Ellen POV
Pagi hari yang cerah dan amat menyenangkan untuk pergi ke Sekolah. Aku sudah ancang-ancang untuk bersiap dan memulai hari yang indah ini dengan senang hati. Tetapi, rencana yang sudah kususun rapi, seketika buyar saat mendengar konser Mom.
"Ellen! Bangun sayang, udah siang, nih. Kamu nanti terlambat lho. Sekarang ayo cepat bangun dan bersiap!" seru Mom sembari membuka tirai jendela, membuat matahari langsung menyebarkan sinarnya memenuhi kamarku.
"Iya Mom, sebentar lagi," erangku sambil menggeliat lalu kembali memeluk guling.
"Nggak ada cerita sebentar lagi. Cepat bangun atau Mom tarik!"
Aku mendengus keras-keras. "Ellen udah bangun, Mom! Nih liat mata Ellen udah kebuka gini, kok." elakku lalu berguling kesamping.
"Mana? Masih nutup gitu matanya, kamu bilang udah kebuka. Cepat Ellen."
"Udah nih, udahhhh," ucapku sembari menyibak selimut dengan kasar lalu duduk, mengucek mataku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
"Nah gitu dong. Yaudah, Mom kebelakang dulu, mau ngelanjutin bikin sarapan buat kalian." ucap Helena, aka Mom lalu pergi meninggalkan kamarku.
Akhirnya, mau tidak mau akupun harus beranjak dari tempat tidurku untuk segera menuju kamar mandi, membasuh wajah agar rasa kantuk yang menyerangku segera meluap dan dilanjutkan dengan mandi.
Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya aku selesai dengan ritual mandi yang biasa aku lakukan. Setelahnya, aku bergegas mengganti pakaian kemudian turun kebawah untuk sarapan,
"Pagi Mom, pagi Dad." sapaku saat tiba di ruang makan, di sana sudah ada Daddy yang sibuk dengan laptop dipangkuannya sembari melahap sarapan paginya.
"Pagi Ellen, ayo sini duduk trus makan, cepetan! Keburu telat nanti kamu." perintah Mom dengan menepuk tempat duduk di sampingnya,
"Sayang, apa kamu mau kalau nanti Ayah yang mengantarkanmu ke sekolah?" tawarnya setelah menutup laptopnya dan menatapku.
"Sure thing, memangnya mau siapa lagi yang bakalan antar Ellen ke sekolah kalau bukan Daddy?"
"Loh, kan biasanya Jill nyamperin kamu buat berangkat ke sekolah bareng, Ell." timpal Mom
"Iya Mom, kan kadang-kadang doang, dan nggak setiap hari juga. Kasihan Jill kalau setiap hari nyamperin Ellen, Mom tau sendiri kalau dia harus putar balik kalau mau jemput Ellen." jawabku dengan malas,
"Kalian lagi bertengkar ya?" selidik Mom sembari memberiku segelas air,
"Nggak kok, nggak." jawabku cepat dengan menggelengkan kepala, "Trus apa kalau bukan lagi bertengkar? Kok sekarang Jill jarang kesini, itu kenapa coba?"
Kuembuskan napasku sebelum menjawab Mom. "Jill kan sibuk, dia hidup itu waktunya gak cuma buat Ellen aja, kan? Ada keluarga, sahabat, dan ekskulnya juga. Waktunya dibagi-bagi." Mendengar jawabanku, dahi Mom mengernyit, dan ini pertanda kalau Mom meragukan kalimat yang baru saja aku ucapkan.
"Jugaan kan Mom tahu kalau Jill itu kapten futsal di Sekolah, makanya dia super sibuk, apalagi sebentar lagi mau ada lomba antar sekolah, pasti dia ambil peran banyak di bidang itu," tambahku lalu kembali melahap sepotong roti yang baru saja Mom berikan.
"Ooh," Mom mengangguk, bibirnya menipis sampai membentuk seperti garis lurus.
"Sudahlah, Helena. Kenapa malah membahas Jill sih, nanti tanyain sendiri aja sama orang yang bersangkutan, pasti nanti anaknya main kerumah kok." tukas Dad.
"Iya tu Dad. Mom kepo melulu soal aku sama Jill," aduku dengan nada yang kubuat sejelek mungkin, agar Mom tahu kalau aku sedang tidak mood untuk membahas hal ini sekarang.
