Chereads / DeaSea / Chapter 25 - Soto Ayam 2

Chapter 25 - Soto Ayam 2

Selamat membaca

°•°•°

Siang ini tepatnya pukul dua siang, kelas Diya pulang. Dengan begitu, kelasku pulang lebih sore. Diya bilang sebelumnya kalau aku harus pulang tanpa dia. Dan... jadilah aku di kelas ini enggak sendiri. Aku duduk bersama kelompok belajarku yang sedikit kompak, grup BELOK.

Kelasku sudah ditinggal guru mata pelajaran Kimia sejak setengah jam lalu. Kami berempat duduk melingkar di atas lantai tanpa ada meja atau bangku yang kita pakai, lesehan. Di sini, aku duduk berhadapan dengan Sean, sedangkan di samping kiriku ada Nino si biang emosi. Dengan begitu, ia berhadapan sama si polos. Laptop punya Alin sudah ada di pangkuan Sean dari tiga puluh menit. Bagus sekali, biarkan laki-laki mata teduh itu berpikir sesukanya dulu, kalau butuh bantuan barulah aku dan Alin maju. Kalau Nino? Jangan ditanya, dari tadi sibuk nge-game.

Dengan pelan dan hati-hati aku mencolek lutut Sean yang ekspresinya terlihat masih serius sekali. "Em... butuh... bantuan nggak?" tanyaku yang sepertinya terdengar cukup perhatian dan kalau didengar-dengar, nadaku itu sedikit gugup. Tapi mau gimana lagi, Sean sudah membisu tepat sesudah ia menyuruh kami bertiga untuk cari-cari bahan di ponsel pribadi.

Kepalanya langsung menggeleng cepat sekaligus sebentar, bahkan melirikku sedetik saja laki-laki bermata teduh itu enggak sempat. Apa akan seperti itu kalau yang bertanya pacarnya? Menyedihkan! Heeem... Kasihan sekali ya Nadea. Ya sudah, aku diam. Janji, aku takkan mengeluarkan kata-kata sebelum dia yang membuka suara. Jujur saja, aku malu ditambah... aku merasa sedikit tidak dihargai.

"Eh, De... Liat nih!" seketika layar ponsel yang lebar itu ia tunjukan ke arahku. "Baca dulu!" bola mataku menurut, bergerak untuk menyusuri kalimat demi kalimat di sana dengan jariku yang terus meng-scroll turun. "Aku tambahin boleh kan? Ada yang perlu dihapus nggak? Atau salin semua baru aku tambah-tambahin kayak kesepakatan kita kemarin?" pertanyaan yang beruntun dan membuatku kebingungan.

"Kayaknya si---"

"Salin semua dulu coba, terus kirim ke emailku..." suara Sean yang tiba-tiba memotong ucapanku. "...emailku kan udah aku cantolin di laptomu, jadi nanti gampang, tinggal aku salin ke tugas kita." sambungnya dengan tatapan tepat ke arah mata Alin yang posisinya duduk di sebelah kiri Sean. Sedangkan aku, dia memberi lirikan aja enggan, jangankan sepersekian detik, sekilas saja ogah-ogahan. Kenapa dia kayak gitu? Aku ada salah memangnya? Perasaan tadi pagi dia bersikap biasa dan waktu mulai duduk melingkar dia juga baik-baik aja. Tapi, kenapa sekarang beda? Dan... Anehnya, kenapa dadaku mendadak sesak?

Alin masih setia menatap ke arahku, dia menjauhkan benda pipih itu dariku sambil mengangkat bahu tanda bahwa dia sama tak tahunya kenapa Sean seperti itu. Alin pun menjawab Sean seadanya, "oooh, oke-oke."

"Kamu juga gitu De..." lagi dan lagi kepalanya tidak menoleh dan mata itu tetap sama, tidak menatap padaku, setia menatap laptop Alin.

Aku menggumam pelan dengan perasaan yang sulit kujabarkan, "iya, ngerti..." sambil memfokuskan netraku pada artikel yang ada di HPku. "Kenapa...? Kenapa kelakuanmu itu seakan-akan menganggap aku enggak ada, Sean...? Kamu, heeemh... Kamu aneh..." itu yang bisa kugumamkan dalam hati. "Eh, kalo yang disalin dikit nggak papa kan? Soalnya in---" dipotong secara paksa.

Sean menyahut dengan singkatnya, "heem, terserahlah." tapi kali ini volumenya meninggi.

