Selamat membaca
°•°•°
Dalam perjalanan ke KaFe RaNi yang memiliki kepanjangan : Kampung Festival Rasa Nikmat, di dalam mobil tadi, aku dan Sean cuma mensyukuri keheningan yang ada. Eh, salah-salah! Sepertinya cuma aku, karena Sean fokus bertelepon ria sama Elisa, pacarnya. Selama lima belas menit itu, aku melihat-lihat pemandangan di luar jendela saja. Sedangkan telingaku selalu menangkap kata-kata candaan Sean untuk gadisnya ataupun tawa kecil yang berasal dari mulut laki-laki itu. Perjalanan yang sungguh menyenangkan bukan? Haha, iya bagi Sean.
Kali ini aku memilih duduk berpasangan sama Alin dan berhadap-hadapan dengan laki-laki berjaket merah itu. Meja persegi panjang putihlah yang menjadi jembatan untuk kami. Entahlah, aku rasa aku perlu sekali jaga jarak dengan pemuda yang sudah memiliki kekasih di depanku ini. Empat gelas jumbo jus beraneka macam rasa sudah tersedia di atas sana dan juga kentang goreng empat porsi, tak ketinggalan dua kue rasa cokelat keju milikku dan brownis keju pesanan Alin pun terhidangkan.
"Kayaknya malem ini nggak bisa langsung selesai." pernyataan Sean usai mencecap jus mangganya dengan pandangan yang meneliti ke laptop Alin. Sepertinya Sean mulai pesimis.
Nino menyahut tanpa beban, "ngapain buru-buru! Tugas dikumpulin minggu depan kan? Masih punya waktu buanyaaak...!" posisi punggung menyender di dada kursi kayu abu-abu tempatnya duduk.
"Lebih cepat lebih bagus. Numpuk kilat nilai a plus!" sahutku tak mau kalah sambil melebarkan senyum. Gampang sekali si Nino menyepelekan tugas.
"Lihat tugasnya dulu, jangan asal ngomong. Sean yang pinter aja pusing. Gitu mau nunda-nunda ngerjain...?" sindir Alin sebelum mencaplok brownis yang sudah ia sendok.
"Baca bentar paling langsung bisa, hehe..." sombong lelaki berkaos putih di samping Sean yang kutahu cuma guyonan. Terlihat raut mukanya dan posisinya yang sekarang langsung serius, menilik laptop di hadapan Sean. Sedangkan Alin cuma melirik ke atas. Seperti jengah meladeni Nino. Ngomong-ngomong soal Nino, anak itu mengalami musibah sebelum duduk di sini berdua sama si Alin. Ada kesalahan dengan ban motornya yaitu, tiba-tiba meletus dan akhirnya bocor juga. Untung anak tengil itu baik-baik aja, karena aku tak tahu apa yang terjadi kalau di saat itu Nino menjalankan kuda besinya dengan kecepatan tinggi. Bisa-bisa dia masuk ke gorong-gorong kan? Kita tak pernah tahu takdir. Dan anehnya, Nino lansung menelepon Alin untuk menjemputnya ke bengkel. Aku tidak tahu alasannya, kenapa dia malah mengabari Alin ketimbang Sean yang sahabatnya sendiri.
"Bisa apa? Bisa kicep ya, No?" ledekku karena melihatnya tak bergeming.
Sean refleks tertawa. "Nggak papa, De... Mikirnya emang lama, butuh baca mantra. Diem-diem kan itu usaha." Alin turut mengangguk, sama sepertiku yang juga tersenyum merespon.
"Konsentrasilah... Mau dapet nilai bagus, ya dipikir mateng-mateng." bela orang yang disindir massal.
"Katanya baca bentar langsung bisa... Sekarang harus dipikir mateng-mateng. Banyak alesan emang." cibir Alin amat pelan, namun masih tertelan juga di telingaku. Haha, takut diomelin Nino pastinya! Iya lah, takut berdebat dengan bocah tengil yang selalu usil kalau sama Alin seorang.
Kuminum jus jambu milikku. Setelahnya baru berujar, "keburu malem lah No... Nggak dikerja-kerjain malah ngebela diri sendiri... Harusnya kalo udah bisa ya udah kamu isi..." Nino melirikku sejenak lalu membaca artikel yang sudah disalin itu. "...aku sama Alin bantu cari di hp aja lah. Biar cepet kelar."
"Iyaaa..." jawab Nino seadanya karena memantapkan fokusnya ke benda elektronik itu. Sean dan Alin mengangguk.
