Rannu bercerita tentang buah hatinya sambil menangis. Ia merasa bersalah atas kejadian itu.
Bayi dengan jenis kelamin laki-laki, dengan tubuh sempurnah, ganteng, punya rambut yang lebat dan hidung yang tinggi. Sejak dilahirkan, bayinya hanya diam, tidak menangis, namun bibirnya membiru dan detak jantung yang lemah. Bayinya hanya bertahan beberapa jam saja setelah dilahirkan, setelah itu meninggal.
Rannu jelas merasa bersalah kehilangan buah hatinya karena sejak tahu kalau dia hamil, ia mencoba beberapa obat-obatan untuk menggugurkan kandungannya. Begitu juga dengan ramuan, sudah dicobanya. Namun bayinya ternyata begitu kuat ingin melihat dunia. Semua usaha untuk menggugurkan kandungannya tidak berhasil.
Sejak Rannu mengandung sampai melahirkan, ia diungsikan di rumah kerabat jauh Om Fritz.
"God, Rannu! Dia darah dagingmu!"
"Iya, tetapi saat itu aku panik Sandri. Pasti keluarga akan menghujatku."
"Ok, kamu salah. Tetapi anakmu nggak bersalah. Mereka tidak boleh menghujatmu karena anak itu."
Pada kemana sih hati nurani mereka. Hanya karena ingin tetap menjaga nama baik keluarga, ia mengorbankan Rannu?!
Saudara Om Fritz memang cukup terkenal. Ada yang jadi pejabat, juga politisi yang sering wara-wiri di TV Nasional. Jika aku berkunjung ke rumah Om Fritz dan bertemu mereka, aku selalu merasa minder. Mereka baik, menegur juga dengan sopan dan biasa mengajak aku mengobrol. Tetapi tetap saja aku merasa tidak sederajat dengan mereka.
Namun ada satu yang tidak aku suka dari mereka, dan ini akhirnya aku buktikan sendiri, jika ada dari keluarga mereka yang tertimpa masalah atau berulah, selalu saja orang lain yang disalahkan tanpa mencari tahu terlebih dahulu apa penyebabnya. Karena ini, aku jarang mengajak Rannu keluar, takut aja jika terjadi sesuatu pada Rannu, pasti aku yang disalahkan. Kejadian itu ketika kakak Rannu ketahuan memakai narkoba. Saudara-saudara Om Fritz malah menyalahkan Tante Elis yang tidak bisa menjaga pergaulan anaknya sehingga memakai narkoba.
Kejadian Rannu hamil saja tidak aku ketahui. Sejak kuliah memang aku sibuk dengan tugas-tugas yang selalu menyita waktuku. Jangankan bertemu, menelpon Rannu saja nyaris tidak pernah lagi aku lakukan. Kabar Rannu hanya aku dengar dari mama yang masih sering mengunjungi Tante Elis, jika Tante Elis tidak keluar kota.
"Aku memang pantas disalahkan. Kelakuanku nggak ada yang benar. Aku selalu salah memilih teman. Aku bergaul dengan anak-anak berandalan, anak-anak yang kerjanya keluyuran dan mabuk-mabukkan."
"Kita memang harus bergaul Ran. Sama siapa saja. Tetapi tidak berarti kalau bergaul dengan anak berandalan, kita lantas ikut jadi berandalan kan."
"Aku nggak seperti kamu, Sandri. Kamu punya pendirian yang kuat. Aku tipe orang yang cepat terbawa arus, tetapi aku tidak pernah menyadarinya sampai aku benar-benar telah terperosok lebih dalam. Kala itu aku merasa tidak punya arti apa-apa lagi di keluarga. Semua salah di mata mereka. Yang ada, aku jadi ragu jika ingin melakukan sesuatu, khawatir salah aja. Aku merasa diambang kehancuran. Gamang, nggak punya tujuan. Mereka hanya menyuruhku begini dan begitu, tapi nggak memberikan arah."
Aku terdiam mendengarkan penuturannya. Jika berada di posisi seperti Rannu, pasti aku juga akan merasa serba salah, tertekan dan bingung hendak melakukan apa.
