Selamat membaca
°•°•°
Hari semakin bertambah, bumi terus berlalu. Rasaku semakin bertambah, dia tak kunjung tahu. Setiap detik merasa gelisah, karena sulitnya menahan rindu. Untuk dia yang di sana, entah sedang apa bersama gadis pujaannya.
Nadea.
Selesai menulis singkat di buku hitam kesayangan, aku pun bersiap untuk turun.
Selama liburan sekolah berlangsung aku banyak berdiam diri di kamar, namun sesekali pergi keluar untuk menghirup bebasnya atmosfer selain di dalam rumah. Bisa di hitung berapa kali aku keluar rumah, itupun karena ajakan dari Diya atau Alin, selebihnya nihil. Membosankan? Tidak juga, karena memang itu yang aku butuhkan, waktu khusus untuk diri sendiri.
Aku juga tak menerima kabar dari papa ataupun mama yang menyuruhku untuk menjenguk mereka. Sibuk adalah kata andalan, terutama papa.
°•°•°
Keluar dari mobil milik Diya, aku mengedarkan pandangan ke sekitar, tempat parkir. Sudah ada tiga mobil dan banyak kendaran beroda dua dan ada beberapa siswa yang berlalu lalang dengan mengobrol atau pun tertawa. Apa aku bisa seperti mereka? Tertawa seakan tak ada beban.
"Aku ke kantin dulu." pamitnya menatapku. Memang di rumah kami belum sarapan. Aku mengajaknya berangkat lebih awal untuk melihat kelas baruku. Aku pun belum tahu satu kelas dengan dia atau tidak. Aku harap iya, tapi pastinya, tidak dengan perempuan cantik yang disukai Sean itu. Bisa-bisa nangis tiap hari aku...
"Nggak mau liat mading dulu?"
Diya berjalan semakin menjauh dariku. Pasti untuk sampai di tempat tujuannya, mau bagaimana lagi, cacing di perutnya sudah berteriak kelaparan. "Gampang lah... Nanti aja."
"Ya udah... Em, tapi aku boleh nitip nggak?" tanyaku dengan cengiran dan mata yang berkedip-kedip. Gelengan kepala mantap darinya yang kuterima, seraya berlari. "Dasar...! Pelit banget jadi kakak." memelankan suaraku, "eh, tapi untunglah aku, dari pada kena semburannya."
Suara keras masuk di telinga hingga bahuku sedikit terangkat karenanya. "SEMBURAN APA...!"
Sambil menggosok-gosok telingaku sebelah kiri. "Semburan berisik dari mulutmu tuh... Dateng-dateng langsung teriak!"
"Hehe maaf-maaf... Ngomong-ngomong, kok berhenti jalannya, ayok liat mading... Moga aja kita sekelas... Ya, nggak?"
Aku mengangguk semangat. "Nggak sengaja berhenti. Iya juga, bener-bener, semoga aja kita sekelas. Ayok!"
Detik berikutnya kami bergegas untuk menuju mading. Langkah lebar Alin ternyata lebih cepat dari lari kecilku. "Dasar...!"
Ia berbalik menjulurkan lidahnya. "Makanya jangan lemot!" di iringi dengan tawa kerasnya dan larinya yang semakin kencang.
"Ya udah, ati-ati Lin...! Jangan sampe nabrak...!" tanpa menoleh, gadis itu mengangkat tangannya dan melambai guna mengejekku. "Dasar...!"
"Kita sekelas lagi nggak?" tanya Nino yang ternyata sedang berjalan di belakangku.
"Belum aja liat... Nggak tau ini aku mau ke sana?" si tengil itu mengangkat bahu lalu meninggalkanku begitu saja tanpa respon apapun.
"Dasar... Nggak yang cewek, nggak yang cowok sama tengilnya... Emang ya, kalo jodoh itu nggak akan ke mana."
"Emang..." kini suara Sean menyahut. Entah terbuat dari apa para temanku itu, heran.
"Apanya?" tanyaku seraya mendongak, menatapnya yang sekarang tengah berjalan menemaniku.
Bibir itu tersenyum, membuatku seakan sulit menghirup udara di sekelilingku. Selalu, mata itu yang membuatku merasa hangat."Jodoh, kan nggak bakalan lari ke mana..." aku pun mengangguk, mengiyakan ucapannya. Seakan belum puas menyiksa jantungku, tangannya menggenggam jemariku.
