Sejak kuterima surat dari Rannu, aku berusaha mencarinya ke keluarga yang lain, yang masih berada di sekitaran Jabodetabek. Tetapi usahaku sampai berminggu-minggu, tidak ada yang berhasil. Tanda-tanda akan keberadaan Rannu nihil. Aku jadi teringat cerita saat dia hamil dan diungsikan ke Sulawesi. Apa mungkin Rannu ke sana? Tetapi itu sangat jauh, mustahil Rannu ke sana seorang diri.
Aku berpikir, apa aku memasukkan Rannu di media sosialku dan berharap ada yang mengenalinya? Tetapi hal itu kuurungkan. Aku khawatir dengan keluarga Om Fritz. Jika hal itu aku lakukan dan mereka tahu, pasti akan membuat mereka malu dan bisa saja mereka memarahiku.
Sampai saat ini, keberadaan Rannu belum juga kami ketahui. Yang aku dengar, Kak Arie sering cekcok dengan Kak Lia setelah Rannu minggat dari rumah. Mereka saling menyalahkan. Aku masih berusaha mencari cara agar bisa menemukan Rannu ketika siang itu aku menerima telepon dari nomor yang tidak kukenal.
"Hallo?!"
Tidak ada suara di seberang sana. Hanya bunyi kendaraan yang memekakkan telinga. Beberapa kali aku berhallo-hallo, tetapi tetap tidak ada suara, kemudian telepon terputus. Aku berpikir mungkin saja Rannu yang menelponku. Namun ketika aku menelpon balik, nomor tersebut sudah tidak bisa dihubungi.
Suara ribut-ribut di luar, terdengar hingga ke kamarku. Akupun terbangun. Terdengar suara perempuan. Suara itu sangat familiar. Itu pasti Kak Ika, pikirku. Kak Ika adalah keponakan papa yang bekerja di rumah sakit jiwa sebagai perawat. Cerita-cerita tentang pasiennya selalu membuatku tertarik.
"Kamu terbangun karena dengar suaraku ya?"
Aku hanya tertawa menanggapinya.
"Mau minum apa nih Kak?"
"Nggak usah repot deh, ntar Kak Ika ambil sendiri."
"Gimana pasiennya Kak?"
"Masih seperti yang lalu-lalu aja. Eh, tapi ada pasien baru lho. Sepertinya seumuran kamu deh."
"Oh, ya?"
"Kalau dilihat sepintas sih, dia nggak punya kelainan jiwa. Tetapi suka melamun dan pandangannya kosong. Mana anaknya juga cantik."
"Kasihan ya Kak." Aku bergumam.
"Kamu sudah jarang main ke tempatku Sandri. Sibuk ya?"
"Nggak sibuk-sibuk amat sih, tetapi adalah yang dikerjakan dan menghasilkan duit." Balasku sambil tertawa.
"Masih nggak mau cari kerja yang terikat dengan waktu ya?"
"Nggak gitu juga sih Kak. Cuman belum nemu yang cocok aja. Jadi untuk saat ini lebih suka freelance."
Aku memang masih berusaha mencari kerja yang benar-benar sreg. Setelah kembali dari Bandung, aku lebih suka mengerjakan project-project lepas aja bareng teman-teman kuliah dulu. Spesialis aku di desain Interior. Kadang kami kerjakan desain untuk interior office, hotel bahkan juga cafe. Rencananya kami akan buka konsultan desain interior sendiri, tetapi dananya belum mencukupi. Sepertinya untuk mewujudkan itu, kami harus bekerja lebih keras lagi.
"Tapi enak sih ya, setelah mengerjakan satu project, bisa berleha-leha selama tiga bulan gitu."
"Nggak jugalah Kak. Tapi cukuplah buat beli barang favorit sesekali."
"Buka usaha sendiri aja kalau gitu Sandri."
"Maunya Kak, patungan dengan teman, tapi dananya belum sampai."
"Ikut aku yuk Sand, mau?"
"Ke rumah sakit?"
"Iya, sudah lama lho kamu nggak ke sana."
Dulu aku sering ke tempat kerja Kak Ika. Di sana pasien diberikan beberapa keterampilan. Ada melukis, kerajinan tangan atau bercocok tanam. Menurut kak Ika, keterampilan ini diberikan untuk mengasah kembali pikiran mereka. Hasil dari ini bisa dijadikan indikator bagi kondisi mentalnya.
Karena aku suka membuat sketsa, kadang kegiatan di rumah sakit tempat kak Ika bekerja, kubuatkan sketsa. Kak Ika pernah memintaku untuk mengajarkan hobbyku ini ke pasiennya. Ada beberapa pasien yang sempat kuajarkan membuat sketsa. Sayangnya, pernah saat aku sedang asik membuat sketsa bersama seorang pasien, ada pasien lain yang kambuh dan mengambil sketsa yang sedang kami buat lalu merobeknya. Tidak lama kemudian pasien tersebut mulai berteriak dan hampir menerjangku. Aku sampai trauma. Mulai saat itu aku sudah jarang ke tempat kerja Kak Ika.
