Selamat membaca
°•°•°
Selama detik makin bertambah dan waktu hari ini kian berkurang, aku masih saja bergelut dengan dadaku sendiri yang tak kunjung berdegup normal. Jarakku dan Seanlah yang menjadi dalangnya. Sedari tadi aku juga berusaha meminimalisir suhu dingin telapak tanganku, yang anehnya tiap menit berkeringat. Kedekatan ini tercipta juga karena ponsel Sean yang tiba-tiba mati lantaran kehabisan daya, membuat kami berdua tak terkikis jarak sesenti pun. Lengkap sudah kegugupan dan kekompakanku sama Sean, yaitu sama-sama satu sofa, satu ponsel, dan satu tujuan. Maksudnya, tujuan dalam mencari artikel di internet... jadi, jangan ada yang salah paham.
Beruntungnya aku, karena Sean yang memegang ponselku. Karena itulah aku tidak-perlu-memperlihatkan-getaran-tanganku ke Sean, efek lengan kami yang bertabrakan. Kalau begini terus, kapan aku bisa menjaga jarak?!
"Ini aku udah dapet beberapa. Kamu nggak mau nyari?" Suara lembutnya masuk ke bagian terdalam telingaku. Menghilanglah sekarang juga Dea! SE-KA-RANG!!!
"E-i-itu kamu salin dulu, be-lum kamu kirim ke emailmu kan?" Entah sudah berapa kali aku melipat bibir dan berdeham yang lagi-lagi untuk mengurangi rasa gugupku.
"Ketemu yang penting, langsung aku salin. Aku kirim juga kan... Kamu nggak merhatiin?" Jawab yang pintar Dea! Bibirku sulit digerakkan! Aku bingung! ASTAGAAA...! Aku tidak tahu harus menjawab apa. "Hei... Dea? Pikiranmu dari tadi ke mana?" Astaga! Perasaan baru tadi aku mengatakan kalau aku beruntung. Sekarang aku ketahuan kalau tidak fokus dengan materi!
"U-udah itu aja Sean. Em-aku ngikut kamu aja... maksudku... maksudku, jawabannya itu dulu aja. A-aah iya! Aku lupa pamit kalo kita ngerjain tugas astagaaa...! E-kita pulang sekarang ya?" ucapku belepotan. Aku bingung harus gimana dan tiba-tiba bayangan Nadiya langsung masuk ke kepala, dan ditambah dia yang memang lupa kupamiti! Huh, semoga saudari kembarku itu tidak marah-marah nantinya.
"Yakin?" aku mengangguk cepat. "Ini masih jam tujuh kurang loh, De... masih ada waktu. Aku pastiin tugas kita besok udah selesai. Itu kalo kita tuntasin hari ini." terangnya setelah menilik jam yang tertera di HPku.
"Ta-pi aku belum ijin, lupa-hehe...."
"Ya udah ijin, kabari dulu." sambil menyodorkan benda elektronik pipih punyaku itu.
"Tapi... tapi kalo misalnya aku disuruh pula---"
"Bilang tugasnya belum selesai. Kalo tetep nggak dibolehin, aku yang ngomong. Beres..." senyum lebar tapi terlihat tegas dari bibirnya itu, sulit membuatku mengatur napas. Kuturuti saja apa maunya.
Jari-jariku lantas menekan berbagai huruf di atas layar ponsel yang sudah kugenggam. Aku memilih untuk mengirim pesan singkat. Dan tak butuh waktu lama, Diya langsung membaca. Kupikir ia akan marah, tapi nyatanya dia malah membolehkan dengan senang hati dan dirinya juga mengatakan kalau masih ada di luar. Nadiya juga bilang kalau akan menginap. "Heihhh!" tunggu. "Nginep?! Di mana?!"
"Dea..." Sean mencolek pelan hidungku. "Kenapa?" Karena terkejut, refleks punggungku mundur sampai menempel senderan sofa. Sean yang melihatku kaget malah terkikik geli. "Hei... dijinin apa nggak?" tanyanya dengan senyum kecil di bibirnya.
"Oh, i-iya. Iya, diijinin kok. Tapi... Diya kemungkinan mau nginep. Belum sempet aku tanyain nginep di mana, Diya malah matiin datanya."
"Coba ditelpon biasa."
Sesuai saran Sean, aku langsung menghubunginya, jariku menekan tombol panggil. "Ck, langsung nggak aktif..."
"Mending kita kerjain tugas kita lagi. Mana ponsel kamu, biar cepet! Kamu dari tadi nggak fokus-fokus." dengan tersenyum gemas ia menatapku, entah ini sekadar perasaanku atau tidak. Namun betapa terkejutnya aku! Beberapa detik kemudian, salah satu tangannya mengelus puncak kepalaku yang membuat sesuatu di dalam perutku terasa geli, sedangkan jantungku bekerja dua kali lebih cepat lagi.