"Iya, soalnya ini aku agak bing---"

"IYA-IYA!" bentak Sean yang membuatku tersentak, begitupun dengan Alin, karena handphonenya langsung terlempar. Bersamaan dengan bentakan itu, bunyi keyboard yang kurasa ditekan keras terdengar sangat kencang.

"Sean..." panggil Nino yang kutahu langsung meletakan ponselnya di atas lantai putih kelas ini. Mungkin dia mulai merasa terganggu dan tak nyaman dengan perlakuan aneh Sean.

Aku bertanya sembari menahan rasa sesak yang kian bertambah, "kamu kenapa?" aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku.

Aku terima kalau dia memang enggak ada perasaan lebih sama aku. Ya, aku masih saja menyangkut pautkan sikapnya dengan status hubungan dia bersama Elisa. Mungkin memang gara-gara ini. Aku sadar sekali, dirinya memang sudah status pacar orang, tapi bukan berarti dia boleh bersikap seolah-olah aku musuhnya kan?

"Berisik!" dalam diam aku memandangi lelaki tampan itu, cowok yang menatapku dengan wajah garangnya. "Tau tugasnya masih banyak kan? Jangan berisik!" rasanya pipiku seperti kena tamparan. Memang, parah! Astaga, hahaha. Di mana sikapnya yang kemarin? Yang masih halus seperti seorang sahabat yang sangat perhatian. Setidaknya, dia bisa berlaku layaknya seorang teman. Bukan orang asing. Apa kemarin aku cuma mimpi dan saking indahnya, itu semua terasa nyata.

"Okei." aku manggut-manggut. "Okei, aku sadar udah berisik. Maaf." finalku. Lalu kembali menatap untaian kata yang beberapa waktu lalu kubaca, sesudah melemparkan senyuman kecilku khusus untuk Sean. Tapi di dalam sana, kau tahu? Ada sesuatu yang remuk, dan entah kapan lagi waktunya tiba saat dia akan pecah berhamburan hingga benar-benar berubah menjadi butiran-butiran tak terselamatkan. Iya, tinggal menunggu waktu yang berbicara.

"Tega." komentar Alin yang sangat amat jelas kudengar, aku tahu itu tertuju untuk siapa. Yap! Pasti untuk cowok tampan di sebelahnya. "Gara-gara tugas-heh... Kita berantem?" aku tak mau lagi berucap, lebih baik menenangkan perasaan. Sebab aku tahu, kalau aku melihat Alin, air mataku pasti turun. "Kalau ada masalah bilang, Sean... Jangan temen yang jadi korban. Menurutku, mending enggak dapet nilai sekalian daripada kita kayak gini." keluar decakan kesal sesudahnya. "Kayak orang yang nggak punya perasaan!"

Aku mendongak begitu sepatu datar Alin sudah di depan kakiku yang duduk bersila."Mau ke mana?" tanyaku karena mendapat uluran tangan Alin.

"Makan soto ayam biar hati kita tentram sejahtera tanpa duka lara." belum sempat kujawab, Alin menambahi setelah aku ditariknya agar bangkit dengan bisik-bisik, "jangan pikirin nilai, hatimu ini lagi butuh hiburan." kemudian melanjutkan dengan lantang, "tuh! Liat kelas kita..." pandangannya mengedar ke sudut-sudut kelas, aku turut melakukan. "...mereka yang duduk di sana udah pada keluar dari sepuluh menit yang lalu. Guru-guru juga lagi sibuk-sibuknya." aku pasrah dan aku ikut saja. Percuma juga ditolak, aku memang butuh.

Pertanyaan khusus untuk Alin, sesudah kita beranjak dan mulai melangkah keluar, "sejak kapan si jepit polos jadi bad girl?"

"Sejak sahabat yang udah aku anggap kayak saudariku ini sering tersakiti, apalagi diem-diem nangis sendiri. Sejak waktu itu."

Aku tertawa, pastinya terselip haru di dalamnya. "Bener juga sih, heeem... Bisa-bisanya si polos ini bersiluman bad girl!!! Dasar..." aku menggeleng, aku baru sadar juga ternyata. "Astagaaa...! Nggak nyangka sekali saya...!" kulingkarkan tangan kananku ke bahunya sembari memperlebar senyum ceriaku.

Dengan suara berbisik, Alin berujar, "iya, untung sepi juga ya ini jalan... jadinya aku enggak perlu tutup mata karna sok-sokan pede kayak begini."

Aku setuju. "Ya... Untungnyaaa...!"

°•°•°

Terus dan selalu berusaha menulis... terima kasih sudah menyimak sampai sekarang 🙏💙

OH iyaaa... HAPPY 10K++

STAY HEALTHY

See you

Gbu