"Mom cuma ngawasin kamu sayang, Mom takut kalau kamu ada apa-apa sama Jill. Jugaan, Mom itu sudah mengenal Jill dari dia kecil, jadi Mom paham gimana sifat dia." Setelah bilang begitu, lalu Mom memegang tanganku, "Kamu tahukan kalau Tante Lena itu sama Mom sudah berteman sedari kecil?" Aku mengangguk.
"Dulu itu, niatnya sih kami pengin jodohin kalian berdua saat kalian besar nanti. Tapi, pas Mom baru mau bilang tentang perjodohan kamu sama Jill, malah kamu sendiri yang ngenalin Jill ke Mom sebagai pacar kamu. Disitu Mommy makin seneng deh, dan gak perlu repot repot buat ngenalin kalian kalau udah saling kenal gitu." terangnya panjang lebar.
Aku mengernyit. Sebentar, perjodohan? Kok nggak ada yang bilang apapun perihal satu ini, sih? Lalu—
"Sudahlah Helena sayang, tidak akan selesai nanti kalau kamu tidak berhenti membicarakan tentang itu. Kalau mau membahas tentang itu, nanti saja. Dan Ellen, kalau kamu mau bertanya perihal perjodohan, Dad peringatkan untuk bertanya setelah pulang dari sekolah, sudah jam setengah tujuh, buruan! Dad akan ada pertemuan penting dengan klien pagi ini."
Aku berdiri dan memakai tasku, "Baruu aja Ellen mau buka mulut buat tanya, sama Dad malah nggak boleh, ngeselin ih!"
"Yaudah gih sana berangkat, keburu telat loh nanti," timpal Mom yang tengah menyantap makanannya.
"Iya Mom, Ellen berangkat dulu ya, bye Mommy." pamitku kemudian mencium tangan Mom lalu berlari, buru-buru masuk ke mobil, karena sedari tadi Dad terus saja menyuarakan klakson berisik miliknya.
Tepat saat aku sudah mendudukkan diriku, tiba-tiba Dad keluar dari mobil dan memeluk Mom yang ternyata sudah berada di depan pintu,
"Sayang, aku berangkat."
"Loh? Kenapa tadi nggak sekalian, sih?" gerutuku pelan.
Disana, keduanya masih berpelukan. "Iya Adam sayang, hati-hati ya kalau membawa mobil.'' balas Mom, dan setelah Mom mencium tangan Dad, Dad kembali masuk kedalam mobil. Keduanya dari mereka melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meninggalkan pekarangan rumah.
- - - - - - -
Istirahat kali ini, aku dan juga teman-temanku memilih untuk menghabiskannya di Kantin Sekolah. Seperti biasa, untuk mengobati rasa lapar juga lelah setelah diberi asupan pelajaran yang kali ini super menyenangkan hati, Matematika.
"Sumpah ya, ni cacing di perut dari tadi demo mulu tanpa peduli tempat, laper banget dah." keluh Vinna, tangannya sedari tadi sudah memeluk perutnya.
"Kamu kayaknya memang udah doyan makan dari sananya deh, Vin," timpal Salsa yang diangguki olehku dan juga Nichole.
"So, mau order apani kalian?" tambah Salsa, saat kulihat, bahkan tangannya sudah memegang kertas menu yang entah sejak kapan.
"Bakso super plus plus large," jawab Vinna dengan cengengesannya, Salsa hanya memutar bola matanya malas, tetapi juga tak enggan mencatat pesanan Vinna.
"Kalo kalian berdua?" tunjuk Salsa kearahku dan Nichole.
"Nasi goreng aja dua," ucap Nichole, Salsa mengernyit, "Dua?" tanyanya memastikan, "Iya, Sals, dua sama aku kok." balasku dengan menurunkan tangan Salsa yang menunjuk wajah Nichole.
"Ya kali dua porsi mau dimakan sendiri, aku bukan Vinna ya, yang sekali makan habis dua porsi atau bahkan bisa lebih," Nichole tertawa, begitu juga yang lainnya.
"Kan? Jadi aku lagi yang kena, suka banget sih kalian pada ngeledek aku." Bibirnya dikecurutkan. Kalau wajahnya seperti ini, Vinna dua kali lebih terlihat manis dari biasanya.
"Yaampun Vin, becanda kali, jangan ngambek gitu lah, cepet mati nanti kalo ngambekan mulu," Lalu, Salsa berdeham. "Trus minumnya apaan ni?" tanyanya untuk mengalihkan perhatian.
