Selamat membaca
°•°•°
Acara makan siang berjalan dengan lancar, meskipun tak banyak yang aku dan Sean obrolkan. Selama menikmati nasi goreng babatnya, Sean sering disibukkan oleh handphone yang sekarang ini ada di saku celana jeansnya. Aku pun tak mau ambil pusing, menghabiskan sate ayam seporsi dan bakso kuah tanpa mie malah membuat moodku meningkat tiga kali lipat.
Di tempat yang penuh beraneka ragam tas dan dompet ini, aku menemani Sean dengan berdiri di belakangnya.
"Yang ini bagus nggak?" tanya Sean dengan posisi badan sedikit serong ke belakang.
"Lumayan... em, tapi warnanya agak mencolok sih. Coba cari yang lain dulu." komentarku kala melirik tas jinjing warna merah.
Terlihat terang sekali bak lipstick ibu-ibu arisan yang merahnya terang benderang, terlalu menor! Tapi, kalau dilihat dari modelnya, bisa dikatakan unik. Apalagi ukuran tas itu sedang. Bukan besar apalagi mini, membuatku tertarik. Cuma, lagi-lagi kelemahannya ada di bagian warna, aku jijik hahaha! Kembali lagi, semua menurut pandanganku.
"Kalau yang ini?"
Aku tahu, mataku sudah berbinar. "Wiiih... Bagus...!" aku sedikit terpukau, warnanya campuran antara merah bata dan silver. Ukurannya juga pas. Sempurna! "Keren ini..." gumamku sembari menarik tas yang 'WOW ABIS' itu dari tangan Sean. Sayang, ini bukan buat aku.
"Tapi kalau dipakek buat ke pesta masih kurang, nggak?"
"Buat ke pesta...?" Sean manggut-manggut. "Emang tasnya bu---"
Sean memotong ucapanku dengan pertanyaan keempat kalinya, "sama yang ini?" dengan menunjuk, tanpa dia angkat.
Tas hitam yang tertangkap sepasang mataku kini memang memukau. Warna dan modelnya lebih indah dari yang sebelumnya. Kali ini, terdapat beberapa titik dengan sentuhan warna emas yang cukup mengkilap. Hanya saja untuk tas yang satu ini, ukurannya sedikit lebih mungil.
Karena tadi Sean sempat menyinggung tentang pesta, kupikir tas hitam bertabur warna emas di bagian pinggir itu cocok dikenakan. Ya, sangat cocok untuk dijinjing. Terlihat elegan. "Bagus, lebih bagus ini sih kalo buat ke pesta."
"Oke deh, yang ini." dengan senyum lebar, Sean pun meraih dan juga memberikan barang cantik itu padaku.
Baru beberapa detik di genggaman, ada sosok wanita di depanku, yang kuyakini dia lah karyawati di sini. Wanita tinggi itu langsung mengambil tas pilihan Sean, usai mengucapkan kalimat permisi. Benda bertinta di tangannya menari-nari di kertas kuning persegi panjang, setelah wanita itu menilik barcode yang menggantung di dalam tas blackgold tersebut.
"Barang bisa diambil di kasir ya Kak, ini..." tuturnya penuh keramahan.
Kuterima kertas kuning itu dengan senyum dan menyahut, "iya, terima kasih..."
Tanpa kusadari, Sean sudah tidak ada di lokasi dia berdiri tadi. Kepalaku terus celingak-celinguk. Tidak berhenti mencari laki-laki berkaos gelap itu, "ke mana itu anak? Main ngilang aja kayak bocil lagi petak umpet."
Kuputuskan untuk berkeliling di sekitar sini. Tapi, belum sampai sepuluh langkah aku berjalan, tubuh Sean terlihat jelas saat aku menoleh. Persis di arah kananku, dia tengah menduduki bangku putih bersama ponsel yang dia genggam.
Belum juga kusebut namanya, batin laki-laki itu seakan terpanggil. Buktinya, dia langsung melihatku yang jalan, hampir menuju padanya. Sean bangkit dan berkata, "masih ada barang lagi. Kita cari satu lagi, habis itu ke kasir." aku mengangguk patuh. "Kamu tunggu sini aja. Biar aku yang nyari."
"Sama aja aku nggak bantuin kamu, dong...."
"Takut kamu kecapekan..." kurasakan elusan singkat di puncak kepalaku ketika ia mengatakan alasan itu. "...bentar ya," lanjutnya.
Senyuman lembut yang selalu membuat hatiku menghangat, kudapati di wajah Sean sekarang ini. Aku tak berkutik, cuma mampu memberikan tatapan polosku ke dalam matanya yang meneduhkan. "Udah, duduk sana."
Kuangguki ucapannya sebelum sepasang kaki yang semula di hadapanku, pergi membawa tubuhnya makin jauh dariku. Sambil menatap punggung tegapnya, dua tanganku terulur dan mendarat di bagian dada untuk merasakan cepatnya detak jantungku saat ini.
