Selamat membaca
°•°•°
"Kamu mau cerita apa?" tanya Alin.
Aku sempat terdiam beberapa detik, tapi setelahnya kucoba untuk menarik napas panjang-panjang. "Bukan cerita sih... Tapi saran. Kamu tau kan aku kayak gimana?"
Kulihat dia tengah melihatku dengan tatapan sendu. "Tapi kamu kuat. Cewek kuat yang buat aku semangat. Aku termotivasi dari kamu juga loh. Yah... Meskipun konsep masalahnya beda." aku turut tersenyum begitu menangkap kekehan gelinya yang terdengar sangat pelan dan terbilang cukup sebentar.
"Iya, kita sama-sama menguatkan." helaan napas dari mulutku kuharap bisa membawa sedikit masalahku keluar dan terbang bersama karbondioksida.
"Aku tau, kamu gelisah kan? Kamu bimbang sama keputusanmu."
Aku cuma bisa mengangguk mendengar penuturan cewek itu. Alin tahu segalanya. Ya, dia memang sosok yang tahu isi hatiku sekarang.
"Kalau misal kamu milih tetep nyimpen perasaan kamu, aku setuju. Aku akan setuju apapun keputusan yang kamu pilih. Tapi, enggak pakek kata banget... Karna aku tau, di situ sama aja. Kamu kayak milih jalan di atas pecahan kaca yang buat telapak kaki kamu berdarah. Mau nggak mau kamu harus bisa liat Sean berduaan sama Elisa... Hem, jujur Dea, aku juga sedih kalo air matamu mau nggak mau harus turun terus..." terang Alin panjang lebar yang membuat hatiku tersentuh.
Selalu terharu kalau dia sudah berubah menjadi tamengku, layaknya seorang kakak yang melindungiku.
"Berapa kali aku harus ngomong ini? Kamu bukan cuma sahabat aku. Aku nggak akan lupa ngingetin kamu, kalo kamu memang capek, berhenti." nasehatnya yang kudengar baik-baik tapi sangat sulit kulakukan.
"Lupain Sean kalo emang itu yang terbaik buat kamu." kepalaku menggeleng, membuat Alin berdecak.
"Aku yakin, aku masih kuat Lin..."
Dengan terpaksa gadis berambut sebahu dan pemakai kaos merah muda itu menganggukan kepalanya. "Ya... Apapun yang kamu mau, aku berusaha doain yang terbaik. Aku cuma bisa ngingetin, berhenti kalau memang perjuanganmu harus dihentikan. Tapi berjuanglah kalau pengejaranmu harus dilanjutkan. Inget, aku berusaha buat selalu ada." sambung Alin. Pandangannya tetap fokus pada keramaian yang ada di depan mobil ini.
"Makasih Alin..." gumamku pelan namun tulus dari hatiku.
Aku benar-benar bersyukur memiliki teman sepertinya. Tak ada kata bosan untukku berterimakasih pada Tuhan karena telah memberikan sosok teman yang baik, sangat perhatian dan pengertian seperti gadis ini.
"Iya sama-sama..." ia kemudian menoleh ke arahku. "...jadi, sekarang kamu tau apa yang harus kamu lakuin?"
"Aku dari tadi pulang sekolah mikir terus..."
Kekehan gelinya menggema dan menusuk telinga sampai ke bagian terdalam. Dasar. "Mikirin hati kamu mau dikemanain?"
Aku membuang napas tapi akhirnya senyum kecilku terlukis di wajah. "Iya... Jadi, aku pilih aja tetep ada di samping Sean."
Alin nampak berpikir. Dan tiba-tiba ia menggebrak stir mobil, tapi untung tidak menyentuh bagian klakson. "Tunggu, De! Kamu yakin? Gimana sama Elisa? Kamu bodo amat sama dia?"
"Kamu pikir aku bakal mepet-mepet Sean gitu?" dasar Alin-Alin. Kadang otak pintarnya tersingkirkan sebentar. Dia kira sahabatnya ini cewek apaan. Aku enggak mau dicap cewek penggoda ya! Dasar Alien!
"Terus?"
Aku terkikik geli. "Nggak bakalan aku kayak gitulah... Aku jaga jarak aja sama Sean, aku kan harus sadar posisi. Jadi... Aku akan ada kalau dia butuh aku, kalau dia cari aku, kalau dia butuh temen." kutebarkan senyum sebisa yang bibirku berikan.
