Chereads / My Perfect Boss / Chapter 3 - Part 3 °° Ask (?)

Chapter 3 - Part 3 °° Ask (?)

"Jadi bagaimana, kalian akan melanjutkan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius bukan?"

Aku, Jill dan juga Mom yang sedang asyik menyantap makanan pun tersedak bersamaan setelah mendengar ucapan Dad. Lalu, kami pun serempak menoleh kearahnya.

"Tentu saja Adam, benar begitu bukan, Jill, Ell?" sergah Mom dengan cepat,

"Benar Yah, kami pasti akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius jika Ellen sudah siap. Benarkan, Ell?" jawab Jill, tangannya bahkan sudah menggenggam tanganku.

"Kapankah itu akan terjadi, Nak?" Dad, dia sudah menumpukan dagunya diatas kepalan tangannya,

Mommy berdecak, "Kenapa kau seolah-olah tidak sabar untuk melihat putri kita menikah, sayang?" katanya lalu menggeleng pelan. "Ada apa tiba-tiba kau bertanya soap ini?"

"Tidak ada. Hanya saja, aku ingin memastikan kalau Ellen bahagia dengan keputusannya. Keputusan dimana dia akan menikah di usia yang terbilang masih sangat muda, Helena." balas Dad, dia meraih tangan Mom dan menciumnya sekilas.

"Yang Dad maksudkan benar Mom, pasti sebagai seorang Ayah, Dad hanya ingin memastikan putrinya bahagia dengan keputusanku. Dan ya, Ellen sudah yakin kok dengan keputusan Ellen sendiri. Jadi, kalian tidak perlu mencemaskan Ellen dan juga Jill. We are fine," Setelah bilang begitu, aku membalas genggaman tangan Jill. Dan perlakuanku tersebut, berhasil membuatnya tersenyum.

"Kalau Ayah dan Mama bertanya soal kapan kami akan menikah, kurasa itu masih lama. Atau, kita bisa melakukannya setelah lulus dari sekolah?" Jill mengerling padaku, Mom dan Dad tertawa setelahnya.

Mom berdeham, "Apa kalian tidak berniat untuk melanjutkan ke Universitas, Kids?" Mom bertanya sambil membenahkan tempat duduknya agar lebih dekat dengan Dad.

"Siapa yang mengatakan itu, Mom? Tentu saja Ellen dan juga Jill akan melanjutkan sekolah kami. Mungkin, kami bisa melanjutkannya di negeri tetangga kalau Mom dan Dad memberi izin,"

Dad menaikkan sebelah alisnya, dia pasti bingung dengan apa yang aku katakan. Karena sebenarnya, aku pun sama sekali belum memberitahu rencana yang sudah diriku susun bersama Jill tentang kelanjutan setelah sekolah kami pada mereka.

"Dan Jill sudah sepakat tentang ini, kami juga sudah membicarakan hal ini jauh jauh hari kok," lanjutku.

"Wahhh, baguslah kalau begitu Nak, Mom kira kalian lupa dengan sekolah setelah mengingat hubungan kalian sudah sejauh ini," goda Mom dengan mencubit lenganku.

"Tentu saja tidak Mom, ada-ada saja Mom ini. Begini, segila-gilanya Ellen dengan Jill atau se-pengin-penginnya Ellen ingin menikah sama Jill, pasti Ellen masih ingat sama sekolah kok, benar begitukan, Jill?" tanyaku sembari menyenggol lengan Jill, dia tersentak sebentar sebelum tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya.

"Um, kok tanya aku? Aku juga tidak tahu apapun tentang itu. Dan memangnya, sejak kapan kamu tergila gila padaku, Nona Ellen?" ledeknya yang diakhiri dengan kekehan.

Perkataannya barusan membuatku menatap dirinya tajam, dia hanya mengendikkan bahunya. Sialan!

Kualihkan pandanganku kemudian bersedekap dada, kubiarkan Mom dan juga Dad yang menertawakan kelakuan kekanak-kanakanku,

"Ya ya ya aku hanya bercanda, maafkan pacarmu yang tampan ini, sayangku." tambahnya dengan memegang kedua lenganku, sepintas dia menyentuh pipiku dan mengusapnya pelan.

Wajahnya mendekat, dan itu membuatku panik. Karena, kukira dia akan melakukan hal yang tidak-tidak dihadapan Mom dan juga Dad. Dan setelah ini, pasti Mom beranggapan kalau aku dan juga Jill menjalin hubungan yang tidak sehat.

Tapi, dugaanku salah, dia mendekat ketelingaku kemudian berbisik, "Andai saja kalau disini tidak ada Mama ataupun Ayah, pasti sedari tadi aku sudah menciummu." katanya yang diakhiri dengan tawaan. Lali, kupukul dadanya sampai dia mengaduh sakit.