"Sean, gimana aku bisa berhenti membentuk rasa itu? kalau perlakuanmu aja seakan menyuruhku untuk tetap bertahan. Menarikku layaknya magnet, biar aku tetap ada di sisimu. Sebenarnya itu terasa sangat sulit untukku. Ketika aku ingat di hatimu bukan ada aku, melainkan dia. Orang yang kamu suka." andai saja ucapanku ini bisa didengar olehnya.
°•°•°
Hasil mading yang kuperiksa membuktikan, bahwa kami berempat satu kelas lagi. Yuhu...! Jadi empat sekawan tetap bersama yakni Aku, Alin, Sean, dan Nino si tengil. Seperti keinginanku, Elisa beda kelas sama aku. Diya lah yang satu kelas bersama perempuan bersuara merdu khasnya yang pernah kudengar dan disaksikan Sean juga tentunya. Beda kelas dengan Elisa pun sebetulnya tidak menutup kemungkinan aku akan terbebas dari rasa sakitku : berani mencintai laki-laki yang berterus terang telah memilih perempuan itu di depan mataku.
"Elisa... Di saat awal aku menatapnya juga merasa siap untuk mencitainya, sekarang aku pun harus siap menanggung resikonya, apapun itu... Kalau boleh aku meminta, biarkan aku mencintainya tanpa suara. Hanya dengan hadirku ketika dia membutuhkanku. Lalu, untukmu Elisa, nikmatilah hadir dan kebaikan hatinya. Selama aku masih bisa melihat senyum di binar matanya, aku akan tetap mencintainya meski diriku sendiri tersiksa melihatnya yang sudah bahagia karenamu, Elisa. Aku mohon, biarkan rasaku berkembang dengan sendirinya. Dan lihatlah aku yang menyerah, kalau memang itu akhirnya. Aku mohon, ijinkan aku."
Alin yang kini duduk di sampingku, menyikut lenganku tiba-tiba. Refleks menolehkan kepala, menatapnya. "Kamu ngapain ngeliat dia sampe segitunya?" bisiknya kemudian. Memberikan senyum tipisku sejenak lalu menggeleng. Membuat gadis berjepit itu memandangku dengan lipatan di dahi. "Aneh, aku tau kamu bohong. Pasti ada apa-apa kan...?"
"Enggak... Sok tau...!"
Alin menghela napasnya dengan kasar, aku tahu dia tengah dilanda kesal. "Ayolah... Ngomong aja... Pandanganmu tuh..." mengangkat alis juga dengan senyum lebarku, agar dia tak lagi penasaran. "Keliatan beda banget Dea... Nggak usah gitu! Nggak ngaruh... Aku tau tatapanmu ke dia tadi beda. Cepet cerita!" desaknya seraya mengerucutkan bibir.
"Nggak ada yang beda Alin... Udah deh, makan aja." suruhanku tetap diabaikan. Ia malah berhenti makan dan menatapku tajam.
"CE-RI-TA!"suruhnya pelan tapi penuh penekanan. "Itu sih kalo kamu masih anggep aku saudara. Kalo nggak ya udah, terserah kamu." ucapnya santai kemudian melanjutkan kegiatan makan siangnya.
Kuhirup oksigen di sekitarku dalam-dalam. Sabar... Si polos keponya kumat... Aku menatap Alin yang masih asik mengunyah juga sambil menatapku. "Aku cuma telepati sama dia. Siapa tau dibales."
Kunyahannya berhenti digantikan oleh matanya yang sekarang melebar. Setelah merasa tenang dan makanannya yang sudah tertelan Alin berujar, "emang serius kamu bisa telepati?" gantian polosnya yang kumat... Ini anak beneran pinter atau nggak sih... Gemes deh... Sampe pengen ngebuang itu, jepit rambutnya. "Ajarin kalo emang bisa."
"Kamu pinter itu beneran apa bo'ongan?" Alin malah tertawa renyah. "Aneh...!
Masih meredakan tawa, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dea-Dea... Aku bercanda doang kali..." menarik napas lalu dihembuskannya kasar. "Huh... Jadi, kamu ngomong apa di dalam hati?" aku mendelik. "Ya iya lah aku tau, dari sorot matamu udah keliatan. Jadi, jangan ngelak. Ayok cerita...!"
