Selamat membaca
°•°•°
Sudah dua hari terhitung sejak aku dan kawan-kawan mengerjakan tugas kelompok. Selama dua hari ini, Sean sibuk mengantar-jemput Elisa menggunakan kendaraan beroda empat miliknya. Lain halnya dengan pasangan kekasih itu, dua hari ini aku malah dianggap Nadiya bagai orang lain. Diya sibuk sendiri dengan laki-laki yang belum kuketahui dari mana asalnya, rumah dan sekolahnya, wajahnya aku juga belum tahu. Jadi dua hari ini pula aku pulang sama Alin, diantar sopir pribadinya. Tak apa, aku memang harus dilatih sabar dan kuat. Meskipun sebenarnya sangat berat.
Di dalam mobil ini, tepatnya di kursi penumpang bagian belakang, si Alin selalu sibuk bersama benda elektronik di genggamannya. Kami bisa berbincang cuma beberapa menit. Gadis berpita merah di sampingku ini tadi cerita kalau orang tuanya lagi-lagi belum bisa pulang ke rumah, aku sedikit kasihan mendengar berita itu. Bagaimana tidak? Baru dua hari lalu orang tuanya balik dari kerjaan di salah satu kota yang berbeda dengan Alin, dan sekarang beliau harus ke luar kota lagi. Terlihat sekali raut wajah cewek ini yang mencoba untuk tetap tegar.
Tak terasa ban mobil pun berhenti tepat di depan pagar yang sedikit menjulang. Aku buru-buru keluar karena Alin masih ada urusan yaitu ke toko buku. Sebenarnya tadi pas di dalam mobil aku sudah diajak, tapi aku tetap memutuskan untuk di rumah saja. Jujur, aku sangat-sangat terpaksa menolak lantaran rasa senang di diriku hari ini sudah hilang. Melihat Elisa dan Sean di parkiran yang terus-terusan menebar tawa tadi ialah penyebabnya. Membuatku harus membangun tembok sendiri agar mampu tersenyum cerah lagi, tanpa dibuat-buat.
"Makasih Lin!"
"Daaa...!" teriaknya sambil melambaikan salah satu tangan, tanda perpisahan.
Tanganku secara spontan juga terangkat. "Daaa...! Makasih ya, Pak...!" dengan mengangguk dan tersenyum, bapak sopirnya merespon teriakanku. Beliau melanjutkan tugasnya mengemudikan mobil silver Alin dalam kecepatan rata-rata. Kulihat terus sampai mobil itu menjauh dari jarak pandangku.
Dengan langkah pelan aku masuk rumah setelah memutar badan ---kira-kira seratus delapan puluh derajat--- dan melewati pagar hitam. Langkah demi langkah, sepasang kakiku membawa tubuh lelah ini ke ruang yang ada di lantai dua, mana lagi kalau bukan kamar pribadi Dea.
Tas ransel yang masih melekat di punggung langsung kulempar dan mendarat di atas kasur yang terbungkus seprei putih polos. Sambil membuang napas panjang aku duduk di tepi ranjang. Kulepas jaket jeans yang tadi membungkus tubuh atasku dan melipatnya, untuk sementara kutaruh di sisi paha kiri.
Membersihkan badan yang sudah berjam-jam lamanya bergelut dengan udara kotor, mungkin akan membuat pikiran dan hatiku lebih segar. Bisa juga berbagai macam energi positif masuk ke otak kalau aku keramas. Oke! Waktunya aku mandi!
Setelah selesai dengan urusan bersih-bersih dan cukup wangi dari atas kepala sampai bawah, aku pun sudah lengkap oleh pakaian rumahan yang kukenakan yaitu celana ungu tua yang pendeknya setengah paha. Bagian atas, aku Pilih kaos warna senada namun lebih muda, seperti ungu pudar, tapi bercorak penuh warna yang ditimbulkan oleh cipratan-cipratan tiga warna. Ada putih, biru, dan merah muda. Ya, benar-benar penuh warna! Bukan main-main aku mengenakannya, tapi gunanya amat sangat penting yakni untuk membuat hatiku lebih cerah dari sebelumnya. Bukankah penampilan bisa menunjang perasaan seseorang? Kurasa begitu.
