Menangis,
Hal itu yang sedang aku lakukan saat ini. Berbaring dengan memeluk bantalku erat-erat. Dan juga, lelehan air mata yang sedari tadi sudah menemaniku.
"Apa yang terjadi dengan diriku sebenarnya? Kenapa aku terus saja menangis jika teringat dengan Jill? Kejadian ini bahkan sudah lima tahun lamanya. Dimana, saat dulu dia datang untuk melamarku agar menjadi pengantin wanitanya. Tetapi, kenapa aku masih saja bisa mengingat kejadian pahit lima tahun yang lalu?"
Kuusap mataku kasar kasar, kupukul bantal yang berada dipelukanku, kutendang udara keras keras. Sudah kuhiraukan derit berisik ranjang karena tingkahku sedari tadi.
Aku berdiri, niatku untuk membasuh wajahku dikamar mandi terhenti saat melihat cermin besar dihadapanku.
Dan, wow!
"Saat ini coba lihatlah penampilan bodohmu, wahai Ellen. Kau benar benar terlihat kacau. You look messed up gurl, kau sudah seperti bukan dirimu lagi. Dimana Ellen yang dulu? Ellen yang selalu terlihat ceria ketika bertatapan dengan cermin, dimana dia?"
Bolehkah kita menertawai diri kita sendiri? Karena itu satu satunya hal yang sangat ingin aku lakukan sekarang.
Pantulan bayanganku di cermin seolah mengatakan, "Coba perhatikan dengan seksama cermin besar yang terpampang jelas dihadapanmu. Ayolah, Ellen! Lupakan Jill, lupakan dia! Kau yang mengatakan sendiri padaku kalau kau membencinya bukan? Maka dari itu, cobalah untuk lupakanlah dirinya!"
Kutarik napasku dalam-dalam dan kembali mengamati betapa buruknya keadaanku sekarang.
Bagaimana bisa aku selalu bersikap bodoh dalam lima tahun belakangan ini? Baiklah, akan kuberitahu pada kalian kalau hari ini adalah hari dimana aku dan Jill menjadi kami.
Ya! Dulu, aku benar-benar senang saat mengingat hari indahku ini. Tapi, itu hanyalah dulu, jauh sebelum semuanya menjadi hari yang paling buruk untukku.
Sekarang, jika hari ini datang seiring dengan berjalannya waktu, yang akan kulakukan hanyalah mengurung diriku dikamar sembari melihat foto-fotoku dulu saat masih bisa bersama Jill.
Dulu, kami masih bisa tertawa, berpelukan, bertukar cerita, bersedih, menghabiskan banyak waktu dan hal-hal yang lain bersama. Sekarang, itu hanyalah tinggal kenangan. Sama seperti halnya foto yang sedang kupandangi sedari tadi.
Tertawa sendiri, melamun, bahkan berbicara sendiri sampai kembali menangis, itu adalah hal yang rutin aku lakukan disetiap tanggal 22 di bulan oktober.
Saat mataku tidak sengaja menangkap fotoku bersama Jill yang terbingkai rapih diujung ranjang, seketika aku ingat kapan foto ini diambil. Dan yang memotret ini adalah Nichole, foto ini diambil olehnya saat pernikahanku dan Jill akan dilaksanakan dengan kurun waktu yang kurang dari dua bulan lagi.
Perlahan, kuusap sosok Jill yang berada difoto tersebut. Lalu, bibirku kembali terbuka dan menyuarakan apa yang ada didalam pikiran serta kepalaku.
"Hey Jill, apa kau ingat kalau kau pernah berpose seakan akan kau akan menciumku waktu itu? Saat itu, kita butuh waktu lebih dari satu jam untuk membuat foto agar bisa mendapat hasil yang sesempurna ini,"
Ingusku kembali menghalangi saluran pernapasanku, setelah kubersit, kembali kulanjutkan. "Tetapi, semua itu tidak kau lakukan, cause you said if you want to take my second kiss after we married,"
Kurasa, aku sudah mulai berhalusinasi lagi, karena tiba-tiba aku kembali melihat sosok Jill dihadapanku. Seketika amarahku memuncak karena kehadirannya. Dia berdiri persis dihadapanku, pandangannya sayu menatap diriku.
"Apa yang kau lakukan disini, Jill? Kenapa kau selalu datang dengan tiba-tiba dan kembali meninggalkanku seenak jidatmu sendiri? Apa kau tidak tahu kalau aku akan menjadi perempuan paling kacau seperti saat ini jika teringat padamu, heh?"
Jill tersenyum, pipinya memerah, bibirnya ia sunggingkan lebar lebar sampai gigi bagian depannya terlihat. Tetapi dia diam, tidak mengatakan apapun padaku.
"Aku bahkan masih sangat ingat, dimana kau mengatakan untuk pertama kalinya bahwa kau sangat mencintaiku. Kau menyatakan ketertarikanmu padaku di depan semua teman kelasku tanpa rasa malu, kenangan itu masih bisa kuingat dengan jelas. Semuanya terekam jelas diotakku, Jill."
Aku menggeleng kuat-kuat, hampir kembali terisak saat melihat dirinya semakin menyunggingkan senyumannya. "Kali ini kumohon, kembalilah padaku. Tolong pulanglah kepelukanku sekarang. Aku sudah sangat merindukanmu, sayangku. Sungguh, demi apapun aku bersumpah kalau aku menginginkan dirimu sekarang,"
Namun, pada akhirnya aku kembali menangis, kutatap lekat lekat dirinya dalam foto yang tengah kupegang. Saat kudongakkan pandanganku, tatapan kami pun kembali bertemu, seketika dia tertawa dengan keras sekali. Seakan tengah meledek atas kelemahan diriku terhadap dirinya.
