"Rannu sakit Mas."
"Sakit? Di rawat di mana? Saya boleh menjenguknya?" tanyanya beruntun.
"Mas masih sayang Rannu?" aku memberanikan diri menanyakan hal ini. Jika ia masih menyayangi Rannu, setidaknya ia masih punya simpati.
"Saya akan selalu menyayangi Rannu. Sampai saat ini, hanya Rannu yang saya cintai, Sandri," jawabnya dengan lirih.
"Tetapi kami dipisahkan, hanya karena keluargaku bercerai. Apa seburuk itu anak produk broken home?" lanjutnya.
"Maafkan ya Mas," aku ikut merasa bersalah.
"Rannu mengandung anakku, Sandri. Dan setelah itu, saya nggak tahu Rannu berada di mana. Anak kami gimana? Dia pasti sudah gede ya? Mirip saya atau Rannu ya Sandri?"
"Tuhan lebih menyayanginya Mas. Bayi kalian hanya bertahan beberapa jam saja setelah dilahirkan."
"Ohhh...!" Ferdy terkejut. Raut wajahnya sangat sedih.
"Rannu diungsikan ke Sulawesi, tempat keluarga jauh Om Fritz, Mas. Rannu berada di sana sampai melahirkan. Saat keluarga tahu bayinya meninggal, Rannu diminta kembali ke Jakarta, kemudian tinggal bersama Kak Arie di Bandung."
"Saya pernah mencoba menelpon Rannu, tapi nomornya sudah nggak aktif. Saya berusaha mencarinya tetapi selalu gagal. Saya benar-benar kehilangan jejaknya."
"Saya juga pernah tinggal di rumah Kak Arie dan Rannu sering bercerita tentang Mas Ferdy."
"Oh, ya? Rannu bercerita apa aja?"
"Kalau Mas Ferdy baik, tetapi keluarga nggak menyetujui hubungan kalian."
"Iya, Sandri. Saat itu saya memang masih kuliah, tetapi saya meyakinkan keluarga akan berusaha membahagiakan Rannu. Tetapi sejak awal, mereka nggak pernah menyukai saya karena latar belakang keluarga saya."
Aku bisa merasakan kepedihannya. Ditolak bahkan di usir dari rumah. Itu sangat melukai harga dirinya sebagai lelaki. Sebaiknya aku membuka apa yang telah Rannu alami selama ini. Aku menghela napas. Rasanya sulit untuk mengutarakan pada pria yang sampai saat ini masih mencintai Rannu.
"Beberapa minggu yang lalu, Rannu menghilang dari rumah Kak Arie. Tahu-tahu saya menemukannya di rumah sakit jiwa."
"Hehhh?!!" Ferdy sangat terkejut. Tangannya mengepal kuat di meja. Matanya menyorotkan ekspresi luka yang dalam. Siapapun yang berada di posisinya, pasti akan mengalami keterkejutan yang sama.
"Apa sebenarnya yang di alami Rannu, Sand? Jika saya masih bersamanya, saya pastikan ia akan baik-baik saja. Dia tidak akan seperti ini. Apa salah kami sehingga kami nggak bisa bersama?" tanya Ferdy dengan kepedihan yang terpancar di wajahnya.
"Rannu sangat tertekan di rumah Kak Arie. Tetapi itu hanya puncaknya saja. Rannu terpukul saat tahu ia bukan anak Om Fritz dan Tante Elis, melainkan anak dari Om Fritz dan Tante Anna."
Aku sudah nyaris menangis menceritakan kehidupan Rannu setelah bayi mereka meninggal, pada Ferdy. Wajah Ferdy sudah mulai merah. Matanyapun sudah ada genangan di sana. Tetapi dia berusaha menahannya agar dirinya tidak terlihat rapuh. Tarikan napasnya berat.
"Anak Om Fritz dan Tante Anna?!" tanyanya untuk memastikan apa yang di dengarnya tadi, tidak salah.
"Iya Mas."
"Tante Anna masih tinggal dengan Tante Elis?"
"Beliau sudah meninggal."
'Ohhh!"
Untuk yang kesekian kalinya Ferdy terkejut. Hari ini ia menerima info yang tidak di duganya dan membuat hatinya sedih, mungkin juga perih yang teramat dalam.
"Sandri, antar aku bertemu Rannu ya. Please?!"
"Mas Ferdy sudah siap melihat kondisi Rannu?"
Aku khawatir, jika kondisinya seperti ini dan melihat Rannu nanti, ia akan semakin sedih.
"Apa nggak sebaiknya Mas tenang dulu? Kita juga belum bisa mendekati Rannu, Mas. Hanya bisa meihatnya dari jauh saja. Kondisi Rannu masih nggak stabil. Dia bisa histeris tiba-tiba, jika ada yang mendekatinya"
"Ohh, Tuhan!"
Ferdy tertunduk sambil memegang kepalanya. Aku mulai cemas. Dalam kondisi seperti ini, kupastikan ia akan shock berat jika melihat secara langsung kondisi Rannu.
"Hari Sabtu, Kak Arie dan Kak Lia selalu datang menjenguk Rannu. Tetapi mereka juga belum bisa mendekati Rannu, Mas."
"Kasihan Rannu, Sandri. Nggak ada yang nemanin dia di sana," ucap mas Ferdy lirih.
"Iya Mas. Rannu jika dalam kondisi tenang, selalu duduk di taman. Saya titip Rannu pada Kak Ika."
"Kak Ika?"
"Kak Ika adalah keponakan Papa yang bekerja di sana."
