Naya berkata dalam hati, ini tidak benar. Dia pasti berbohong. Aku yakin dia adalah Abi.
"Jangan berbohong lagi. Aku tau kamu Abi. Kenapa kau menghindari aku terus? Apa salahku?" Naya penasaran.
Naya terus menuntut agar Abi mengaku, karena ini cukup beralasan. Kalau dipir lagi, untuk apa Abimanyu Mahardika datang ke SMA Nusantara jika dia bukan Abi.
"Aku tidak tau apa yang kamu bicarakan. Dasar gadis aneh." ucapnya sambil lalu.
"Tunggu, aku belum selesai. Abi, kita harus bicara." kata Naya dengan Tubuh yang mulai bergetar.
"Lepas!" Abi mengibaskan tangan Naya. "Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Aku tidak mengenalmu, jadi aku harap kau tidak menggangguku lagi. Jangan sok mengenalku," Abi memperlihatkan wajah kesalnya lalu pergi begitu saja.
Naya hanya mampu menatap kepergian Abi. Menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Hujan turun juga. Tetesan air hujan semakin deras seolah mewakili perasaan Naya yang sedang tak menentu.
Hujan selalu punya alasan kenapa ia jatuh, tapi aku tidak punya alasan mengapa hatiku jatuh kepada kamu. Meski rasa ini sedikit menyakitkan karena tiada yang menyambut tapi Aku akan terus bertahan hingga mendapat kepastian.
Naya menahan air matanya, ia tidak ingin ada tangis hari ini. Meski ia kecewa akan sikap Abi tapi ia yakin, Abi pasti punya alasan kenapa dirinya bersikap seperti itu. Aku akan membuktikan jika dugaanku benar. Akan aku buktikan jika Abimanyu Mahardika adalah Abi yang dulu, pemuda semourna yang aku kagumi. Aku hanya mampu menunggu dan terus merindukanmu.
Naya menatap langit yang masih menjatuhkan butiran air hujan.
Aku merindukanmu seperti bumi memandang awan, dengan kata paling rahasia ia mendoakanmu menjadi hujan.
Aku titipkan rindu ini pada langit untuk disampaikan kepada mu lewat hujan. Hujan dan kamu adalah rindu. Kita kan menikmatinya dalam senja-senja beranjak pulang. Dalam rasa sayang yang tak akan pernah hilang. Bahkan saat hujan telah berhenti.
Kepada hujan yang menjamah bumi, dinginmu tak kunjung usai, meski kau telah berlalu. Seperti rinduku, pada seseorang, yang hanya diam. Dari aku, yang belum lelah merindu. Sebab langit-Nya adalah candu. Terang membawa riang, dan hujan membawa rindu yang tak berkesudahan.
Aku menyampaikan rindu lewat hujan, dan dia mewakili perasaan lewat tetesan. Sederas apapun ia turun, semenakutkan apapun ia turun, sesakit apapun ia turun, hujan tetaplah air yang akan selalau menghadirkan suatu kenangan dan kelembutan.
Seperti hujan adalah kamu. Rindu adalah gerimis yang melebat. Mengalitkan kamu ke dalam anganku. Selalu, dan tiba-tiba.
Naya memutuskan untuk melanjutka berkeliling sekolah sambil menunghu huja reda agar dirinya bisa pulang ke Asrama. Naya menyusuri tempat-tempat favouritnya di sekolah tersebut.
Naya menatap bangku kayu di depan kelasnya. Itu masih bangku yang sama, yang dulu ia duduki bersama Abi dan Putra.
Sekilas bayanga. Masa lalu terputar kembali di kepalanya. Putra dulu sangat senang mengganggu Naya. Putra juga sering menjuluki Naya dan Abi sebagai kuyu buku. Karena hal itu Naya juga mempunyai sebutan khusus untuk Putra.
Putra selalu mengambil buku yang sedang Naya baca, dan Abi selalu membela Naya. Naya tersenyum mengingat hal itu.
Bisa nggak sih kamu tidak mengganggu orang lain!" Naya mulai kesal.
"Tidak, tanganku sangat gatal ingin mengacau jika melihat sepasang kutu buku seperti kalian ini" Putra terkekeh.
"Ya, lebih baik kutu buku dari pada kutu yang tidak tau arah hidupnya! Kembalikan nggak?" Naya mencubit pinggang Putra, karena bagian itu yang gampang dijangkau menurutnya, karena Putra lumayan tinggi, kurang lebih sama dengan Abi. Sungguh tidak sepadan dengan postur tubuh Naya yang kecil menggemaskan.
Putra baru berhenti jika Naya menggelitikinya sampai Putra minta ampun. Naya tersenyum mengingat kejadian di bangku tersebut.
Naya berjalan-jalan lagi, ia berada di depan gedung olahraga. Otomatis membuat Naya teringat dwngan pernyataan cintanya kepada Abi dan memdapat penolakan.
Waktu itu, saat acara perpisahan. Naya terlihat sangat gugup, dahinya mulai berpeluh.
"Udah nggak apa-apa, ngomong aja" katanya lagi.
"Uhm, Abi. Sebenarnya aku ingin bilang ini sejak lama, Abi itu selalu menjadi contoh dan panutan yang baik untukku, sehingga aku ingin menjadi sepertimu dan ... aku menyukaimu" dengan malu - malu akhirnya Naya menyelesaikan kalimatnya.
Abi tersenyum tipis, "Aku juga menyukaimu."
"Ah, benarkah?" Naya merasa sangat bahagia.
"Ya, aku menyukaimu. Kamu adalah sahabat terbaikku dan juga Putra" dalam hati Abi berucap maafkan aku Naya, kamu akan lebih bahagia jika tidak bersamaku.
Pernyataan cinta yang berujung menyedihkan. Semoga nanti Naya bisa menemukan belahan jiwanya agar dia tidak terluka lagi.
Naya tidak jadi menemui pak Nindyo, karena beliau tidak masuk kerja hari ini. Hujan justru semakin deras saat Naya hendak keluar dari sekolah. Naya akhirnya berteduh di pos penjaga dekat pintu gerbang, tidak disangka ia bertemu lagi dengan Abimanyu Mahardika. Suasana menjadi terasa canggung. Naya ingin berbalik dan menerobos Air hujan tapi tiba-tiba ada tangan yang menariknya masuk ke pos penjaga.
Sedikit raaa jangat menyentuh kulitnya yang mulai membeku karena dingin.
Woah ... Abi menarik tangan Naya? Kenapa? Bukankah tadi dia tidak peduli dan berkata kasar kepada Naya?