"Hari ini Kak?"
"Kalau kamu nggak ada kegiatan lain sih."
"Gimana kalau hari Sabtu ya kak. Hari ini ada janji dengan teman."
"Oh, ok deh. Saya jemput ya."
"Siap.."
***
Aku ke mall yang berada di daerah Jakarta Pusat. Di salah satu tempat makan, aku duduk menikmati minuman dan beberapa makanan kecil sambil membicarakan pekerjaan dengan temanku. Kami berencana akan mengerjakan interior salah satu outlet yang akan direnovasi di mall tempat kami berada saat ini.
"Dapat dari mana project ini Dit?" Dita adalah teman yang biasa bekerjasama denganku.
"Kebetulan Ownernya kenalan kakakku Sandri. Baik kok orangnya."
"Owh gitu. Setelah ini apa kita langsung survey lokasinya?"
"Setelah kita ketemu orangnya dulu ya. Ntar dia yang antar kita ke lokasinya."
"Ok."
Kami masih melanjutkan obrolan ketika seseorang mendekat ke tempat kami.
"Hallo....!Sudah nunggu lama ya?"
Seorang pria dengan postur tubuh tinggi dengan penampilan yang sangat baik kemudian menarik kursi kosong dan duduk bersama kami.
"Sandri, ini Ownernya."
Dia kemudian mengulurkan tangan dan menjabat tanganku sambil memperkenalkan diri.
"Ferdy."
"Sandri."
Sebentar, nama itu mengingatkanku pada seseorang, Rannu. Nama lekaki ini sama dengan pacar Rannu.
"Kok sepertinya saya pernah lihat kamu ya. Dimana?" tanyanya ke padaku sambil berpikir.
"Owh ya?"
"Kalau nggak salah, dulu saya pernah ke rumah pacar saya dan saya lihat kamu di sana."
"Mas Ferdy kenal sama Sandri?" kali ini Dita yang bertanya.
"Iya, benar, saya lihat kamu di rumah Rannu. Namamu juga tadi kedengaran familiar sih. Dulu Rannu suka banget cerita sepupunya yang bernama Sandri"
Deg! Benar, dia Ferdy, pacar Rannu. Betapa sempitnya dunia. Setelah Rannu menghilang, aku malah bertemu dengan Ferdy.
"Benar kan, kamu sepupunya Rannu?"
"Iya Mas."
"Senang banget bisa ketemu. Rannu apa kabar?"
Pertanyaannya membuatku terdiam. Aku bingung menjawabnya. Tidak mungkin aku bercerita mengenai Rannu yang menghilang dalam kondisi seperti ini.
"Rannu baik kok."
"Syukurlah. Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi, ajak Rannu ya."
"Ok Mas."
Setelah itu, kami menuju lokasi outletnya untuk survey. Ferdy adalah seorang pengusaha muda yang cukup sukses. Dari pengamatan aku tadi, orangnya memang baik dan sopan dalam bertutur kata. Sesuai dengan apa yang disampaikan Rannu padaku.
Ferdy tidak banyak permintaan. Hanya ingin konsepnya minimalis dengan beberapa aksen ornamen dari ukiran daerah di Indonesia. Konsep yang sangat menantang karena merupakan perpaduan antara modern dan tradisional.
Sebelum berpisah, dia meminta nomor handphoneku. Aku berikan dengan tujuan untuk memudahkan kami berkoordinasi mengenai desain. Tak lupa ia menitipkan salam pada Rannu.
Saat aku kembali ke rumah, aku terus mengingat Rannu. Jika saja kami masih berkomunikasi, pasti akan kukabarkan kalau hari ini aku bertemu dengan Ferdy. Aku hanya berharap dia baik-baik saja di luar sana.
Hari Sabtu kak Ika menjemputku dan kami menuju rumah sakit jiwa tempatnya bekerja. Dari pintu gerbang sudah terdengar suara gaduh pasien. Ada yang teriak, tertawa dan lainnya. Kami menyusuri koridor. Di sudut taman, aku melihat seorang gadis sedang tertunduk sambil mengoyangkan kaki.
"Itu pasien barunya Sandri." kata kak Ika sembari menunjuk ke arah gadis yang sedang kuperhatikan. Pelan dia mengangkat kepalanya. Aku sangat terkejut kala melihatnya. Apa aku tidak salah lihat? Aku perhatikan dengan seksama. Astaga! Pasien baru itu adalah Rannu!
*****