"Tolong Sandri, temani saya bertemu Rannu sekarang! Nggak apa jika hanya bisa melihatnya dari jauh. Saya nggak akan tenang jika nggak melihat kondisinya secara langsung."
Walaupun berat, aku mengijinkan Ferdy melihat Rannu. Aku berharap dia bisa tenang saat melihat kondisi Rannu. Walaupun aku khawatir, jika ada keluarga Rannu yang melihatnya, bisa marah. Tetapi aku sudah siap menghadapinya. Saat ini, seharusnya mereka memikirkan kesembuhan Rannu dan tidak lagi melihat ke belakang.
Ferdy kemudian bergegas menyelesaikan pembayaran di kasir. Sementara aku memastikan kembali, dokumenku tidak ada yang terlupa. Setelah itu kami menuju rumah sakit jiwa tempat Rannu di rawat.
Di jalan menuju tempat perawatan Ranu, beberapa kali aku melihat Ferdy menghela napas. Terkadang mengusap wajahnya dengan gusar. Sepertinya ia sudah tidak sabar bertemu Rannu.
"Kegiatan Rannu sebelum ia di rawat, apa ya Sandri?"
"Rannu nggak sempat melanjutkan kuliahnya Mas. Setelah tinggal bersama Kak Arie, Rannu di suruh Kak Arie kursus."
"Kenapa Rannu nggak selesain kuliahnya?"
"Saya kurang tahu juga Mas."
Aku sengaja tidak memberitahunya, jika alasan keluarga Rannu adalah karena Rannu bakalan tidak akan bisa menyelesaikan kuliahnya. Otaknya tidak mampu. Kupastikan, jika hal ini Ferdy tahu, mobil kami akan menabrak sesuatu di jalan.
"Sandri, jika saya yang merawat Rannu, apa boleh?"
Pertanyaan yang benar-benar menohokku. Dia saja yang tidak punya hubungan keluarga dengan kami, punya niat untuk merawat Rannu. Aku jadi mempertanyakan peran kami bagi hidup Rannu.
"Mas, saya nggak bisa memutuskan karena Rannu masih punya Tante Elis, juga saudara. Belum lagi keluarga dari pihak Om Fritz."
"Saya merasa bersalah pada Rannu. Saya tinggalin dia, saat mengandung anak kami. Saya nggak bertanggung jawab banget!" ucap Ferdy sambil memukul stir mobil.
Aku tahu ia sangat terguncang. Tetapi ia harus tenang dulu jika ingin melihat Rannu. Kondisinya akan buruk.
"Mas Ferdy harus tenang jika masih ingin melihat Rannu," kataku mengingatkan.
"Maaf Sand, aku jadi nggak konsen. Ok, saya pastikan kondisi saya baik saat bertemu Rannu."
Aku bernapas lega. Sesekali aku meliriknya. Ia mencoba mengatur napasnya, mengendalikan emosi yang sempat meletup tadi.
Kami sudah mendekati lokasi tempat Rannu di rawat. Semakin dekat, aku melihat Ferdy berusaha keras mengendalikan emosinya.
"Mas, tenang ya?"
Ia hanya menggangguk dan menatap lurus ke depan. Kami sudah masuk area parkir. Aku kemudian menelpon Kak Ika. Beruntung kak Ika saat ini sedang bertugas.
"Hallo Sandri..! Lho, biasanya baru hari Sabtu kamu ke sini?" tanya Kak Ika saat menyambut kami di pintu Lobby.
"Iya Kak. Eh, kenalin Kak, Mas Ferdy?"
Kak Ika mengulurkan tangan namun dengan tatapan penuh tanya yang di tujukan padaku. Aku sudah menduganya.
"Mas Ferdy ini, teman dekatnya Rannu, Kak."
"Calon suami, tapi di tolak Mbak," jawab Ferdy menjelaskan.
"Hehh?" Kak Ika bingung.
"Panjang Kak, ceritanya. Ntar aja ya. Mas Ferdy ingin melihat Rannu."
"Rannu lagi ada di taman kok. Lagi tenang dia. Beberapa hari ini sudah mau ngomong, tapi masih dikit-dikit sih. Lega aja melihat perkembangannya," Kak Ika memberi info yang cukup menggembirakan buat kami.
"Oh ya? Syukurlah Kak."
"Yuk, kita ke koridor. Dari sana kita bisa melihat Rannu dengan jelas. Belum bisa dekat ya, masih belum terbiasa dia dengan orang lain selain kami," tambah kak Ika sambil mengajak kami menyusuri koridor.
Di taman aku melihat Rannu duduk sambil menunduk dan melakukan sesuatu. Aku coba mempertajam penglihatanku. Ada benang dan juga seperti alat yang ia putar, kemudian menarik benang dengan alat tersebut.
"Rannu lagi ngapain ya Kak Ika?"
"Lagi buat rajutan. Sepertinya dia tertarik dengan kerajinan tangan yang diajarkan."
Aku senang dia mulai tertarik dengan mengerjakan sesuatu, dari pada hanya duduk diam dengan tatapan kosong. Aku melirik Ferdy yang berjalan di sampingku. Matanya menatap lurus ke arah Rannu. Tepat di area tengah koridor, posisi yang tepat untuk melihat Rannu, kami berhenti.
"Rannu...," nama itu di ucapkan Ferdy sangat lirih. Suaranya seolah tercekat. Namun aku bisa merasakan, ada rasa rindu yang coba ia ungkapkan.
Saat nama Rannu terucap, Rannu menegakkan kepalanya. Tatapan kami beradu.
*****