Selamat membaca
°•°•°
Angin berhembus sangat kencang di sekitarku. Menerpa wajahku tanpa izin. Ya, sungguh tidak sopan. Kurasa, rambutku yang tak tertutup helm dari leher sampai bawah, sudah berterbangan ke sembarang arah, mengikuti ajakan udara yang terus menghentak. Semua tidak semata-mata ulah udara. Tapi siswa tampan yang ada di pelukanku ini ikut andil.
"SEAAANNN...!"
"DEEEAAA...!" dengar? Pemilik punggung tegap itu malah menggodaku.
"Berhenti nggak!"
"Enggak."
"BERHENTIII!"
"Enggaaak..."
Kurang diajar memang. huh... "SEAN!!!"
"Apa!" Oke... emosi sudah aku dibuatnya.
Cowok ini mau main-main sama Nadea rupanya. Lihat saja gerakan tanganku, "berhenti-hiiih! Huh, tuh! Nah... Enak? E-nih! Tuh!" kupukul bertubi-tubi saja helm yang tengah bersemayam di kepalanya dan tak ketinggalan turun ke punggung yang berbalut seragam sekolah itu. Aku ketakutan! AKU TAKUT! Motor Sean kelewat kencang! Tau? Sampai-sampai hidungku sulit untuk menghirup oksigen seperlunya. Memang keterlaluan! Aku harap jantungku tidak bermasalah gara-gara kelakuan brutal Sean ini. Dasar kejam! Usil! Tak punya hati! Kupukul terus saja punggungnya hingga ia kesusahan menghindar. Mau bagaimana lagi? Kita berdua sedang duduk di atas motor dan untungnya, jalanan yang kami lewati sepi sekali sore ini.
"E-eh! Iya-iya... Ganas!" laju motornya mulai stabil, normal secara kilat. Sesuai perintah dan berkat pukulan heboh yang kuberikan barusan.
"Kamu sih! Udah dibilangin dari tadi jangan kenceng-kenceng! Aku udah takut tauuu...! Ngerti apa nggak sih?!"
"Harusnya udah biasa aja. Kan udah sering aku latih nyalimu."
CTAK-TAK!
Jangan salahkan tangan kananku yang secara spontan menggeplak helm Sean untuk kedua kalinya. Enak sekali dia bilang! Memangnya aku bahan uji coba? Enak saja!
"Lama-lama kamu kayak Nino tau nggak?! Usil banget, parah!" komentarku yang nyatanya memang benar seperti itu dan kini kualami. Persis Nino.
"Iya-iya, maaf. Bercanda doang...."
"GARING!" hahaha, lucu dari mana coba? Sean-Sean... kamu memang, hem... enggak lucu.
"Namanya juga usaha..."
"Usaha dari mana heh?! Ngelucu dari mana? Bikin orang takut kok dibilang bercanda! Aneh!"
"Iya-iya maaf... Bentar lagi sampek tujuan, nggak usah marah-marah deh... Ya? Oke?" aku tak menyahut sama sekali, bahkan gumaman sekalipun tak kukeluarkan dari mulut. Aku juga melipat tanganku di depan dada, gunanya untuk memberikan jarak dudukku dengannya. "Lah... Kamu marah?" motornya terus berjalan tanpa menambah dan mengurangi kecepatannya, bergerak normal. "Maaf ya De..." pintanya. "Dea...? Nadea...?"
Lebih baik didiamkan saja dulu. Lama-lama lelah juga ini : bibir dan telingaku, lantaran akibat laki-laki yang tertular virus Nino. Heran, bisa juga siswa seperti Sean terkontaminasi. Namun, terdengar lucu saat suara Sean yang terdengar seolah putus asa, meminta maaf dariku. HAHA! Memangnya enak? Rasain!
Dia berhenti memohon-mohon, mungkin merasa lelah juga. Sampai akhirnya, motor gede nan berat ini berhenti di sebuah parkiran kendaraan khusus untuk roda dua. "Ayok!" ajaknya yang sudah turun, diikuti aku yang sedikit kesulitan. Aku enggan menerima uluran tangan Sean. Pertama, karena aku masih kesal, yang kedua, aku ingin sedikit menjaga jarak. Gunanya? Untuk menghargai status Sean sebagai pacar orang. Kudengar Sean membuang napas panjang dan tangannya langsung menjauh.
Ngomong-ngomong, aku masih enggak tahu di mana kita sekarang. Tapi sepertinya, aku sama Sean akan memasuki sebuah kafe, sepertinya. Karena halaman parkiran ini terletak di bagian belakang bangunan berukuran cukup besar, jadilah pikiranku yang hanya bisa menerka-nerka. Aku baru tahu juga, parkiran mobil ada di sisi bagian kiri, unik sih... ah, maksudku jarang aku temui. Kupikir akan dibuat separkiran, buktinya berpencar jauh. "Ngapain kamu De? Kok dari tadi celingak-celinguk liat motor sama mobil." tanya sosok yang sedari tadi berjalan di sampingku. Biarkan saja, cuekin aja. Aku masih kesal. "Masih aja diem...." salah sendiri macem-macem!
