Aku menggelengkan kepala. Sangat tidak mempercayai dengan apa yang kulihat barusan. Rannu pasien di rumah sakit jiwa. Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya? Kakiku tidak bisa aku gerakkan, seakan tertancap dengan kuatnya di lantai. Badanku kaku. Kepalaku seperti berputar. Cepat kupegang tiang koridor agar aku tidak terjatuh.
"Dia itu..." Aku tidak sanggup menyelesaikan kalimatku.
"Lho, kenal dia, Sand?"
"Dia....Rannu, Kak!"
"Rannu? Siapa?"
"Anaknya Tante Elis, Kak."
"Tante Elis yang mana?"
"Tante Elis, kakaknya Mama?"
"Ehhhh...!?"
Kak Ika pun terkejut.
Aku tidak berada lama di tempat Kak Ika. Bergegas aku pulang. Cepat aku pesan ojek online dengan aplikasi yang ada di ponselku. Aku tidak ke rumah melainkan ke rumah Tante Elis. Di jalan, beberapa kali aku menarik napas, berusaha menenangkan pikiranku. Air mata mulai menggenang tetapi segera kuseka dengan tissu. Aku mencoba menahan isak tangis yang akan pecah berderai. Perjalan dari rumah sakit jiwa tempat kak Ika, ke rumah Tante Elis, aku tempuh seperti perjalanan yang sangat jauh. Beberapa kali terjebak macet, lampu merah di persimpangan jalan dan hampir saja menabrak penyebrang jalan yang tiba-tiba melintas di depan kami. Aku mengurut dada.
Tiba di depan pagar rumah Tante Elis, bergegas aku turun, menyelesaikan pembayaran dan langsung masuk. Sebelum mengetuk pintu, aku menoleh ketika mendengar suara.
"Mba?"
"Ya, kenapa Bang?" Aku bingung melihat abang ojol mengikutiku. Kupikir bayaranku kurang, padahal bayaran yang kuberikan malah lebih dari yang tertera di aplikasi.
"Helmnya." jawabnya tersenyum.
"Oh, maaf Bang!" Cepat kulepas helm dan memberikan ke abang ojol. Saking buru-burunya sampai aku lupa melepas helm.
Aku mengetuk pintu dengan keras, berharap secepatnya ada yang mendengar dan datang membukanya. Tidak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat. Tante Elis yang membuka pintu. Seketika aliran darah ke wajahku mendadak berhenti.
"Sandri? Ayo masuk!" Tante Elis menggamit lenganku, mengajak masuk dan langsung ke ruang tengah.
"Tumben nih Sandri. Ada kabar apa?"
"Engg...Tante." Aku masih bingung cara menyampaikannya.
"Kamu kenapa? Muka kamu kok pucat begitu, sakit?" Tante Elis menyadari perubahan di wajahku.
"Tante, aku sudah ketemu Rannu." Kataku dengan suara yang sangat pelan, khawatir membuat Tante Elis terkejut.
"Di mana Sandri?! Rannu ada di mana?!"
Tante Elis memegang kedua bahuku, sedikit mengguncangnya.
"Di rumah sakit Tante." Melihat ekspresi Tante Elis, aku tidak sampai hati memberitahu tempat Rannu dengan tepat.
"Rannu kenapa? Dia sakit, Sandri?!"
"Ehmm, tepatnya Rannu di rawat di rumah sakit jiwa, tante."
"Rumah sakit jiwa?! Rannu di rumah sakit jiwa?! Ohhh...!"
Tante Elis tertunduk dengan lemas. Tangannya di bahuku terlepas. Kini tangan itu terkulai lemah di sofa. Tidak lama kemudian Tante Elis masuk ke kamar dan keluar dengan tas dan kunci mobil di tangan. Tanganku ditariknya masuk ke dalam mobil.
"Tante, biar Sandri yang nyetir ya?"
Melihat kondisinya, aku yakin Tante Elis pasti tidak bisa konsen menyetir. Beliau menggangguk kemudian keluar dan berganti posisi denganku. Di jalan Tante Elis sangat gelisah. Terkadang ia kesal dan mengumpat melihat kendaraan yang berada di depan kami yang seperti tidak bergerak tetapi kenyataannya bergerak walaupun sangat lambat karena kondisi jalanan yang sedang macet parah.
Setelah bisa menembus kemacetan, kami tiba di rumah sakit jiwa tempat Rannu di rawat. Begitu mobil terparkir dengan sempurnah, Tante Elis bergegas turun. Aku menyusul dan menyamai langkah kaki Tante Elis yang sangat cepat, nyaris berlari. Aku menelpon Kak Ika, mengabarkan jika aku dan Tante Elis telah tiba. Ia menyambut di depan Lobby dan mengantar kami ke tempat Rannu. Rannu masih di posisi yang sama saat tadi aku melihatnya. Sepertinya ia menyukai berada di luar ruangan. Dan apa yang aku saksikan selanjutnya, membuatku terharu dan tak kuasa menahan tangis.