Alin nampak bingung ketika fokus menyetir saat ini. Haha, pasti pikirannya terbelah. "Emang adil De buat kamu?" oke, sekarang dia malah kasihan sama sahabatnya sendiri. Kepolosanmu mengalihkan emosiku, dasar Alin. Huh, sabar. "Kamu yakin?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum cerah penuh kepastian. "Yakin. Yakin banget kalau itu yang Sean mau. Selalu gitu."
"Tapi aku mohon---" kupotong saja ucapannya.
Kujawab dengan senyum lebih merekah, "berhenti kalau memang perjuanganmu harus dihentikan. Tapi berjuanglah kalau pengejaranmu harus dilanjutkan. Inget, aku berusaha buat selalu ada." Alin tertawa mendengarnya. "...aku inget kan?"
Lagi-lagi Alin tertawa, tapi kali ini diiringi dengan buliran air yang mebgalir di pipinya. "Jangan ngerasa sendiri. Kamu masih punya aku. Kita sama-sama menguatkan."
"Pasti Alin... Pasti!" pekikku dan langsung memeluknya. Kebetulan, lampu merah yang sedang muncul di depan dan di atas sana. Gadis yang memakai jepit merah muda ini membalasku dengan elusan halus di punggungku yang berbalut kaos hitam.
Alin sesegera mungkin mengurai pelukan dan fokus lagi ke depan. Waspada kalau lampu sudah berganti menjadi hijau terang. "Eh ngomong-ngomong, tadi kaosnya samaan, iya kan?" goda Alin yang tiba-tiba saja membuat bibirku malu-malu untuk tersenyum.
"Apaan sih... Beda lah, Sean kan masih ada tulisannya, tapi jujur." elakku yang mencoba menutupi rasa malu.
"Ya punyamu besok dikasih tulisan enggak bohong. Bagus tuh! Serasi, kaos couple." balasnya yang membuat jantungku semakin deg-degan.
"Apaan sih... Enggak usah dibahas lagi. Mau sampek rumah tuh, fokus nyetir aja..." sebelum Alin menjawab lagi, aku melanjutkan, "...mau aku godain, Lin? Hem? Mau?" alisku sudah naik-turun bersama seringaian maut dari bibir manisku. "Kalo ngebahas Nino seru nih."
"A-AH... DEAAA...!"
Ya aku tahu, gadis itu pasti akan teriak. Salah sendiri, coba-coba menggoda orang yang jago menggoda. Lirikannya sudah tajam tapi tidak dengan sesuatu yang terlihat di pipi tirusnya.
"Kok bisa Nino telpon kamu hem?" aku sudah menahan tawa. Lihat saja, pipi Alin sudah memerah semerah darah, darah muda, eh! Tapi benar kan? Kita masih muda, siswa SMA. "Jangan-jangan kamu sering telponan ya?!" dan benar saja! Astaga, pipinya tambah merah! "Wah-wah... Parah nih, jadian nggak cerita-cerita. Temen nggak dicurhatin. Liat tuh, pipimu udah jadi bukti! Ayok ngaku!" desakku karena Alin menggeleng dan langsung melengos. Kembali lagi menatap jalanan. "Dari tadi aku nungguin kamu cerita ya... Eh malah si Nino yang klarifikasi, nggak detail lagi!"
"Hih... Aku juga nggak tau lah! Mana aku tau kalo dia mau telpon aku. Aku aja kaget waktu dipaksa suruh jemput dia ke bengkel. Dia juga bilang sama aku kalo si Sean udah jemput kamu."
"Lah, kok kamu bilang udah di deket rumahku?"
Alin memutar bola matanya. "Itu biar kamu cepet aja. Aku nggak mau kamu suruh pilih-pilih baju cuma gara-gara Sean. Selalu aja kamu kayak gitu."
Aku mengangguk-angguk paham. "Tapi, cocok juga loh kamu sama si Nino!"
"DEAAAAA...!" kututup sepasang telingaku dengan masing-masing telapak tanganku sambil memejamkan mata tapi tak bohong, bibirku tersenyum senang. Berhasil juga menggoda gadis polos itu. Bisa jadi Nino pendekatan kan? Ya, PDKT! HAHAHA!!! Benci dan cinta memang, beda tipis...
°•°•°
Terima kasih sudah menyimak... banyak-banyak terima kasih ke pencerna kata yang setia sama Dea.
Sehat terus ya!
See you
Gbu