"Naaah...! Beberapa kalimatnya aku nyalin yang ini..." tunjuk Sean di salah satu artikel yang ada di google. "...abis itu kita pakek pemikiran kita masing-masing. Kalo contohnya pakek karya kita sendiri-sendiri juga, gimana? Biar nggak dibilang siswa males." terangnya yang membuatku setuju-setuju saja. Toh malah bagus seperti itu. Alin pun mengiyakan.
"Tapi lebih gampang nyalin. Cepet selesai. Lagian apa dicek sedetail itu? Enggak kan?" suara Nino yang terlihat ogah-ogahan mikir. Sudah pasti kalau itu jawabannya, sudah biasa.
"Penghambat otak-otak yang mau maju!" satu jotosan pelan meluncur di salah satu lengan Nino.
Nino lantas terkikik, "canda elah... Setuju-setuju aja saya... Yang penting otak kalian aja yang kerja, Nino bantu doa." lalu minum jusnya dengan raut wajah tanpa dosa.
"Gila!" ledek Alin yang masih menatap ponsel.
"Sinting." timpalku lalu ikut mencari-cari artikel di ponselku. Siapa tahu otakku bisa berfungsi lebih keren lagi kalau membaca topik yang sudah tersedia di salah satu blog temuanku.
Kulirik Sean sebentar. Jari-jarinya kini sudah menari di atas keyboard. Alisnya terkadang saling berdekatan. Raut penuh keseriusan itu tak pernah melunturkan wajah gantengnya sedikitpun. "Udah nih, kalian mau nambahin?" tanyanya kepadaku dan Alin.
"Mana lihat." Sean memberikan laptop itu, aku menerimanya sambil susah payah menelan ludah.
"Eh, ini aku tambahin ya?" usul Alin kala ia ikut melirik layar.
"Boleh, kamu duluan aja. Aku mikir dulu, hehe." balasku yang seharusnya memang butuh pencerahan. Rasanya aku ingin menghabiskan waktu ini untuk menatap Sean saja. Karena aku tak pernah tahu kapan waktuku bersama dengannya harus benar-benar ditamatkan. Aku takut kalau besok aku sudah tak punya kesempatan lagi. Kesempatan untuk berdua bersama, berbincang berdua, dan memandangi wajahnya. Aku takut kalau semua itu akan menjadi kenangan ketika esok tiba.
"Gantian kamu De..."
"Eh? Oh, iya Lin..." beruntung aku sudah sedikit membaca beberapa topik di blog dan langsung nyantel. Hanya perlu sedikit mengembangkannya menjadi beberapa kalimat.
"Kamu butuh cerita? Tentang Sean?" lirih Alin di belakang telingaku. Astaga! Sempat-sempatnya gadis jepit itu membahas topik itu! Buru-buru kupandangi Sean. Untung, dia sibuk nyemil kentang goreng dan sesekali menjawab pertanyaan absurd yang dilontarkan Nino.
Aku mengangguk lemah. "Tapi kapan? Tugas kita belum selesai." sahutku ikutan pelan.
"Gampang..." balasnya sembari memberikan kedipan mata genit dan setelahnya berusara, "yok pulang! Aku takut kalo Dea dimarahin... Jangan sampek kemaleman kan?" refleks aku mendelik, menatapnya tak percaya.
"Ya udah ayok! Aku anter..." sahut Sean yang langsung berdiri.
"Eh! Eng-enggak usah... Aku aja yang anter Dea, ada yang mau aku omongin sama Dea soalnya, hehe."
"Alah! Sok-sokan rahasia-rahasiaan! Emang cewek modelan jepit rambut punya rahasia apaan!" goda Nino yang kena senggolan Sean langsung. Alin tak mau ambil pusing, ia fokus mengurus laptopnya.
"Ya udah kalo mau pulang sama Alin... Hati-hati ya! Hati-hati nyetirnya Lin." Alin memberikan senyum dan anggukan singkat.
"Okei." aku menghabiskan minumku sebentar lalu mengikuti Alin, bangkit dari duduk antengku. "Kamu juga hati-hati ya!" seruku sambil tersenyum kecil ke arah Sean yang kudapati secuil lesung pipi dari senyum manisnya. "Kamu juga, No!" Nino mengangguk. Aku pun berlari kecil ke arah Alin yang sudah melebarkan langkah kaki usai melambaikan tangannya ke Sean, dan melirik Nino sekilas.
°•°•°
Terima kasih sudah membaca....
Gimana? Ada yang mau disampaikan?
Pasti aku jawab. Apa maunya dijawab sama Dea? Apa Sean? Nino? Alin?
Selalu sehat!
See you
Gbu