Selamat membaca
°•°•°
Salahkah aku kalau tetap mencintainya? Bolehkah aku tetap bertahan dan menyimpan rasa, meski aku tahu dia sudah bersama dengan miliknya? Dan tidakkah berdosa jika aku terus melangkah di sisinya?
Aku bimbang.
Nadea.
Pelan-pelan kututup si hitam pendengar curahan hatiku, sebelum kugapai ponsel yang sedari tadi terus bergetar. Lidahku berdecak, aku lupa! Aku rasa efek penjelasan Sean di sekolah beberapa menit lalu sukses menciptakan benang kusut di kepalaku sekarang. Sampai-sampai aku terlarut bersama Budy.
Barusan adalah pesan dari Alin yang menanyaiku : udah siap berangkat atau belum. "Okeiiih..." dengan hati-hati kukembalikan benda pipih itu di atas meja belajar. "...bisa nggak bisa sepuluh menit Nadea adeknya Nadiya harus siaaap...!" hebohku seraya bangkit dan berlari ke arah lemari, menyiapkan pakaian yang akan kukenakan ke kafe. Sederhana saja, celana jeans panjang warna navy dengan kaos hitam yang panjangnya sebatas pusar. Itu aku ambil asal, kebetulan ada di tumpukan baju paling atas. "Semoga Nadea tepat dalam bersikap. Pasang perisai biar sadar diri kalo Nadea cuma temennya Sean. Amin..." mencoba menyemangati diri sendiri. Langsung saja kedua kaki ini membawaku masuk ke kamar mandi dan segera memberikan keharuman untuk tubuhku yang memang sudah bau, asam... Hahaha!
Aku benar-benar dikejar Alin. Bisa-bisanya penyuka jepit meneleponku sampai dua puluh delapan kali dan mengirim kata 'cepetan' sebanyak-banyaknya, mungkin belasan kali. "Dasar! Emang mau mandi berapa menit lagi?! Alien-alien...."
Sore ini kebetulan sekali si Diya tengah tidak di rumah, jadi kembaranku itu takkan menanyakan panjang lebar tentang acara belajar kelompokku dan pertanyaan detail lainnya. Kalau sekarang ini cukup aku pamit lewat handphone, kumatikan data ---mengantisipasi supaya Diya tak menyuruhku beli jajanan atau beli barang yang dibutuhkannya--- dan pulang tepat waktu, kelar sudah. Semudah itu proses permintaan izinku kalau Diya memang pergi entah ke mana.
Aneh! Tidak ada tanda-tanda kedatangan si jepit rambut itu, padahal aku sudah mengayunkan kaki di ruang tamu. "Percuma juga aku cepet-cepet!" rasa kesalku muncul begitu keluar rumah. Memang menjengkelkan anak polos itu! Baru saja aku mengunci pintu dan melihat teras, berharap dia nampak di depan mata, tapi ternyata si Alin benar-benar belum datang. Kukira mobilnya juga sudah ada di depan pagar, nyatanya cuma ada kucing oren yang tiduran. "Awas aja kalo dateng!" tak sengaja bibirku mendengus sebal. "Aku kelimpungan gara-gara nggak enak sama dia, eh dia malah enggak nunjukin batang hidungnya! Bener-bener si jepiiit...!"
Baru sedetik aku berhenti membuang kekesalan, suara knalpot motor Sean masuk ke telinga. Aku yakin benar, itu kendaraan favoritnya. Terdengar sangat kencang dan terkesan mirip pembalap liar. "Dea! Ayok!" sambil mengajak dengan gerakan kepala usai melepas helm full face yang melindungi rambut hitamnya itu. Benar kan itu dia? Memandangi penampilan dan pergerakan laki-laki itu seperti tadi, membuatku gugup dan sangat mengagumi ketampanannya di saat yang bersamaan. Tapi otakku langsung mengingatkan kalau dia bukanlah untukku. Lagi-lagi aku merasa tertampar karena fakta terbesar itu.
Aku pun lekas menghampiri Sean--- yang dengan tubuh tegapnya masih saja nangkring di atas motor merah besar--- berhenti di depan pagar, bekas kucing oren tadi bersantai ria . Tiba-tiba helm yang biasa kupakai itu melayang dan mendarat di puncak kepala, tepatnya di rambut panjangku yang tergerai rapi. "Sean..." lirihku seketika. Tak kusangka dia masih bersikap sama, bukan menjaga jarak lantaran sudah ada yang punya.
"Cepet naik, kasian mereka. Mesti udah nunggu kita..." bibirnya tersenyum lebar lalu melanjutkan, "...kebayang nggak kalo si Nino berduaan sama Alin?"