Apa yang bisa Mom dan Dad selain tertawa dan menggeleng gelengkan kepalanya ketika melihat apa yang sedang kami lakukan?

- - - - - -

Sepulang dari sekolah, Jill mengajakku untuk menyaksikan pemandangan melalui kamarku. Awalnya Jill menyarankan untuk melihat melalui balik jendela saja. Namun akhirnya, kami memilih untuk duduk diatas balkon dan menyaksikan betapa indahnya karya tangan Tuhan ini.

"Thanks, babe." ucapku tiba-tiba sembari mengusap tangan Jill. Mencari kehangatan ditengah udara yang berhembus semakin kencang.

Jill mengubah posisinya untuk menghadap diriku, alisnya berkerut. "For what?" tanyanya.

Aku tersenyum dan semakin gencar mengusap-usapkan telapak tangan kami berdua, lalu menunduk. "Because you accompanied me, when i needed you." Setelahnya, kudongakkan pandanganku untuk melihat bagaimana responnya.

Jill tertawa, kemudian dia menarikku untuk bergabung dipelukannya. Nah, ini yang aku butuhkan disaat keadaan dingin seperti ini!

Pelukannya semakin mengerat. Sekarang, dia sudah mengusap rambutku dan menciuminya beberapa kali sebelum membalas ucapanku.

Aku bersandar di dadanya, kurasakan kalau dia menggeleng, "Apa yang kau katakan, sayangku? Sudah seharusnya aku menemanimu kemana pun dan kapan pun kau mau. Dan kau, tidak perlu lagi bertanya tentang alasannya. Hm?"

Dia menghembuskan napasnya, tepat diatas kepalaku. "Cause you're my girlfriend, sweetheart. And soon, I'll be yours, forever. Apakah alasan itu cukup untuk menjawab pernyataanmu, Ell?"

Aku mengangguk, "Tentu saja, Jill. Kurasa, sekarang aku telah menjadi orang yang paling bahagia pada hari ini, dan itu semua karena dirimu yang sudah memperlakukan diriku sebaik yang kamu bisa."

Jill mengendurkan pelukannya, tangannya sudah kembali mengusap pipiku, membuatku terbuai karena sifat lembutnya selama ini, "Benarkah? Dengan alasan apa kau mengatakan kalau kau telah menjadi perempuan yang paling bahagia pada hari ini?"

Kupegang tangannya yang menyentuh pipiku, lalu kucium punggung tangannya. "I told you, Jill Sanders. You're the reason of my happiness. And honestly, you're my mood booster when I feel so bad."

Kulepaskan tangan Jill lalu bergerak untuk mencium pipi Jill sekilas, kemudian kembali menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang.

Tiba-tiba Jill tertawa, "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau mulai pandai menggodaku, Nona?"

Kuendikkan bahuku, "Entahlah, aku juga tidak tahu sejak kapan." Kukedipkan sebelah mataku padanya, lalu dia menyentil dahiku. Kemudian kami kembali tertawa dan terdiam lagi setelahnya,

*

"Jill?" panggilku saat menyadari kalau kami berdua sudah terdiam cukup lama.

"Hm?" gumamnya lalu dia menatapku, seolah tengah menunggu apa yang akan aku katakan setelah ini. Kuembuskan napasku, bersiap untuk bertanya perihal banyak hal yang sebenarnya sudah lama mengganjal didalam sini. "Apa kau mencintaiku, Jill?"

Pertanyaan bodoh! Kenapa dari sekian pertanyaan yang bersarang dikepalaku malah pertanyaan konyol ini yang meluncur begitu saja dari bibirku, sih!

Sebenarnya, ini adalah pertanyaan yang paling sering keluar dikepalaku. Memang, ada perasaan lega saat pertanyaan bodoh ini keluar begitu saja.

Tetapi, apakah pertanyaan ini layak untuk dipertanyakan setelah waktu dua tahun yang selama ini aku dan Jill habiskan bersama?

Sejujurnya, aku hanya berusaha meyakinkan diriku kalau aku dan juga Jill, memiliki pemikiran dan juga tujuan yang sama. Menikah, itu saja. Tidak lebih.

Terlepas tersinggung atau tidaknya dirinya mengenai pertanyaan ini, akan aku urus setelah dia menjawab. Kuberanikan diriku untuk menatap dirinya,

Napasnya memburu saat pandangan kami bertemu, "What the hell? Apa maksud dari dirimu yang menanyakan tentang hal itu, Ell?"

Benar, apa maksud dari diriku bertanya tentang hal ini padanya?

- - - - -

To be continued