"Samain aja deh sama yang kamu pesen, Sals." ucap kami bersamaan, seketika kami menatap satu sama lain, kemudian tertawa lagi.
"Okedeh, wait ya, teman-temanku yang terhormat." ucap Salsa kemudian menghilang dikerumunan siswa yang tengah mengantri di depan Bu kantin.
Inilah yang kami sukai dari Salsa Delanova, satu satunya diantara kami yang paling rela untuk berdesak-desakan demi memesankan pesanan untuk sahabatnya.
________
Bel pertanda istirahat ketiga pun berbunyi, seperti biasa, di jam istirahat selalu kami habiskan untuk ke Kantin, apalagi setelah merasakan pelajaran Ekonomi, pelajaran yang harus menggunakan otak super kuat, dan yang mengajar pun termasuk guru killer di sekolah ini. Jadi, rasa laper diperutku menjadi meningkat 100.000%
"Kuy ke Kantin, laper nih." ajakku saat teman-temanku tengah sibuk mengobrol,
"Tumben yang ngajak ke kantin si Ellen, dimana si Vinna? Biasanya dia yang ngajak, maksa pula." ejek Nichole, yang lainnya tertawa.
"Hei girls, hayo pada ngapain? Pasti lagi ngomongin cewek cantik inikan? Aduh, ntar aja deh, capek nih abis pelajaran Bu Nia," keluh Vinna yang tiba-tiba datang dengan napas tersengal.
"Dah udah, ayo berangkat." seru Salsa sembari menarik tangan kami bertiga.
Akhirnya, kami untuk pergi ke kantin, berjalan sembari tertawa tidak jelas karena hasil lawakan super garing dari Vinna, perempuan satu itu sedari tadi sibuk mengeluh. Entah itu tentang sekolah, rumah dan masih banyak lagi.
Dan saat kami sampai, tanpa menunggu lama, Vinna langsung mengambil buku menu dan memesan pesanannya terlebih dahulu, lalu diikuti oleh kami.
Tidak berselang waktu yang lama, Jill pun datang ke kantin bersama teman-temannya.
"Hai babe," sapanya padaku begitu dia sampai dan langsung duduk persis disampingku.
Aku mengamati dirinya sebentar sebelum membalas sapaannya. "Hai," jawabku sembari berusaha untuk mengeluarkan senyuman termanis yang kumiliki.
"Udah, jangan senyum gitu terus, aku cium nanti kamu disini," bisiknya sembari mengusap pelan rambutku
"Ihhh dasar mesum kamu, makin hari ngomongnya makin kesitu," jawabku dengan mengerucutkan bibir.
Jill menegakkan punggunya, tangannya sudah merangkul pundakku. "Hei, kenapa kalian pada liatin pacar gue sih? Oh, HEH! Berani senggol dikit aja, gue bacok ya lu!" Aaric, lelaki itu tertawa saat Jill berkata kasar seperti itu.
Aku melotot dan menatap Jill, belum saja aku membuka mulutku, jari telunjuknya ditempatkan tepat di depan bibirku. Menyuruhku untuk tidak mengatakan apapun.
"Lu pada nungguin apa? Yaudah sana pesen duluan aja, gue masih mau ngobrol sama Ellen," ucap Jill pada teman-temannya, tangannya masih setia di atas pundakku.
Kalau boleh dikata, sebenarnya pundakku sedikit pegal karena beratnya tangan Jill yang bertumpu.
"Siap Boss!" seru teman-temannya dengan bersamaan, dan Jill hanya mengangguk menanggapinya.
"Ell, nanti pulangnya bar—" ucapan Jill ter potong karena,
"Pesanan datang!" teriak Salsa, dia membawa nampan besar berisi makanan pesanan kami,
"Ishh, lu gak bisa apa gak pakek teriak segala, Sal? Ganggu aja sih lu kerjaannya, baru aja mau ngomong, udah asal lu potong nih omongan gue." protes Jill,
"Suka-suka gue dong, mulut mulut siapa? Mulut gue kan? Yaudah lu diem aja Marjuki! Sana minggir, lu sama temen-temen lu tu yang ganggu kami orang," elak Salsa, setelah meletakkan nampan berisi makanan, ia berkacak pinggang.
"Udah sih, kalian kaya anak kecil aja, dikit-dikit berantem. Yaudah Jill, aku mau makan dulu. Kasian itu temen-temen kamu, pasti merema udah nungguin kamu, mau minta di bayarin pasti," ucapku lalu menunjuk teman-teman Jill yang kebetulan tengah menatap dimana kami duduk,
"Semerdeka lo lah, Sal. Bye babe, oh iya, nanti pulang bareng ya?" tanyanya, senyumnya sudah mengembang saat aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban.