"Eh, iya! Dari tadi si Alin ribut mulu..." dengan cepat aku naik dan duduk di belakangnya. Persis di balik punggung yang tertutup jaket merah. Tunggu, kenapa malah dia yang menjemputku? Dari tadi aku bilang kalau Alin kan yang cerewet?
"De... Kamu nggak mau pakek jaket?" aku menelan ludah. Oh aku tahu! Ini pasti gara-gara kaos mungil yang kupakai. Ah, aku memang terlampau gegabah. Terlebih lagi langit senja sudah mulai menyapa di atas sana. Apakah Sean benar-benar khawatir?
"Aku beneran lupa, tadi mandi cepet-cepet. Aku ambil dulu ya, bentar..." tanpa melepas helm, aku berdiri untuk turun dari motornya. "...tunggu ya, bentar banget kok---"
"Nggak usah, De! Balik ke rumah aku dulu aja ya... Biar aku pakek mobil." heran, Sean masih bertingkah seperti ini? Kalau dia terus-terusan perhatian gini, gimana caranya aku menjauh? Bahkan dia rela balik lagi buat ganti mobil. Dan... Tunggu!!! Aku bukan perusak hubungan orang kan? Iya kan? "Dea..." salah satu jarinya mencolek daguku. "Naik lagi..." aku cepat-cepat mengangguk. Deru knalpot memenuhi telinga setelah Sean memutar kunci motor pertanda siap untuk jalan. Kunaiki kuda besi ini tanpa berpegangan pada apapun. Bahkan pada pundak cowok idaman yang berjarak sejengkal di depanku sekalipun.
Kali ini aku mengira-ngira kalau tangan Sean akan diam saja. Tapi dugaanku salah. Ternyata jemarinya tetap bergerak untuk menggapai tangan kiriku yang ukurannya tak sebanding dengan punya Sean untuk ditempatkan ke pinggangnya. Perlakuan itu membuktikan kalau Sean memang masih sama seperti dulu. "Kebiasaan kalo pegangan harus diingetin..." tak bisa kupingkiri, rasa hangat di dadaku semakin menjalar, membuat garis bibirku mau tak mau tertarik ke atas dan berakhir membentuk lengkungan. Manis... O-oh, bukan! Yang kumaksud bukan senyumku! Tapi perlakuan Sean. Menyejukkan hati? Ya, bagiku sangat, teramat menenangkan.
Bisingnya jalan tak membuat emosiku dan Sean berpengaruh. Pemuda yang kupegang erat jaketnya itu fokus pada kendaraan beroda dua yang kami tumpangi. Malahan detik ini, aku masih saja memikirkan tingkah kecil nan manis Sean padaku selama saat-saat lalu.
Otakku terlampau sadar, memberikan cap dipikiranku bahwa Sean bukan orang yang seharusnya memegang erat tanganku sekarang. Atau juga pemberi perhatian manis yang membuatku jatuh cinta setiap detiknya. Ya, Sean bukan milikku.
Tapi... Suara yang ada di dalam hati ini selalu meneriakiku untuk terus mengejar Sean. Memaksaku untuk terus berlari agar aku mendapatkan piala kemenangan. Dan kalau aku membiarkan suara itu, aku yakin, aku takkan bisa menjauh. Ya, tidak akan bisa!
Kurasa pikiranku pemenangnya. Aku tak akan mengejarnya. Lagi dan lagi aku harus sadar, dia bukan rumahku yang membuatku nyaman berteduh, ada penghuni yang pantas untuk rumah semewah itu. Dan aku akan terus berjalan, bukan berlari ataupun berhenti lalu memilih pergi.
Benar, aku akan tetap bertahan di dalam hubungan pertemanan. Menemaninya bagaikan pagar, menghalau para pencuri agar barang-barang di rumah itu tetap utuh, dan membuat sang tuan rumah tetap merasa aman. Aku biarkan diriku mengalir seperti ini untuk seorang lelaki yang kutaksir sejak pertama memandangnya. Aku tempatkan diriku di sampingnya sebagai seorang teman. Ya! Tak apa-apa, ini cukup. Dan kuusahakan, menyematkan selalu, bahwa ini adalah pilihan terbaik untukku, teramat baik bagi hati kecilku. Mungkin?
Peganganku di jaket Sean makin erat, seperti biasa, ini karena ulah tangan kanannya yang menambah gas motor sesukanya. Sehingga tubuhku tertarik ke depan, dan refleks bibirku berteriak, "GAS AJA TERUSSS...!" sengaja menyindir yang entah disadari orangnya atau tidak. Tak ada sahutan, hanya suara cekikikan yang masuk ke pendengaranku.
°•°•°
Terima kasih sudah membaca
Ada yang mau disampaikan?
See you
God Bless You