Selamat membaca
°•°•°
Kurasakan kedua mataku yang semakin memanas. "Aku nggak bisa. Besok, aku nggak akan denger suara kamu manggil namaku lagi, Sean. Apalagi mata itu. Aku, aku... apa aku bisa...?" batinku.
Bunyi tepuk tangan di depan wajahku berhasil menyadarkanku dari lamunan. "Apa?"
Sean menggeleng seraya terkekeh. "Kamu itu lagi..." matanya membola. "...eh, kamu sakit?! De...?!" Digenggamnya tangan kiriku, penuh kelembutan di sana.
"Hei, kok malah nangis? Kenapa De? Kamu lagi sakit beneran ya?" Dia masih berdiri di depanku bersama raut khawatirnya.
Sementara aku, cuma bisa menangis dalam diam. Pikiranku buntu. Kepalaku perlahan menggeleng.
"Elisa, Dea kenapa?" tanyanya lagi.
"Udah enggak usah khawatir, ini cuma masalah perempuan. Laki-laki nggak boleh tau, ya kan De...?"