"Iya Jill sayang, kaya gak biasanya aja pakek tanya segala!"
Pertanyaan Jill yang menjawab bukan aku, melainkan si Vinna. Jill, dia mengacungkan jari tengahnya pada Vinna, perbuatannya itu berhasil membuatku tertawa seketika.
*
"Udah bel ni, kuy balik." ajak Nichole setelah kami selesai dengan urusan makan,
"Yuk!" jawab Salsa cepat, "Mana lagi abis ini jam Bu Nia masih ada, lagi. Hadeuh, bikin laper lagi pasti pelajarannya." keluh Vinna, aku hanya menggeleng mendengarnya.
"Ih, kerjaan kamu ngeluh ngeluh dan ngeluh terus sih, Vin. Padahal dulu itu kamu gak kaya gitu loh. Dulu, kamu itu yang paling tanggap sama benda yang namanya bel. Nah kalo sekarang? Kerjaan kamu malah ngeluh terus tiada henti,"
Aku mengangguk, "Coba mana semangat kamu dulu pas masih kelas sepuluh, Davinna Whitelaw? Coba nih ya, aku kasih tahu, yang namanya sekolah itu, kamu cuma disuruh buat nurut aja sama yang namanya peraturan, ikutin aja alur sekolahnya, dijamin lurus hidup kamu kalo ngikutin prinsipku."
"Iya deh ampun, ampun Tuan Putri, jangan ceramahi Hayati lagi, rombeng nih gendang telinga." ucap Vinna dengan mimik wajah yang memelas. Aku dan Nichole hanya terkekeh geli karena sahabat kami ini yang kerjanya selalu bertengkar.
- - - - -
Dentingan bel membuat aku, Dad dan juga Mom yang sedang berkumpul sembari menonton film di ruang keluarga, mengalihkan perhatian dari televisi sejenak.
"Coba kamu buka pintunya sayang, ada tamu tuh kayaknya." Mom bersuara lebih dulu, aku mengangguk kemudian beranjak untuk membukakan pintu.
"Halo sayang," sapa seorang laki-laki yang amat sangat kukenal, senyumnya mengembang saat pintu sudah terbuka lebar.
"Oh, hai Jill, ayo masuk." Kubalas senyumannya, "Didalam ada siapa?" tanyanya dengan nada di buat-buat agar terdengar lebih menggoda.
Aku tertawa mendengarnya, "Ya ada Mom sama Dad lah, Jill. Siapa lagi coba memangnya?" jawabku dengan memutar bola mataku malas,
"Ya kirain cuma kamu doang, babe." ucapnya kemudian mencubit lenganku pelan,
"Emang kenapa kalo cuma aku doang?" tukasku lalu mengusap lengan yang bekas cubitan Jill,
"Biar kita bisa mesra-mesraan lah, apalagi coba?" jawab Jill dengan menaikkan turunkan alisnya.
"Ihhhh, modus mulu lu ah!" Aku tertawa lalu menutup pintu.
"Apaaa?" tanyanya dengan bersedekap dada dihadapanku,
"Iya iya, kamu. Maaf sih. Sensi amat sama sebutan lu dari aku. Yang lainnya bilang gitu aja nggak kamu marahin kan?" ucapku sembari mencubit pipi laki-laki yang menggemaskan ini.
"Karena kamu itu spesial, nggak cocok kata 'lu' keluar dari mulut manismu."
"Udah ah, ayo masuk, Mom sama Dad pasti udah nungguin tuh di dalem," Setelah bilang begitu, kutarik tangannya untuk masuk kedalam.
"Ayo deh, ayo." Kami pun segera menuju ruang dimana Mom juga Dad berada.
"Hai Ayah dan Mama mertuaaa," sapa Jill dengan heboh pada kedua orangtuaku saat kami tengah berjalan menuju ke ruang keluarga.
Dan apa yang bisa kulakukan selain menggeleng gelengkan kepala?
"Halo menantuku, rupanya kamu sudah datang, sekarang jarang kesini ya kamu," seru Mom yang tak kalah heboh, bahkan Mom sudah merentangkan kedua tangannya untuk meminta Jill masuk kepelukannya.