Saat pintu masuk ada di depan mata, Sean lantas mendorong. Dan terdengarlah kalimat dengan nada penuh keramahan dan semangat, "singgah dan bersantailah!" yang menurutku berasal dari sebuah speaker. Kulirik sepintas dan... ternyata benar! Bentuknya bulat dan berwarna merah muda, lucu! Imut sekali! Speaker berbentuk roti donat mungil yang menempel di tembok. Keren banget! Jadi pengen aku makan!
"Kamu kenapa senyum-senyum?"
"Kamu sendiri kenapa? Dari tadi komentar teruuus... Ngomong terus nggak bisa diem." cetusku yang memang sinis.
"Dea... Aku udah minta maaf. Masih marah?"
Aku menggeleng. "Siapa yang marah?" pura-pura enggak sadar.
"Kamu loh."
Aku menggeleng lagi. "Enggak. Aku cuma kesel aja."
"Maaf mbak-mas sebelumnya... Boleh langsung ke meja kosong? Soalnya banyak orang yang keluar-masuk mbak, mas." ujar seorang perempuan berseragam pelayan lalu menempelkan telapak tangan kiri-kanannya di depan dada sambil menunduk sopan kemudian melihat ke arahku dan Sean bergantian.
"Oh, i-iya mbak. Maaf..." refleksku, lalu melirik Sean yang malah diam menatapku. Buru-buru aku menyenggol lengan Sean yang masih belum berubah arah pandangnya.
"Ah, iya mbak. Maaf-maaf. Ayok, De!" ajak Sean di sampingku. Aku setujui dengan mengikutinya, dan diekori oleh pegawai perempuan tadi.
Di atas meja bernomor empat belas, Sean mengambil kertas yang berisi daftar menu. Aku duduk di sampingnya karena meja yang dipilih Sean hanya tersedia satu sofa. "Saya pesen kopi arang, air tawar, sama mi lurus rebusnya satu-satu." kata Sean yang langsung dicatat oleh perempuan berambut pendek di atas bahu itu. Sayang, tidak ada nama di baju yang ia pakai. "Kamu apa?" sambil menunjukkan senyum kecil.
"Terserah kamu aja."
"Oke... Em, es lumpur sama roti ban yang lima rasa. Udah mbak, itu dulu." dengan ramah dia memberikan senyum ramah padaku dan Sean, sebelum benar-benar menjauh dari meja kami.
"Kok lucu ya namanya... Kapan-kapan ajak yang lain ke sini dong."
Sean langsung tertawa kecil mendengar komentarku kemudian menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. "Makanya aku ajak kamu ke sini, unik soalnya." aku mengangguk setuju. "Tapi nggak usah nunggu kapan-kapan. Nanti mereka juga ke sini." masih dengan senyum cerah yang tercetak di wajah tampannya.
Dahiku mengernyit bingung. "Alin sama Nino? Kok bisa?"
"Bisa dong."
"Emang kamu udah ngabarin mereka?" Sean mengangguk tanpa melunturkan senyuman. "Kapan?"
"Udah dari siang tadi pas di sekolah!" balas seorang laki-laki. Aku menoleh ke belakang, karena sedari tadi memang posisiku menghadap ke arah Sean. Lokasinya benar-benar tak jauh dari tempatku dan Sean duduk. Di sebelah dia sudah ada gadis yang seperti tengah menahan kesal, terlihat dari ekspresinya sekarang. Ya! Gadis itu adalah Alin yang tak kuketahui kapan munculnya, bersama bocah tengil yang kupastikan dialah penyebab dari terbentuknya raut muka Alin sekarang.
Aku lantas kembali melihat Sean. "Maksud kamu apa?"
Bahu Sean terangkat sambil berujar, "minta maaf? Gara-gara aku, tugas kita belum selesai kan?"
"Cuma itu?" Sean mengangguk ragu. "Terus, kenapa kita harus beda meja sama Alin-Nino? Harusnya kan berempat...."
Sean lagi-lagi tersenyum. "Gantian kamu yang kerjasama sama aku, biar Alin sama Nino."
"Kamu pengen liat mereka bertengkar?"
"Emang selama kita ngerjain tugas belakangan ini mereka berdua bertengkar terus?" balas Sean yang malah bertanya. Tapi benar juga, Nino malah sering diam ketika kita mulai belajar kelompok. Entah main game atau sibuk sendiri, sesukanya.
"Iya sih, jarang. Tapi kan, dia males mikir!"
"Makanya, biarin dia berdua sama si Alin. Biar Nino itu kena omelan Alin kalau nggak mau diajak kerjasama. Kalau udah marah, Alin pasti bertindak." aku pun pasrah, ikut saja keinginan dan rencana aneh Sean.
°•°•°
Terima kasih sudah membaca... baik yang baru maupun setia. (berharap ada yang setia)
Ada yang mau disampaikan? Oh, enggak? Oke.
Jaga kesehatan!
See you
God bless you