Karena rambut panjangku yang masih basah, jadilah kedua tanganku sibuk melilitkan handuk ke kepala, membungkus rambutku agar sisa airnya tidak terus-menerus menetes. Di saat aku mengambil jaket yang kuletakkan di atas kasur tadi, kudapati suara ponselku berbunyi dari dalam tas yang terletak di tengah-tengah kasur, alhasil kuletakkan lagi jaket jeans ini di atas ranjang. Tapi, dering telepon genggamku berhenti begitu jari-jemariku ingin membuka tas ransel.
Cepat-cepat aku mencari, dan tak butuh waktu panjang aku mampu menemukannya. "Sean?!" pekikku begitu melihat ada beberapa pesan WhatsApp dan namanya yang tertera jelas di depan mata. Baru ingin mengetik kalimat balasan, panggilan suara darinya tiba-tiba masuk. "Iya, gimana?" ucapku begitu kata 'halo' terucap dari seberang.
"Bantuin aku cari sesuatu bisa?" tanya Sean. Entah, sesuatu yang dia maksud itu apa dan untuk siapa. Suaranya terdengar buru-buru, aku jadi enggan bertanya lebih. Akhirnya aku hanya mengiyakan penawarannya. Saat itu pula Sean menyuruhku untuk segera bersiap-siap.
Aku pun tak mau menyia-nyiakan jarum jam yang terus berjalan di porosnya. Ya, waktuku tak banyak dan bisa dibilang sangat singkat! Dengan buru-buru kulepas lilitan handuk di kepalaku ini dan kemudian menyimpan handuk besar ini di belakang pintu kamar mandi.
Pertama, kuatur dulu bagian wajah agar kelihatan lebih cerah, caranya dengan memakai bedak bayi favoritku, kusapukan langsung ke wajah. Untuk yang bagian bibir, sudah pasti aku percantik dengan lipgloss warna baby pink agar berkilau. Urusan rambut aku tak mau ambil pusing, digerai seperti biasa saja. Kadang aku takut kalau harus dandan dan jalan bersama Sean. Aku takut dicap jelek oleh teman-teman sekolah jika melihatku jalan berdua saja bersamanya.
Kubuang napas berat kala melihat wajahku di depan cermin. Aku jadi ingat kalau Sean sempat tertawa lebar bersama Elisa di parkiran. "Hem... Nggak papa, demi Sean sama bahagianya... SEMANGAT EMPAT LIMA! Meskipun tetep ada airmata." kuiringi dengan tawa hambar.
Setelah bagian muka beres, aku sigap mengganti baju rumahan penuh warna ini dengan terusan bermotif kembang-kembang yang panjangnya sebetis. Kebetulan pakaian itu yang kutangkap pertama kali di lemari gantung. Kupadukan saja terusan putih bertaburkan bunga-bunga kecil warna biru tua-muda itu bersama jaket jeansku, jaket yang tadinya kukenakan di sekolah dan beberapa menit lalu sempat kulipat.
Dalam waktu sepuluh menit, aku selesai menata diri. Tas selempang juga sudah menempel di tubuhku, juga ponsel melekat pada genggaman tangan kananku. Mengaca sebentar di cermin rias dan mengembangkan senyum lebar. "Dea siap berangkat!" pekikan semangat untuk kedua kalinya yang coba kukeluarkan.
Sekarang, kakiku mulai menuruni tangga. Aku memutuskan untuk menunggu si pengajak di luar, teras saja. Supaya apa? Supaya kita langsung pergi tanpa menungguku mengunci pintu rumah. Begitu sampai ruang tamu, jari-jariku dengan sigap menarik gagang pintu. Aku keluar dan kembali berbalik untuk menguncinya.
"Ayok."
Tanpa kusadari, di halaman rumah ada Sean yang tengah berdiri sambil menatapku. Aku cukup terpukau, ah... mungkin sangat terpesona. kutatap laki-laki itu lekat-lekatn Satu tangan Sean tersimpan di dalam kantong celana jeans hitam yang membungkus kaki jenjang kepunyaannya. Sedangkan tangan lainnya tengah menyugar poni panjang, halus, nan hitam pekat yang melindungi kepala, dia arahkan poni itu ke belakang sambil melihatku. Siap-siap! Semua itu sukses membuat dadaku bergemuruh tak karuan. Lagi-lagi dia terlihat menakjubkan!
"De, ayok!" ujarnya.
"Eeh..." aku menunduk sebentar, lalu menjawab dengan tersenyum tipis, "i-iya."
°•°•°
Terimakasih sudah hadir :)
Jaga kesehatan selalu ya! :*
See you <3
Gbu :)