"Hehe, iya Ma, banyak tugas soalnya. Jadi gak bisa leluasa main kesini, maafin Jill ya?" ucapnya dengan menyambut rentangan tangan Mom, mereka berpelukan cukup lama.
"Sudah lama rasanya kamu tidak berkunjung kemari, Nak." sambut Dad yang juga merentangkan tangannya pada Jill.
Sesayang itu memang kedua orangtuaku pada Jill Sanders.
"Iya Yah, Jill kesini karena kangen sama anak Ayah yang cantik ini, dan nggak lupa kalau Jill memang sebenarnya mau gabung sama Aymer sama Mamer juga kok, hehe" jawab Jill disertai dengan cengengesan miliknya,
Kuserahkan barang yang dibawa Jill tadi pada Mom, setelah itu aku pun bergegas ke dapur yang sebenarnya hanya beberapa langkah dari ruangan ini untuk mengisi ulang minuman yang sudah habis.
"Wahhh, bawa apaan nih Jill kamu?" tanya Mom yang masih bisa kudengar dengan jelas sembari menggoyang goyangkan paper bag.
"Cuma cemilan doang kok Ma," balasnya kemudian duduk di samping Mom,
"Kebiasaan nih anak, kalo kesini pasti repot-repot bawain cemilan atau barang barang lainnya." Dad mengeluh, tetapi tak enggan untuk melihat isi dari paper bag yang dibawa oleh Jill.
"Sama sekali nggak ngerepotin Jill kok, Yah. Lagian kan, sebentar lagi Jill bakal jadi Menantu sah Ayah, ya kan?"
Mom dan juga Dad mengangguk, tangannya berada di depan mulut masing-masing, menahan tawa yang kurasa sebenarnya ingin mereka muntahkan, tetapi takut membuat Jill tersinggung. Lalu Mom berdeham sebelum kembali berbicara pada Jill.
"Iya Jill, tapikan Ayah sama Mama sudah mangatakan padamu kalau kamu mau kesini, gak perlu repot-repot bawa apapun, kami masih punya stok cemilan banyak kok. Jangan lagi ya?"
Jill mengangguk, saat dia hendak membuka mulutnya, dengan cepat kupotong terlebih dahulu. "Iya nih Dad, padahal Ellen juga udah bilang sama Jill, kalo dia dateng kesini gak perlu tuh buat bawa apapun,"
"Aku aja gak ngerasa di repotin kok Ellen sayang. Lagian, aku bawa itu juga biar aku tambah deket sama calon Aymer juga Mamer,"
"Kamu nggak bawa itupun sudah dekat dengan kami kok, Jill." sela Mom,
Jill tersenyum sebentar kemudian
menatapku, "Jill bawanya juga sebagai tanda minta maaf kok, karena Jill sudah lama gak main kesini," jelasnya. Wajahnya menampilkan senyum termanis, dan sedetik kemudian, ia kembali menatap diriku lama, begitu juga dengan diriku.
"Ya Tuhan, melihat Jill tersenyum tulus seperti ini, rasanya ketampanan yang ada padanya bertambah 1000 kali lipat dari biasanya. Kumohon jaga dia untukku Tuhan-ku sayang, aku sangat menyanginya." batinku.
"EKHEM," Dad berdeham cukup keras hingga membuyarkan semua lamunanku yang tengah hanyut menatap Jill. Jill yang terkejut, kemudian tertawa saat melihatku mendesis pada Dad.
"Ihh, Daddy! Kenapa sukanya gangguin Ellen sih!" omelku lalu mengerucutkan bibir.
"Habis kalian saling pandang-pandangan gitu, gak sadar apa kalo masih ada Dad sama Mom di samping kalian?" Dad tertawa keras setelah mengatakan itu, dan ini membuatku semakin kesal padanya.
Aku mendesis sebentar, lalu memilih untuk melanjutkan acara menonton film yang tadi sempat tertunda, dan keadaan pun menjadi hening seketika. Hanya ada suara dari film yang di putar, juga suara kunyahan cemilan masing masing.
Setelah acara menonton film selesai, Mom mengajakku memasak untuk acara makan bersama.
"Jadi bagaimana, kalian akan melanjutkan hubungan kalian kejenjang yang lebih serius bukan?"
Aku, Jill dan juga Mom yang sedang asyik menyantap makanan pun tersedak bersamaan setelah mendengar ucapan Dad. Lalu, kami pun serempak menoleh kearahnya.
◍ ◍ ◍ ◍
To be continued
With Love♡
_Navishaa_