Selamat membaca
°•°•°
"Kenalin nih..." seraya menepuk bahu kiri si gadis dengan senyum manis nan tulus miliknya itu yang merekah di saat mereka saling menatap penuh ketertarikan. "Namanya Elisa..."
Aku bungkam, berusaha mati-matian untuk menghentikan proses keluarnya cairan bening di mataku. Pastinya siap keluar kapanpun dia mau. Terutama ketika rasa senangku itu digantikan posisinya dengan rasa sedih yang menyusup tiba-tiba tanpa kuminta. Aku pun dengan cepat berbalik, berlawanan arah dengan mereka berempat. Tak peduli apa yang tengah mereka berdua lakukan.
Mendongak, tepat menatap langit-langit kelas. Mengelus-elus dada yang terasa amat nyeri. Tenang Dea... Kuat, yakin kalau kamu bisa. Semangat Dea! Pasti bisa... Amin. Melipat bibir kuat agar air mata sialan ini tak lolos dari persembunyiannya. Ayo Dea... Kamu kuat, jangan keluar... Demi senyum manisnya Sean... Ya, demi senyuman Sean. Meskipun kamu sendiri yang harus menyimpan sakitmu dalam-dalam. Demi Sean.
"Nino."
"Alin."
Alin bersuara ke arahku, "kayaknya kamu butuh ke UKS deh..." aku yang bingung akan ucapannya kini tetap setia pada posisiku, membelakangi mereka. Punggungku dielus lembut olehnya. Perasaan tenang pun menyambutku. "Aku tau kamu nahan sakit Dea... Aku paham. Kalo mau keluar kelas sekarang juga, aku bakal nemenin kamu kok..." bisiknya tepat di telinga kiriku. Aku menggeleng.
"Dea sakit...?"
"Kayaknya..." suara Alin terputus karena aku sengaja menyela, "enggak No... Nggak perlu ke UKS segala, di sini aja nggak papa." karena yang sakit itu bagian dalem. Enggak ada satu dokter pun yang bisa nyembuhin lukanya. Begitu juga sama obatnya. Cuma dia.
"Perasaan tadi nggak kenapa-napa." aku menelan ludah. "Apa jangan-jangan dapet hadiah bulanan juga kayak kamu Lin..." diakhiri tawa khasnya.
"Udah deh... Temennya lagi sakit juga, berisik mulu. Diem ya Nino..." perintah Alin.
Lagi-lagi aku menelan ludah. "A-ah iya... Elisa, aku Nadea. Panggil Dea aja." sambil mengulurkan tangan ke arah perempuan itu dan disambut baik olehnya. Senyum cerahnya ikut mengiringi.
"Salam kenal..." aku mengangguk serta tersenyum tipis.
"Oke, sesi kenalannya kan udah... Sekarang ayo Sa... Duduk." Sean menggenggam jemari Elisa yang diterima perempuan itu dengan lengkungan cantik di bibirnya. Nino yang beranjak dari tempat duduk dan memilih menyendiri di pojokan kelas, membuat Sean berujar, "di depan Dea sama Alin aja. Biar deket sama mereka." Elisa mengiyakan. Sean lah yang duduk di depanku.
Seakan belum puas menyerang, rasa nyeri itu semakin gencar untuk menyiksaku. Semakin berusaha untuk membuat air mataku keluar dari tempatnya. Seperti saat ini. Pemandangan dua remaja yang saling melempar tawa di depanku sekarang, membuatku ingin berteriak dengan kencang, BERHENTI! CUKUP SEAN...! SAKIT... STOP! Namun itu hanya bisa kuteriakkan di dalam hati.
Mataku kini jatuh pada wajahnya. Menatapnya penuh kerinduan. Rambut hitam legamnya yang berponi panjang namun tetap terawat dan tertata rapi, lalu turun ke mata teduh yang menyatu bersama bulu mata lentik itu, membuatku lagi-lagi menahan air mata yang terus mendesak ingin keluar. Perhatiannya, yang selalu kuingat dan satu lagi yang tak bisa kulupakan, tingkahnya yang selalu di luar perkiraanku. Genggaman tangangannya yang selalu membuat jantungku berpacu sekaligus perasaanku yang menghangat. "ARGH...!" teriakkan panjang lolos dari bibirku. Bersamaan dengan itu, kedua tanganku memukul dada.