Lidahku kelu, sulit berucap. Aku hanya bisa menatap ke dalam manik matanya yang meneduhkan. Tugasnya itu membuatku grogi dan tenteram di saat yang bersamaan. "Benar-benar membuatku sulit memendam rasa sakit lama-lama Sean... Bahkan menjauh darimu itu terasa mustahil buat dilakuin. Harus gimana lagi biar aku berhenti berharap dan mengenyahkan rasa gugup waktu di dekatmu? Apalagi ketika jarak mulai menghilang dari posisi kita seperti sekarang." ucapan yang kutahu hanya ada di batin. Karena balik lagi, aku tak mampu mengeluarkan kata-kata, dan alhasil... yang kulakukan hanyalah menatap sepasang mata Sean. Bahkan hingga dia sekarang sudah menggenggam ponselku, dan serius menggunakannya untuk mencari artikel lagi.
Karena tak kuat menahan haus, jari-jariku perlahan meraih gelas berisi es lumpur tadi yang dipesankan oleh Sean, sekarang tinggal setengah gelas. Beda dengan namanya, minuman itu ternyata adalah es coklat yang ditaburi potongan-potongan biskuit hitam di atasnya. Kata Sean, biskuit yang diremuk ini ibarat batu kerikil, sedangkan es coklat yang barusan kuminum adalah lumpurnya, padahal sebelumnya aku mengira kalau itu es kopi. Tapi percayalah bahwa es lumpur ini minuman yang lezat, dan teramat segar begitu mengalir ke tenggorokan. Karena rasa manisnya seimbang, tak kemanisan. Eitsss...! Bukan promosi ya!!! Karena es lumpur ini memang enak!
"Kamu ngantuk?"
"Hah?!" kuletakkan gelas itu di tempatnya semula.
"Ngapain merem-merem segala-hahaha..." kata Sean di sela-sela tawa imutnya.
Dengan setengah malu dan deg-degan setengah mati, aku melebarkan senyum tipisku sambil geleng-geleng kepala dan menjawab lirih, "nggak papa, hehe."
Sean masih terkekeh tapi ia langsung berujar, "ini udah kelar. Nanti tinggal aku cek di laptopnya Alin." yang membuatku sedikit lega dan juga merasa kehilangan. Karena tandanya, waktuku bersama Sean hari ini sudah hampir berakhir.
"Berarti udah bisa pulang?"
Sean mengangguk. "Nanti laptop Alin aku pinjem, aku selesaiin di rumah." kemudian diteguknya kopi hitam yang di deretan menu, dinamai sang pencetus : Kopi Arang.
Mendadak, Alin dan Nino sudah berdiri di depan meja kami. Gadis itu sudah membaik, maksudku sudah enggak sesinis tadi. "Jadi dibawa apa nggak nih laptopku?" tanya Alin ke Sean.
"Jadi, jadi..." ujar Sean sambil mengangguk lalu meletakkan gelas berisi minuman kopi arang tadi. "Besok mau aku bawain ke sekolah apa aku kembaliin pas pulang sekolah?" tanyanya ketika Alin mengulurkan laptop.
"Terserah kamu sih... tapi kalo enggak ngerepotin, kamu kembaliin habis pulang sekolah. Takutnya kalo besok aku pinjem buku di perpus, bawaanku jadi banyak." Sean mengangguk paham usai mendengar alasan gadis berjepit putih itu.
"Udah kan? Kuy pulang!" seraya menarik pergelangan tangan kiri Alin, kulihat sahabatku itu langsung membelalak dan mau tak mau mengikuti Nino yang sudah menariknya untuk angkat kaki dari hadapanku serta Sean.
"Ayok, De!" seru Sean yang sudah berdiri, entah kapan ia berkemas, cepat sekali. Aku yang buru-buru jadi ikut cepat-cepat bangkit. Tak lupa Sean mengembalikan ponselku, "nih..." tanganku pun menerima, kemudian mengantongi benda pipih ini ke salah satu saku rok seragam dengan dada yang seketika bergemuruh.
Sean merangkulku. Ujian apalagi ini?! Oh Tuhan... Aku cuma bisa menarik napas dalam-dalam, sangat dalam. Dan momen ini berlangsung selama kita berdua beriringan. Dengan kepalaku yang mengarah ke bawah, memandangi sepatu-sepatuku yang terus membawaku melewati detik demi detik penuh kegugupan.
°•°•°
Terima kasih para pembaca :* dan pastinya pembaca setia (ngarep terus )
Gimana? Ada yang mau disampaikan?
Pesanku selalu : jaga kesehatan!
See you
Gbu :)