2012
~¶~~¶~~¶~~¶~~¶~~¶~~¶~~¶~~¶~~¶~
Kisah ini dimulai pada tahun dimana aku menginjak bangku SD, dan semua kehidupan berputar sangat cepat. Berubah dengan semestinya walau tak diharapkan.
Dengan otot yang mulai melemah, yang tersambung pada otot jantung yang kian berdebar tak beraturan.
Semua harus dilakukan, demi konteks hidup yang amat melelahkan, dengan perjuangan yang tak kunjung memberi ruang.
Setidaknya memberi ruang untuk tetap 'waras'. Agar bisa memperoleh sikap yang baik tertanam pada diri.
Yang namanya hidup pasti tidak akan berakhir jika dibicarakan, semua pasti telah merasakan kesengsaraannya masing-masing, dengan jalan yang berbeda.
Kecuali berbicara tentang mati, pasti tak ada hal yang menarik lagi untuk dibicarakan.
Menjalaninya memang butuh keringat dan air mata. Tak jarang bila banyak menggoreskan luka yang amat dalam.
Tapi, kita sebagai manusia tidak boleh menyerah pada pilihan kita untuk hidup di dunia.
Kita hanya butuh kuat, bukan sempurna.
Emak lah yang mengajarkanku untuk kuat. Walaupun emak perempuan, tapi kekuatan hati dan fisiknya tidak diragukan lagi.
Semua manusia hebat pada porsinya masing-masing. Tidak ada standar rata-rata kehebatan yang diukur pada satu hal saja.
Emak hebat dalam hal ini, tapi belum tentu hebat dalam hal lain.
Seperti yang tertulis diatas.
"Bahwa kita hanya butuh kuat, bukan sempurna".
*****
Emak sedang mengadon adonan cakwe dan kue bantal, untuk dijajakan pada usaha yang sedang emak dan bapak rintis.
Sejak bapak mengidap penyakit stroke, semua usaha dan materi yang bapak punya, ludes terjual untuk biaya pengobatan bapak 8 tahun silam.
Kini, emak dan bapak memulainya dari nol.
Emak mengikuti pelatihan "franchise" pada usaha "CAKBUN (CAKwe BUNda)". Yang kala itu emak mati-matian meminjam modal untuk membuka usaha ini.
Karena uang pesangon bapak pun habis untuk pengobatan. Semua perjuangan untuk menyembuhkan bapak akhirnya terbalas, walau fisik bapak tidak bisa kembali normal sempurna seperti dulu.
Hingga emak meminjam pada salah satu bank, dengan jangka balik pinjaman satu tahun, setelah usaha emak berjalan lancar.
Kami pun menyewa salah satu kontrakan satu ruang.
Namun, jika dilihat pada keadaan rumah itu. Tidak terlihat seperti kontrakan layak huni.
Rumah itu kusebut rumah 'bersekat'. Karena rumah itu hanya terdiri dari satu ruangan saja, berukuran 5x5 meter.
Dan untuk kamar tidur nya emak membuat kotak dari kayu, agar memisahkan antara kamar tidur, dapur, dan kamar mandi.
Suhu di ruangan itu pun tidak menentu, terkadang kami kedinginan, pun sebaliknya jika sedang musim panas.
Apalagi, ketika emak sedang masak. Maka satu ruangan itu terisi uap panas yang dihasilkan dari masakan emak.
Belum lagi suara bising kendaraan yang selalu berlalu lalang setiap waktu. Yups, rumah itu terletak di pinggir jalan.
Karena dulunya ruangan itu digunakan untuk tempat bengkel motor. Untung saja sang pemilik kontrakan berbaik hati untuk membenahi ruangan yang dulunya dipenuhi oli, kini sudah berubin dan bersih.
Mungkin, emak juga memilih tempat strategis untuk usaha emak. Agar lebih mudah mengundang banyak pembeli, di pinggir jalan lah tempat yang paling pas.
Emak berjualan cakwe yang menurutku bukan standar cakwe biasa. Karena dari segi pelatihan dan bahan-bahan yang emak beli bukanlah bahan biasa.
Bisa dikatakan cakwe emak itu berkelas, hehe. Walaupun penjajaannya di pinggir jalan.