"Dea...!" pekik Alin.
"Dea...! Kenapa...?" tanya Sean dengan tampang paniknya, sementara tangannya menepuk pelan pipi kananku.
"Iya, mana yang sakit?" imbuh Elisa yang nampak khawatir. Aku menggeleng ke arah mereka bergantian.
"Aku butuh ke UKS Lin..." dengan mantap Alin mengangguk.
"Butuh aku temenin?" tawar Sean yang dibalas cepat oleh gadis yang kini tengah menggandeng tanganku.
Dengan tampang kesalnya Alin berujar, "aku bisa urus sahabatku sendiri. Makasih tawarannya Sean... Permisi, Elisa."
"Oke-oke... Cepet sembuh Dea...!" suara Sean, yang entah khawatir atau tidak.
"Iya, silahkan..."
Keduanya kubalas dengan senyum tipis. Alin tak merespon Sean sedikitpun. Ia hanya membalas Elisa dengan senyum singkatnya.
Selama berjalan air mataku terus menetes tanpa henti. Begitu juga jariku yang tak berhenti pula untuk mengusapnya. Namun gagal, air mata itu tetap tak mau.
"Akhirnya ke UKS juga kan... Coba dari tadi nurut, pasti nggak bakalan kelepasan kayak tadi. Aku juga udah pernah bilang ya, nggak mau lagi liat kamu nangis. Tapi jangan sok tegar juga..." omel Alin setelah kami sampai di UKS.
"Iya... Lagian aku kan masih sedih, ngapain diomelin, bukannya dihibur apa gimana..."
"Biarin... Biar kamu sadar situasi sama kondisi. Kalo emang kamunya udah nggak tahan ya pergi aja... Bukannya ngeliatin mereka mulu... Jadi gini kan... Hapus tuh air matanya...!"
Aku menggeleng kencang. "Belum b-bisa..." lalu terisak..
"Bisa...!"
"B-belum..." lirihku sesenggukan. Dia yang kulihat tak tega dengan apa yang terjadi padaku pun sekarang mendekapku. Tangisku pecah bersama pelukan Alin. Tangannya saat ini sibuk untuk menenangkanku dengan cara mengelus punggungku. Lagi-lagi aku terisak. "M-makasih Lin..."
"Iya... Udah, mending sekarang kamu tidur aja ya..." aku dengan sesenggukan mengangguk patuh. Sahabatku itu mengurai pelukannya dan membiarkanku untuk berbaring. Hingga kantuk pun datang dan dengan cepat membuat kedua mataku terpejam tanpa kupaksakan.
°•°•°
Bangun dengan kepala yang sedikit terasa pusing. Karenanya aku memejamkan mata sejenak guna mengumpulkan kesadaran dan kekuatanku. Kugunakan jari-jariku untuk memijat lembut keningku agar pusinnya sedikit berkurang.
Sosok Alin tak ada di ruangan ini. Melirik jam di pergelangan tanganku. "Apa aku balik ke kelas sekarang aja ya..." memandang lantai dengan tatapan kosong. "Tapi, aku takut nggak kuat lagi. Gimana ya... Apa tunggu dateng aja ya... Iya aja kali... Oke deh, tungguin dia aja."
Suara bel terdengar jelas masuk ke telingaku. "Pantes... Ditaruh di situ ya kedengeran jelas lah..." pasalnya alat pengeras itu ada di sudut tembok, tepat di atasku. Mungkin berjarak sekitar tiga meter dari tempatku duduk.