"Sikapmu ke aku bener-bener lebih dari sekedar temen. Tapi, jauh sekali dari mimpi..." sebatas kalimat itu yang bisa kuucapkan ketika tubuh tegap yang berbalut pakaian serba hitam itu, hilang dari pandanganku.
Ribuan detik sudah memakanku. Menit demi menit aku tetap duduk menunggu. Aku semakin resah karena waktu yang kuhabiskan di bangku ini sudah lebih dari tiga puluh menitan. Tapi, Sean masih berkeliling entah ke mana. Dia juga tak memberikan satu pesan apapun. Kalau aku mau, aku sudah menghubunginya, tapi aku takut mengganggu kegiatannya mencari-cari barang.
Karena aku merasa kasihan, dengan sesegera mungkin aku bangkit dan berjalan ke depan. Kutepuk pelan lengan ibu-ibu hamil yang posisinya tak terlalu jauh dari bangku yang singgahi tadi. "Sebelumnya maaf Bu, kalo saya ngagetin, eh-mbak..." senyum simpul refleks terlukis di wajahku kala melihat reaksi wanita hamil ini yang sedikit terkejut. "Em... kayaknya Mbaknya butuh tempat duduk. Em, bisa dipakek sekarang kok, saya sudah selesai."
"Ouh... Iya-iya, makasih ya."
"Sudah seharusnya," sembari mengembangkan senyum dan juga memberi satu kali anggukan.
Langkah kakiku membawa tubuh yang terbalut dress lautan bunga-bunga ini kian menghindari bangku yang tadi kududuki. Saat ini aku melewati beberapa orang yang berdiri di sebelah kanan-kiri, puluhan orang yang tengah asik-asiknya bercengkerama, juga hampir menabrak anak-anak yang berlarian di depanku. Mungkin orangtuanya tengah fokus memilih tas cantik-cantik. Hingga tak terasa, sekarang aku sudah melewati pintu keluar dan berdiri membelakangi tempat ini.
Baru saja aku sampai, "Ayok De... maaf ya, lama." suara Sean terdengar. Tangan kanannya langsung melingkar di bahuku. Bersama jari-jarinya yang memegang erat salah satu lenganku. Begitu aku menoleh, Sean menggiringku untuk semakin jauh dari sini.
"Ini mau ke mana?" tanyaku bingung, karena tidak ada tanda-tanda kalau dia mau mengajak kami pulang.
"Cari jaket couple." Senyum lebar dengan mata berbinar yang ia tunjukkan di depan mataku ini, sudah membuktikan kalau jaket couplenya akan dipakai untuknya dan Elisa. "Aku pengennya yang buat berpasangan. Sekali-sekali kasih kejutan buat Elisa."
"Iya... apalagi baru jadian, kan?"
Sean mengangguk. "Aku harap dia suka. Doain, ya!"
"Pasti," ujarku dengan kepala yang ikut mengangguk-angguk pelan.
Tak lama, kami berdua sudah menginjakkan kaki di wilayah serba-serbi kembar, terutama benda pelapis tubuh, jaket. Ada macam-macam jaket di dalam sini, dari jaket jeans, jaket bomber, hoodie, dan sweater juga. Kerennya, semua barang itu bukan untuk para jomblo. Hahaha, seharusnya aku tidak masuk ke sini. Ya aku sadar, ini sesuai persis dengan status dan tujuan Sean.
Sudah lama sekali aku sama Sean memilih, dan mencari-cari apa yang sekiranya cocok. Mungkin sudah melebihi setengah jam. Rasanya aku ingin duduk sekarang.
"Ini, De! Kayaknya keren, unik juga."
Aku pun menghampiri cowok yang masih terlihat tampan itu. Dan ternyata, Sean akhirnya menemukan sepasang jaket jeans abu-abu. Aku terkagum-kagum dibuatnya. Sebab, bagian belakang keduanya sama-sama bergambar busur dan anak panah. Jika didampingkan, kedua anak panahnya saling menunjuk, antara jaket yang Sean bawa dengan yang kubawa.
Sean mengangkat salah satunya, sedangkan satunya lagi aku pegang. Di bagian paling bawah, satu kata yang diukir menggunakan benang berwarna hitam itu bertuliskan 'DUWEKKU' yang dalam Bahasa Indonesia berarti 'PUNYAKU atau 'MILIKKU' dan hasilnya, bibirku terbungkam saat mengembalikannya ke tangan Sean lagi.
°•°•°
Terima kasih banyak para pembaca setia :)
Aku mau tanya dong... kalau minggu ini aku double up, kalian pada setuju nggak?
Kalau setuju, kasih masukan di hari apa ya!
STAY SAFE!
See you :*
God Bless <3