudah berhambur keluar dari bis. Sisanya hanya tinggal aku, bunda dan beberapa bapak-bapak yang menolong.

Ilke sudah keluar bersamaan dengan ibu-ibu yang lain.

"Coba tarik ya pak" ujar salah satu bapak-bapak yang mengaba-abakan.

"Satu.. dua.. tiga.."

Perlahan mereka menarik bangku, dan mengeluarkan tubuhku.

Dan.. kraakkk

Suara bangku yang patah membuat kelonggaran pada ruang yang menghimpitku tadi.

Akhirnya aku bisa dikeluarkan. Mereka langsung membersihkan serpihan kaca yang ada di tubuhku. Kaos putih seragam tour ku sudah berubah warna menjadi merah, karena darah yang mengalir dari kepalaku.

"Alhamdulillah.. bisa keluar" sontak bapak-bapak dan bunda teriak bersyukur karena telah menyelamatkan ku.

"Pak, tolong gotong anak ini keluar bis ya" ujar bunda meminta untuk aku dibawa keluar bis untuk dievakuasi ke rumah sakit terdekat.

"Iyaa siap bu"

Aku pun dibawa keluar bis, dimana diluar bis sudah ramai memperbincangkan ku, karena orang-orang bisa melihatku terluka dari luar bis. Secara aku duduk di samping jendela.

"YaaAllah.. astaghfirullah.."

Suara gemuruh orang-orang yang berempati pada keaadanku, aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata. Karena otot di kepalaku terasa mati, entah karena tertusuk reruntuhan kaca bis tadi, aku tidak tahu.

Tapi aku masih bisa melihat keadaan disekitarku. Aku melihat mereka menangis, terutama ibu-ibu rombongan bisku. Begitu pun bunda dan Ilke.

"Ra, kamu masih sadar kan Ra?" Tanya Ilke dengan suara parau karena sebab ia menangis.

Aku mencoba tersenyum, dan menjawab pertanyaan Ilke. Namun, rasa sakit dan perih membuatku mengurungkan niat itu.

"Ra, yang sabar ya Ra! Kita lagi panggil ambulance"

Tunggu tunggu!

Mengapa sekeliling ku berwarna hitam?

Aku sudah tidak tahan menahan sakit yang tiba-tiba menyelimuti mata dan kepalaku.

Apa ini semacam takdir?

Tidak tidak!

Aku masih bisa merasakan nyawaku di dalam badan.

Aku masih bisa merasakan sakit.

Aku yakin takdir itu belum datang.

Aku masih ingin melihat emak..

YaaAllah..

Berikan aku kesempatan untuk hidup.

Dan setelah itu aku tidak ingat apapun.

*****

( Suara alat-alat rumah sakit )

Alat-alat itu sudah menempel di badanku. Termasuk alat "pendeteksi takdir" yang dijepit di ibu jariku.

Aku tidak bisa melihat keadaanku separah apa? Sehingga banyak alat-alat yang terpasang di badanku. Yang jelas, badanku seperti mati rasa.

Seketika aku ingat ada beberapa hal yang terjadi dengan emak. Tapi, aku tidak bisa mengingat apapun.

Aku tidak ingat apa pesan emak sebelum ini terjadi?

Sekilas aku mendengar pembicaraan dokter, suster maupun bunda. Namun tidak jelas mereka membicarakan apa?

Mataku tertutup, namun pendengaran ku masih peka terhadap sekitar.

Ketika semua sedang sibuk dengan perbincangan, aku mulai membuka mata sedikit demi sedikit. Menerima cahaya yang menyerobot memasuki mataku.

Terdengar suara dokter yang menyadari akan kesadaran ku.

"Dia sudah sadar?" Tanya dokter memastikan.

"Ra.. Ra bangun Ra.." ujar bunda sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Kamu sudah sadar?" Tanya dokter kembali memastikan.

Aku menghembuskan nafas.

Dan berusaha bangun, namun tak kuasa menahan sisa sakit yang masih terasa di sekujur tubuhku.

"Kamu mau ngapain? Istirahat dulu yang banyak ya" ujar dokter menenangkan.

"Ko saya bisa ada disini?" Tanyaku keheranan.

"Nanti kita cerita ya, kamu istirahat dulu"

"Ko bunda ikut? Ngapain disini? Aku mau pulang, gamau disini" ujarku menolak suruhan dokter untuk istirahat.

Entah kenapa aku rasanya ingin memberontak, karna aku tidak bisa mengingat apapun.

Yang aku ingat, aku ada dirumah bersama bapak dan emak.

"Emak mana bun? Ko gak ikut? Hapeku mana?" Aku sadar bahwa masih ada ponsel yang bisa menjawab kegelisahanku.

"Gaada Ra, hape kamu rusak"

"Ko bisa? Emangnya kenapa?" Aku bangun dari tempat tidur untuk mencari ponselku di tas.

Aku menebar pandangan ke seluruh ruangan, mencari dimana tasku berada?

Dan.. gotcha! Aku menemukan tasku.

Aku berusaha tertatih-tatih berjalan menuju tas yang ada diatas sofa. Sambil memegangi kepala ku yang masih sangat pusing.

"Udah istirahat aja Ra, kasian badan kamu butuh banyak istirahat" bujuk bunda sambil memegangiku.

"Yaudah bunda ambilin, kamu tunggu disini"

Mungkin karena bunda iba melihatku, akhirnya bunda mengambilkan tasku.

Aku merogoh tas yang kotor dan bernoda darah.

"Ko ini banyak darah bun? Kotor juga emang aku abis ngapain?"

"Engga ko, mungkin ketumpahan sirup merah" ujar bunda berusaha menenangkan ku, sembari nyengir kuda.

Aku mengernyitkan alis; keheranan.

Ponsel berhasil kutemukan, dan aku langsung membukanya. Jariku langsung tertuju pada pesan dari emak.

Hah?

Dari kapan bapak dirawat?

Bisikku bertanya-tanya dalam hati.

Ku termenung memandangi pesan emak, menangis sejadi-jadinya. Tuhan, tolong kembalikan ingatanku.

Aku ingin ingat apa yang terjadi denganku sebelum ini. Aku ingin normal kembali.

Aku harus bagaimana yaa Tuhan?

Aku sangat lemah saat ini. Tolong beritahu aku, tolong tuntun aku untuk mengetahui semua yang ku lupa.

Apa aku masih memiliki sisa hidupku?