Suara lelaki yang kurindukan tiba-tiba masuk ke telingaku, sangat jelas. "Dea..." kemudian bunyi langkah kaki menyusul. "Hai... Gimana? Udah baikan...?" aku yang baru membuka mata, kini menatap mata itu yang nampak sangat khawatir. Tunggu, apa cuma perasaanku aja... Entah lah, kalau pun iya kan memang dia khawatir sebagai temen... Gitu aja... Tangannya membelai rambut panjangku. "Dea... Kenapa?"
Aku menggeleng seraya tersenyum. Setelah itu, menyingkirkan tangan Sean dengan menariknya lembut dari rambutku. "Nggak papa... Udah baikan kok. Kamu tenang aja." mengembangkan senyum kecilku.
Lelaki berjaket itu sama-sama tersenyum. Senyum tanda kelegaan miliknya terlukis di wajah tak tenangnya. "Bagus deh kalo gitu." Sean diam sebentar lalu mendesah. "Maaf ya, nggak bisa nemenin kamu tadi. Kamu tau kan..."
Buru-buru aku memotongnya, "tau kok, kan ada Elisa. Paham dong..."
Sean mengangguk lemah, menatapku dengan ekspresi tak enak. "Sekali lagi aku minta maaf. Waktu kamu butuh temen buat nemenin kamu, aku malah nggak bisa. Padahal aku selalu minta kamu buat nemenin kamu. Kamu juga selalu ada buat aku De... Maksih..." seandainya kamu tau kalau kebaikan aku itu semata-mata bukan cuma karena kamu temenku, tapi jauh dari itu. Misal kamu nanti tahu rasaku ke kamu, apa kamu tetep ngucapin makasih dan tetep minta maaf ke aku?
Aku berdeham, membasahi bibirku. "Udah... Nggak usah dipikirin. Namanya juga temen. Itu juga arti kata tulus sama ikhlas, kita harus ada di saat mereka butuh meskipun mereka nggak ada di saat kita lagi butuh." tanpa kuduga Sean memelukku. Sebelum aku larut dalam pelukannya, aku mendorong pelan tubuh Sean hingga sedikit memundur. "Kalo Elisa tau bisa salah paham." ucapku setelahnya.
"Maaf-maaf..."
"Iya, nggak papa."
"Em... Kamu udah bisa pulang bareng aku nggak ya De...?"
"Nggak!" sahut Alin menyelaku begitu saja. "M-maksudku, biar aku aja yang nganterin. Dea kan baru enakan..."
Lelaki yang menatapku itu tersenyum tipis. "Ya udah kalo gitu. Makasih ya Lin..."
"Iya. Sama-sama."
"Oke... Mau aku tuntun nggak De...?"
"NGGAK! Ekh... M-maksudku nggak perlu lah... Kan ada aku, kamu pikir kecil-kecil gini aku nggak punya tenaga apa?!" Sean menggeleng.
"Iya-iya... Dasar, sahabat posesif... Ya udah kalo gitu aku duluan."
"Oke...
"Hati-hati Sean, jangan ngebut...!"
Sean terkekeh mendengar nasehatku. "Kalo itu aku nggak bisa nurutin." aku pun menggeleng karena jawabannya. "Gimana, jadi aku temenin sampe parkiran nggak?"
Alin sudah siap-siap membuka suaranya namun kali ini gadis berjepit itu kalah cepat denganku. "Nggak papa, kamu pulang dulu aja."
Alin menambahi, "iya... Siapa tau Elisa nungguin kamu."
"Nggak... Dia udah pulang. Dijemput sama sopirnya..." kini Sean menatapku. "Ya udah, aku pulang. Da...!" menunjukkan senyum terbaiknya yang selalu kusuka.
Setelah Sean pergi, kami berdua turut keluar dari ruangan yang mengistirahatkan badanku beberapa jam di sekolah hari ini. Dengan senyum tipis aku mengayunkan kaki menjauhi tempat itu.
°•°•°
Terimakasih buat kalian yang menyimak sampai sini... mungkin bisa dihitung orangnya, yang paling penting, aku masih dan selalu berusaha untuk menulis
JAGA KESEHATAN!
See You
Gbu