Selain berjualan, emak juga menerima jahitan baju dan semacamnya.
Walau tak semahir penjahit lain tetapi karya-karya emak sudah berjejer rapih di lemari bajuku.
Emak selalu membuat pakaian baru untukku dan keluarga. Kami jarang membeli pakaian baru di pasar. Kata emak, selagi ada bahan dan emak punya kemampuan. Kita harus berhemat.
Setidaknya dari usaha jahitan emak bisa mengganjal perut per-harinya.
Sebelum akhirnya emak memilih untuk berjualan di depan rumah. Kami pernah berjualan di daerah Pasar Minggu.
Setiap hari aku, emak, bapak dan Eshaal, berangkat untuk berjualan disana.
Omset yang didapat pun berbeda dari kami berjualan di depan rumah seperti ini. Lebih banyak ketika kami berjualan di Pasar Minggu.
Dulu, kami juga memiliki banyak pelanggan bermobil, dan selalu konsisten membeli dagangan kami sepulang kerja.
Karena memang dekat dengan perumahan juga.
Namun, siapa sangka musibah apa yang akan terjadi.
Suatu hari ketika dagangan kami sedang ramai, dan kami bisa pulang kerumah lebih awal pada sore hari. Biasanya kami pulang malam pukul 09.00 WIB.
Dengan modal motor Supra-X bapak yang sudah banyak dimodif hingga merk motor bapak pun tidak terlihat, kami menaiki motor tumpuk empat.
Belum lagi barang dagangan yang tidak laku terjual, dan wadah adonan yang kami bawa pulang lagi, hingga membuat motor bapak terlihat sangat bejubel.
Mungkin, karena muatan berlebih jadi membuat keseimbangan bapak membawa motor tidak bisa ditahan.
Ketika laju motor sedang dan hampir kencang, tikungan menghampiri pada Jl. Brigif.
Kami terjatuh dari motor pada tikungan itu, karena posisi motor miring ke kiri. Seperti yang kukira bahwa motor itu membawa muatan berlebih.
Untung saja tidak ada luka berat pada kami. Tapi, membuat kaki bapak kambuh semakin parah diakibatkan serangan stroke 8 tahun silam.
Dan bapak pula yang tertindih beban motor yang dibawa.
Sejak saat itulah, akhirnya emak memutuskan untuk berjualan saja di depan rumah. Karena bapak pun tidak mengizinkan emak pergi berjualan sendiri.
Kini, bapak berjalan dengan agak pincang dan merambat untuk berpegangan pada keseimbangan tubuhnya.
Tidak jarang juga bapak memintaku untuk menuntunnya berjalan, kemanapun bapak mau.
Tapi bapak lebih suka untuk duduk di teras rumah, bangku yang disediakan untuk pembeli.
Bangku panjang seperti bangku-bangku pada penjual bakso jalanan. Disitulah satu-satunya tempat bapak melihat lalu lalang kendaraan. Sekaligus untuk menjadi wisata mata.
Namun, dari diamnya bapak. Kesehariannya hanya bisa duduk di bangku depan. Membuat emak gerah, melihat bapak tidak bisa berusaha untuk bisa sembuh dari penyakitnya.
Setidaknya, setiap pagi hari jalan sehat walaupun hanya di sekitar rumah.
"Pak, jalan dong biar kakinya sehat lagi, gimana mau sehat kalo kerjaannya dieeeem terus duduk doang disitu" ujar emak sambil membereskan cakwe yang baru saja di goreng.
"Ngomong mulu lu, gatau gimana rasanya kaki saya apa!"
"Yeee orang dibilangin yang bener, malah begitu"
"Dokter aja gak menganjurkan ko!"
"Ah, kamu mah ngarang aja bawa-bawa nama dokter terus"
"Udah udah ngomong mulu lu kerjaannya"
"Gitu tu, gimana hidupnya mau maju kalo gabisa nerima nasihat dari orang lain, egoiss aja hidupnya"
"Lu mau gua cekek baru diem hah?!"