"Kemudian aku bertemu Ferdy. Dia yang berusaha membuat hidupku bangkit lagi, memberikan arah agar aku bisa kuat menghadapi keluarga. Begitu dalam cinta kami, sehingga kami melakukan hubungan itu. Aku tidak menyesal Sandri. Kami saling mencintai. Dia ingin membawaku pergi, tetapi kamu tahu sendiri keluargaku gimana. Sampai kehamilan itu sudah nggak bisa aku tutupin lagi, Ferdy berinisiatif datang ke rumah ingin meminangku. Yang terjadi, Kak Arie murka. Tidak hanya Kak Arie, juga Kak Febby dan Kak Nita. Mama juga marah. Mereka sangat menentang hubunganku dengan Ferdy. Ferdy diusir dari rumah."
"Apa alasan mereka menentang hubunganmu dengan Ferdy?"
"Orang tua Ferdy bercerai, intinya keluarga Ferdy bukan keluarga baik-baik."
Aku tak habis pikir. Hanya karena keluarga pacar Rannu berantakan, mereka menentangnya. Padahal Ferdy ingin bertanggung jawab.
"Sejak Ferdy diusir dari rumah, besoknya aku diungsikan ke rumah kerabat papa di Sulawesi. Aku di sana sampai melahirkan. Mama hanya menengokku sekali. Papa nggak pernah, apalagi kakak-kakakku. Tetapi di sana aku betah San, mereka memperlakukanku dengan baik. Mereka juga antusias dengan kehamilanku. Mereka selalu heboh jika kandunganku berkontraksi. Serasa aku sudah jadi anaknya. Malah mereka ingin jika anakku lahir, biar mereka saja yang rawat. Sayang bayiku hanya bisa melihat dunia selama dua jam."
Air mata Rannu mulai menetes kembali.
"Kenapa kamu nggak tinggal sama kerabat Om di Sulawesi aja Rannu?"
"Setelah tahu kalau aku sudah melahirkan dan anakku meninggal, aku diminta kembali ke Jakarta, San."
"Siapa yang memintamu kembali? Bukannya mereka yang mengungsikan kamu agar terlepas dari rasa malu?"
"Om dan kakak-kakakku."
Aku geram sendiri mendengar cerita Rannu. Setelah dibuang, kemudian disuruh kembali untuk disalahkan lagi dan lagi.
"Selama di Sulawesi, kamu ngapain aja Ran?"
"Karena itu kota kecil ya, jadi mudah banget kenalan dengan orang lain. Mereka juga ramah. Nggak bergunjing, mereka sibuk dengan kebun dan sawah. Aduh Sandri, hidup di sana itu seperti bebas dari topeng deh. Tampil apa adanya. Walaupun aku tahu, kadang tatapan mereka sedih ketika melihatku, tetapi mereka selalu menghiburku. Waktu aku ngidam, tetangga juga yang berusaha mencarikan makanan yang kuinginkan."
Aku ikut senang mendengarnya. Bersyukur, masih ada yang bersimpati pada Rannu.
"Selama di sana, aku juga sering buat kue dari bahan yang ada di kebun, singkong, labu, wortel juga jus. Tetangga yang tahu kalau aku bisa membuat kue, sering membawakan aku hasil kebunnya. Juga minta diajarin cara membuatnya." Lanjut Rannu sambil tertawa.
"Syukurlah selama di sana kamu bahagia."
"Aku kangen suasana seperti di sana, Sandri. Semoga ada waktu, aku pasti mengunjungi mereka. Sekalian aku nyekar ke makam anakku."
Membayangkan seperti yang dialami Rannu di Sulawesi, aku juga pasti bahagia jika mengalaminya. Suasana yang tidak pernah dijumpainya di rumah. Jika keluarga seolah-olah menganggap dia hanya pelengkap saja, bagian yang tidak penting, dengan orang lain, Rannu malah diterima dengan baik dan dianggap seperti keluarga bahkan anak.
"Kamu masih sering komunikasi dengan mereka?"
"Jarang sih San. Tapi setiap hari lahir anakku, bahkan mereka yang lebih ingat lho, mereka mengirimkan aku foto makamnya."
Mataku berkabut mendengar bagian ini. Mereka yang jauh saja malah selalu ingin mengabadikan momen seperti ini. Aku terharu.
"Aku kadang merasa tidak pantas mendapatkan perlakuan yang baik ini Sandri. Aku kotor."
"Itu sudah menjadi masa lalu Rannu. Yang penting sekarang, bagaimana kamu membuktikan ke mereka kalau kamu bukan Rannu yang dulu."
"Iya, aku akan berusaha."
*****