Nyaringnya bunyi bel membuat Alin mendengus kesal. Aku yang melihatnya tak kuat menahan senyum kemenangan. "Ayok Lin! Buruan ke kelas... Buku sudah nungguin kamu... Ayok!" ajakku yang sudah bangkit dari bangku kantin. Alin pun menerima uliran tanganku yang disambutnya dengan tatapan datar. Lalu berjalan dengan bergandengan tangan.
Kulihat di sana, persis di depan mataku. Sean menggenggam erat tangan Elisa seakan mengatakan bahwa gadis itu adalah miliknya seorang. "Udah, kalo nggak kuat nggak usah diliatin terus. Fokus pelajaran baru dari pada rasa sakit yang baru."
"Dasar! Itu mau ngehibur apa galiin lubang kubur?" tawanya pecah seketika. Bersamaan dengan itu aku mengalihkan kedua mataku agar fokus menatap Alin.
"Tujuannya sih ngehibur... Tapi nggak tau ya jatuhnya ke mana."
"Opsi kedua pasti..." tebakku dengan mata menyipit.
Dia menggeleng kuat lalu mengangkat kedua alisnya. "Enggak mungkin lah, kan masih di sini. Enggak lagi di kuburan."
"Gak jelas... Maksudku gali lubang itu, kamu nambahin rasa sedihku... Bukan gali kubur beneran, dasar...!
"Iya tau... Udah ah, malah ngebahas kuburan. Belum mau gone kan?"
Kuambil saja jepit yang--- selalu berbentuk pita--- menempel di rambutnya. "Kalo ngomong...!"
"Hehe, bercanda..." cengiran khasnya ikut ditunjukkan. "Mana...!" pintanya dengan kedua tangan yang menggoncang-goncang lenganku. "Hih... Mana...! Balikin!"
"Iya-iya... Aduh, pusing..." seraya kupegang tangan Alin agar telapak tangannya terbuka lebar. "Nih-nih, ambil! Makan sekalian tuh jepit andalan, mau belajar dulu... Da...!" dengan kakiku yang semakin cepat berjalan mendahuluinya.
Belum sampai di depan kelas, aku sudah melihat dua remaja yang sudah seperti pasangan serasi itu kini menatapku dari tempatnya mereka berdiri. Sang lelaki menebarkan senyum lebarnya, dan si gadis dengan senyumnya yang tipis. Aku mengangguk dengan tersenyum kecil.
Sampai di depan pintu kelas, Sean menarik tanganku. Membuatku menoleh seketika persis ke arahnya. Ia berdiri di sisi kiri Elisa. "Makasih buat doanya. Kita berdua akhirnya jadian." tuturnya lalu tersenyum tulus.
Aku yang terpancing akan senyumannya pun ikut tersenyum. "Iya..." susah payah aku menelan ludah. Dengan cepat dadaku berdebar. Lagi-lagi berusaha untuk membasahi tenggorokanku. "Oke..." aku menghela napas pelan lalu mengembangkan senyuman. "Sama-sama." sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Selamat ya..." buat senyum itu. Aku, aku selalu ada buat kamu kalo dia nggak ada. Aku siap. Oke. Aku paham untuk kejelasan hubungan kalian.
"Ya, makasih..."
"Dea... Ayok, masuk...!" Alin tiba-tiba mendorong tubuhku pelan untuk masuk kelas.
"Iya, ini loh... Ngucapin selamat dulu..."
"Nggak perlu! Eh, maksudku nggak sekarang. Gangguin mereka aja kamu... Masuk aja...!" aku pasrah, mengikuti kemauan Alin. Sampai di dalam Alin berbisik, "sok-sokan ngucapin selamat... Awas kalo besok pagi udah kayak orang penyakitan karna matamu yang bengkak semua..."
"ALIN...!" sesuai tingkat volume suaraku, beberapa teman sekelas yang sudah di tempatnya menatap dengan tampang kaget ke arahku. Dengan menahan senyum aku memandangi mereka bergiliran, sembari menggumam kata maaf.
°•°•°
Gimana..?! Terus semangat nulis... makasih yang terus nyimak.
STAY HEALTHY
See You
Gbu