Tante Elis berlari menuju tempat Rannu. Tak dihiraukannya pasien lain yang ingin menyentuhnya. Ia terus saja berlari ke arah Rannu. Begitu dekat langsung saja dipeluknya Rannu sambil menangis. Dibelainya rambut Rannu. Diciumnya pipi Rannu bergantian, berulang-ulang. Sementara Rannu hanya diam kaku dengan tatapan kosong. Ia tidak mengenali orang yang sedang memeluknya. Rannu melepaskan pelukan Tante Elis dengan kasar kemudian menjauh. Sedetik kemudian ia berteriak histeris. Tante Elis shock! Nampak jelas beliau sangat terpukul melihat kondisi Rannu. Aku yang ingin mendekat, melangkah mundur kembali. Aku juga shock!
Perawat segera datang memegang Rannu dan membawanya ke kamar. Mungkin ia akan disuntik obat penenang, pikirku.
Aku menghampiri Tante Elis, membantunya menuju ke tempat duduk. Tante Elis masih diam, wajahnya jelas masih menampakkan kecemasan. Setelah Tante Elis duduk, aku ke showcase cooler yang ada di Lobby. Kupilih air mineral untuk kuberikan ke Tante Elis.
"Minum dulu ya Tante."
Tante Elis mengambil air mineral yang kosodorkan kemudian meminumnya. Setelah itu ia menghela napas kemudian menatapku.
"Sandri?"
"Ya, Tante?"
"Apa Rannu bisa tante bawa pulang dan rawat di rumah aja ya? Kalau di rumah mungkin dia cepat sembuh."
"Kalau melihat Rannu histeris tadi, sepertinya ia masih butuh perawatan intensif di sini Tante. Atau kita ketemu dokter yang menangani Rannu aja ya Tante?"
"Iya, Tante juga mau tahu seberapa parah penyakit jiwa yang dialami Rannu."
Kak Ika sudah ada di Lobby kembali, menemani kami. Setelah kuutarakan keinginan Tante Eilis untuk bertemu dokter yang merawat Rannu, Kak Ika kemudian mendampingi kami bertemu Dokter Firdaus.
Ketika kami memasuki ruangan kerjanya, aku cukup kaget melihat dokter dengan perawakan yang tinggi besar. Sepertinya ia memang cocok untuk menangani pasien-pasien yang punya kelainan mental. Pikirku, ketika ada pasiennya yang kambuh, ia pasti tidak kesulitan untuk menghadapinya. Sekali piting, pasiennya pasti tidak berkutik.
Tante Elis cukup lama mengobrol dengan Dokter Firdaus. Aku berada di samping Tante Elis ikut mendengarkan. Dari penjelasan Dokter Firdaus, Rannu mengalami depresi berat sehingga ia ketakutan berhadapan dengan orang lain dan kadang mulai berhalusinasi. Aku berharap gangguan mental yang dialami Rannu tidak parah dan bisa disembuhkan. Mendengar penjelasan Dokter Firdaus, aku dan Tante Elis menangis. Kami tidak menyangka penderitaan yang sangat dalam menyebabkan Rannu mengalami goncangan mental yang hebat. Jelas sekali penyesalan di wajah Tante Elis. Sementara aku juga merasa bersalah tidak bisa menemaninya lebih lama di rumah Kak Arie.
Saat kami akan kembali, kami belum bisa menemui Rannu. Rannu berada di ruang perawatannya sudah tertidur setelah diberikan obat penenang.
Aku mengantar Tante Elis pulang, menemaninya sebentar karena aku khawatir melihat kondisinya yang masih shock. Setelah Tante Elis cukup tenang, aku ijin pulang ke rumah.
Sampai di rumah, Mama yang melihat mataku sembab, bertanya.
"Kamu kenapa?"
Aku tidak menjawab tetapi memeluk Mama sambil menangis.
"Hey, ada apa? Apa ada yang sakit?"
"Ma, Sandri sudah menemukan Rannu."
"Rannu? Di mana?"
"Rannu di rawat di rumah sakit jiwa."
"Gimana?! Rannu kenapa?!"
"Rannu sakit Ma." Tangisku semakin kencang.
Setelah aku tenang, aku menceritakan semuanya pada Mama. Mama juga sedih. Papa yang tadi mendengar aku menangis juga keluar kamar dan menanyakan ada peristiwa apa. Setelah mendengar penjelasanku, Papa menghela napas, raut wajahnya juga prihatin mendengar kondisi Rannu.
*****