Naya menatap tangannya lalu beralih menatap wajah Abi. Naya menunjukkan ekspresi janggal akan sikap Abi. Abi merasa tidak nyaman di tatap seperti itu oleh Naya. Abi melepas genggamannya dengan kasar. Lalu mengalihkan pandangan ke arah luar bangunan, hujan masih deras. Dengan keadaan seperti itu tidak ada yang bisa kabur dari keadaan yang membuat rasa canggung.
"Kenapa menarikku?" tanya Naya lirih.
"Anggap saja aku sedang khilaf."
"Aku-"
"Itu tidak berarti apa-apa bagiku. Kau tidak perlu sungkan. Jika ada katak di depan mata, pasti aku akan melakukan hal yang sama." Abi berkata tanpa menatap Naya.
Rahang Naya mengeras, ia merasa kesal. Lebih kesal lagi karena Abi manyamakan dirinya dengan katak. Dia pikir aku apa? Ugh! Benar kata orang, pimpinan Mahardika Fashion adalah orang yang angkuh. Naya lalu menjaga jarak dengannya, ia tidak ingin lagi mempedulikan keberadaan Abimanyu Mahardika.
Bodo amat. Ah, aku telah salah sangka. Mana mungkin orang seperti dia adalah Abi sahabatku yang terbaik. Jika dilihat dari siapa yang lebih mirip dengan Abi, pastilah aku akan memilih Adi. Dia jauh lebih baik dari pria yang ada di sampingku ini, dasar pria kasar. Naya menggerutu tidak jelas dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara petir yang diikuti oleh gemuruh, cukup keras hingga memekak telinga. Tanpa disadari Naya reflek berlari ke arah Abi, ia memeluk Abi dengan kuat. Nampak sekali Naya ketakutan.
Abi tidak heran, dia sudah mengetahui tentang rahasia itu. Naya memang takut petir dan gemuruh, itu semua karena Naya dibiarkan mengatasi ketakutannya seorang diri sejak kecil. Vera selalu mengutamakan Fisa, membuat Naya sedikit terabaikan.
Semasa di SMA, Naya pernah pingsan karena waktu itu hujan cukup deras dan beberapa kali terdengar petir saling menyambar. Ditambah listrik padam dan suasana menjadi mencekam dalam ruang keras. Naya waktu itu diam di tempatnya dan tau-tau sudah pingsan saat Putra menemukannya.
Abi memeluk Naya. Ia berpikir, tidak apa-apa sedikit mengambil kesempatan. Jika tidak dalam keadaan seperti ini, bagaimana ia bisa sedekat ini dengan Naya. Anggap saja ini kejadian tak terduga.
Naya mulai sadar akan posisinya, saat menyadari ada hembusan nafas cukup kuat yang mulai tidak teratur berulang-ulang meniup puncak kepalanya. Tentu saja di puncak kepala Naya, karena postur tubuhnya yang kecil mungil membuatnya berada lebih rendah dari postur tubuh Abi yang jauh lebih tinggi. Maklum tubuh Abi bisa dibilang tubuh seorang model.
Abi melonggarkan pelukannya, ia tidak ingin Naya menyadari jika dirinya menerima pelukan Naya.
Naya menjauhkan tubuhnya dengan cepat. Keadaan ini membuat Naya salah tingkah.
"Maaf, aku tidak sengaja. Aku takut petir." Naya menjelaskan karena tidak ingin pria itu salah paham dan meledeknya lagi.
"Anggap saja aku sedang beramal."
Apa? Beramal? Ugh! Sombong sekali dia. Lagaknya sungguh menyebalkan. Naya merasa gemas sendiri.
Naya tidak tahan lagi, ia nekat masuk kedalam guyuran air hujan yang terasa sakit di kulitnya karena begitu deras.
Abi ingin mencegahnya, tapi ia terlalu gengsi untuk melakukannya lagi. Tubuhnya reflek ingin bergerak tapi pikirannya mencegah.
Cetaaarrr!!!
Kilat kembali membelah langit yang tengah menangis. Naya kembali masuk ke dalam pos penjaga. Kakinya 2 yang basah membuatnya tergelincir. Abi dengan sigap menolong Naya agar tidak terpelanting ke lantai, tapi sayang Abi gagal. Mereka berdua justru jatuh bersama ke lantai. Cukup keras hingga menimbulkan suara gedebuk!
"Aaww ..." Mata Naya terpejam menahan rasa sakit yang ia bayangkan akan sangat sakit.
Naya membuka matanya, karena ia merasa tidak sesakit yang ia bayangkan. Tentu saja, karena ia jatuh di atas tubuh Abi. Pria itu sempat memutar tubuh Naya saat akan menyentuh lantai. Hemm, apa dia lagi-lagi sedang beramal? Naya mengerutkan bibirnya.
"Apa yang kau lihat? Cepat bangun. Kau ini makan apa? Kenapa berat sekali? Kau ini gadis atau kuli angkat junjung? Berat sekali ." Omel Abi untuk menutupi rasa canggungnya.
"Maaf."
"Maaf saja mana cukup?"
Rahang Naya mengeras. "Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Naya dengan nada kesal.
"Aku tidak yakin gadis lemah sepertimu bisa melakukan sesuatu. Lupakan saja, aku tidak ingin menyiksa anak orang."
"Dasar!" Gumam Naya.
"Apa kau bilang?"
"Apa? Aku tidak bilang apa-apa."
Abi melihat dirinya yang nampak kotor, kemeja putih yang ia kenakan begitu kotor. Sebenarnya ia mempunyai baju ganti tapi ada dalam mobil, memang mobilnya terparkir tidak terlalu jauh tapi hujan begitu deras. Ia bisa
basah kuyup begitu sampai di mobil. Abi juga tidak bisa minta tolong kepada satpam, karena orangnya entah pergi kemana. Abi mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai payung. Abi menemukannya.
Abi nampak berpikir keras, ia biaa saja pergi sekarang tapi bagaimana dengan Naya? Bagaimana jika petir dan gemuruh terjadi lagi? Abi ingin mengantarnya tapi Ia tidak bisa terlalu baik kepada Naya. Abi tidak ingin melibatkan Naya dalam bahaya. Abi menimbang keputusan yang akan ia ambil.
"Aku menemukan payung, tapi hanya satu. Apa kau akan ikut denganku? Aku bisa beramal untuk mengantarmu." kata Abi dengan suara datar.
Apa aku tidak salah dengar? Sekarang pria ini menawarkan diri untuk mengantarku? Hah, aneh sekali.
"Jangan salah paham. Aku hanya beramal. Aku tidak ingin disalahkan jika kau sampai mati ketakutan di pos penjaga ini."
"Aku tetap disini sampai hujan reda."
"Keras kepala" gumam Abi lirih.
Abi tidak bertanya lagi, ia pergi meninggalkan Naya seorang diri. Terserah dia mau pingsan jika ada petir lagi. Abi masuk di bawah hujan.
Sesaat kemudian Abi sampai di tempat parkir. Abi hendak membuka pintu mobil saat kilatan yang cukup besar membelah langit. Abi melepas payung yangbia genggam, ia berlari secepat mungkin ke arah pos penjaga. Gemuruh yang menggelegar mengiringi langkah kakinya dalam berlari.
Abi basah kuyup ketika sampai di ambang pintu pos. Abi melihat Naya sudah pingsan, terkulai lemas di atas lantai.