"Astaghfirullah, kalo ngomong sama istri enak banget ya begitu. Istrinya mati baru tahu rasa kamu gak ada yang ngurusin"
"Biarin aja saya tidur di jalanan kek, biarin mati mati aja sekalian"
"Gak ada abisnya ya ngomong sama kamu mah, gak pernah mau ngalah dan mendengarkan hal baik dari orang lain"
Emak mengakhiri pembicaraan sambil kembali masuk ke rumah.
Hmm, sudah lazim telingaku mendengar mereka beradu argumen setiap harinya. Bahkan, seperti tidak ada lelahnya, adu argumen setiap waktu.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sebagai anak pasti aku dan Eshaal sangat sedih, melihat orang tua tidak harmonis. Entah apa penyebabnya, sehingga bapak dan emak seperti sulit untuk harmonis.
Padahal menurutku, jika bapak dan emak sama-sama saling menerima masukan dan pendapat. Maka, kedamaian akan dirasakan dalam rumah tangga ini.
Jika mereka sudah bertengkar dan tidak usai-usai. Aku beranjak pergi untuk bermain dengan tetangga perempuanku.
Penat yang dirasa, seperti aku kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Seharusnya kehangatan dari keduanya yang kudapat setiap harinya, namun justru kebalikannya.
Mak..
Pak..
Andai kalian tahu isi hati anakmu ini mak!
Aku sangat ingin kalian berdua bahagia, tentram dan penuh kehangatan.
Apa ada salah dari anakmu ini mak? Sehingga kalian berdua hanya bertengkar setiap waktu?
Secara tidak sadar luka batin anakmu ini selalu tergores oleh ucapan-ucapan yang kalian lontarkan satu sama lain.
Aku tidak ingin kalian saling meyakiti, bahkan hatiku pun ikut teriris. Ketika ucapan yang tidak seharusnya keluar dari lisan kalian, malah membuat kalian saling tersakiti.
Aku yakin emak dan bapak saling mencintai.
Namun, apa yang membuat salah?
Jika kalian saling mencintai, apa memang sepatutnya kalian saling menyakiti?
Aku sangat ingin dunia tahu, bahwa kisahku ini bukan kisah biasa. Mereka harus mengambil pelajaran dari kisahku yang pilu.
Setidaknya, jika Allah memang menakdirkan aku hidup seperti ini. Dan inilah pilihan dari kedua orang tuaku.
Tapi aku kehilangan banyak hak ku sebagai seorang anak. Aku ingin hikmah yang tersimpan dalam kisah ini bisa dijadikan pelajaran oleh semua orang.
Bahwa tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan emosi dan ego.
Ingatlah bahwa orang-orang disekitarmu berhak mendapatkan kasih sayang yang tulus.
Jangan sampai mereka kehilangan itu semua, hingga suatu saat kau akan sadar. Dan menyesal atas perbuatan kalian kepada orang-orang yang kalian sayangi.
Bukankan itu menyakitkan?
Tidak, jika memang lubuk hati menerima ketentuan dan ridho atas apa yang terjadi.
Memang sulit, namun lebih sulit lagi jika hanya menyalahkan takdir dan keadaan, yang tidak diinginkan.
Hati ini harus dilatih untuk tahan banting, mengusap paksa air mata yang dihalangi oleh senyum getir.
Ikhlaskan keadaan, karena hanya itu obat hati yang paling sempurna.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberikanku pelajaran hidup yang sangat berarti.
Walau terkadang aku belum bisa mengerti apa pesan cinta yang akan Kau sampaikan kepadaku.
Semoga, aku selalu mendapat hidayah agar hati ini selalu melihat banyak sudut pandang. Sehingga sampailah pesanMu untukku.
Karena seolah-olah, Tuhan sedang menyampaikan pesan lewat beberapa ujian yang diberikanNya.
"Manusia, yang tidak tahu apa-apa dari dunia ini. Kuberikan ujian agar kalian bisa mengambil hikmah di dalamnya."
*****
Tidak apa, jika aku hidup dengan keadaan ini.
Walaupun aku kerap merasa iri dengan anak-anak yang bermain dengan bapaknya, tanpa beban.
Tapi, aku yakin Tuhan Maha Baik.
Karena tidak pernah ada yang tahu, rencana dan rahasia Tuhan.