Dengan marah, kulemparkan foto kami kearahnya. Seketika bayangan dirinya menghilang bersamaan dengan suara pecahnya bingkai dari foto itu. Kutarik napasku dalam dalam, kukedipkan mataku berkali-kali, berusaha mengusir air mata yang masih tergenang di pelupuk mataku.
Suara tawaan Jill masih saja terngiang jelas dipendengaranku, aku bangkit dari ranjangku dan masuk kedalam kamar mandi. Dihadapan cermin wastafel, kutatap wajahku lekat lekat.
Kantung mataku terlihat semakin membesar, hampir menutupi seluruh mataku. Ini sudah tidak bisa dinamakan sipit lagi, tetapi seperti terkena sengatan lebah. Rambutku yang acak-acakan membuatku semakin terlihat buruk, aku sendiri bahkan hampir tidak mengenali diriku sendiri.
Kubasuh wajahku beberapa kali dan mencucinya lebih dari tiga kali. Kucoba untuk merapihkan rambutku yang berantakan tadi, walau sempat hampir putus asa karena saking kusutnya. Dan akhirnya, setelah bekerja keras aku berhasil membuatnya terlihat seperti rambut manusia lagi,
"Kau harus kuat Ellen, ayo bangunlah, mau sampai kapan kau akan begini terus? Perlahan, coba lupakan masa lalu, dan sambutlah masa depan yang sudah datang menjemputmu."
Mulai menarik kedua sudut bibirku untuk memberikan semangat. "Disini, apa yang bisa kau harapkan lagi? Apa kau berharap Jill-mu itu kembali dan berlutut dihadapanmu? Jangan bermimpi terlalu tinggi, sayang. Karena nanti kalau kau jatuh, pasti rasanya sangatlah sakit."
Kutepuk dadaku beberapa kali. Lagi, kubilas wajahku sebelum keluar dari sini. Kuharap ucapan yang baru saja kukatakan, bisa memberiku semangat untuk melanjutkan hidup tanpa mahluk yang sering dipanggil dengan nama laki-laki.
Ya, aku bisa melakukan apapun yang aku mau!
*
Satu hal yang amat sangat aku benci di dunia ini, yaitu disaat aku terlihat cengeng ataupun lemah didepan orang lain termasuk keluargaku sekalipun.
Semua orang tidak boleh tahu kalau seorang Eleanor Benoist adalah gadis yang cengeng dan rapuh. Tidak, tak satu orang pun boleh mengetahuinya kecuali dia, Jill Sanders.
Sial! Aku kembali mengingat dirinya!
Baru saja kakiku melangkah keluar dari kamar mandi, aku baru teringat kalau aku juga harus membersihkan diriku. Percuma saja sedari tadi aku membasuh wajahku kalau badanku saja bau seperti tong sampah.
Setelah selesai dengan ritual mandiku, kuputuskan untuk memakai baju tidurku. Karena setiap hari ini adalah hari terpanjang yang akan kulalui dikamar, tak seorang pun kuperbolehkan untuk mengganggu diriku. Tak seorang pun.
Setelah selesai kukenakan semuanya, kulangkahkan kakiku untuk kembali diranjangku. Perlahan membaringkan tubuhku pada tempat tidurku, adalah hal paling nikmat yang pernah aku rasakan.
Kuselimuti tubuhku hingga mencapai kepalaku, kucoba untuk kembali memejamkan mataku. Tetapi, beberapa kali pun aku mencobanya, usahaku tetap saja tidak membuahkan hasil, mataku tetap terjaga sampai satu jam kemudian.
Dan pada akhirnya, getaran dari ponsel berhasil mengusik ketenanganku. Ternyata Nichole adalah pelaku dibaliknya, kutunggu sampai panggilannya mati. Setelah memastikan panggilan darinya telah usai, kuletakkan kembali ponselku diatas nakas.
Kuubah posisiku membelakangi nakas dan kembali menarik tinggi-tinggi selimutku, hanya tinggal memejamkan mataku dan setelahnya aku akan bebas. Tetapi, sayangnya ponselku kembali bergetar. Kau sialan, Nichole!
"Halo, Chole. Ada ap—"
"Heyy Ellen, datanglah kemari, berhentilah menangis dikamarmu itu, tolong berhentilah menjadi gadis yang menyedihkan, sayang." Setelah menyapaku dengan berteriak sekenanya, dia juga mengatakan hal tadi diakhiri dengan ejekan juga tawanya.
Setelah berdeham untuk menetralkan suaraku, aku menjawabnya, "Bagaimana kau tau kalau aku sedang menangis?"
Syukurlah, suaraku terdengar normal.
"Aku ini sahabatmu, bodoh! Aku sudah mengetahui apapun tentang dirimu, dan akupun tidak akan lupa kalau hari ini adalah hari jadimu dengan Jill, kan? Kalau kau lupa, mari kuingatkan kalau kita telah bersahabat sedari zaman kita masih sekolah. Masih belum ingat lagi?"
Aku tertawa, "Ya ya ya, kau memang tau semuanya tentang diriku, kok. Aku tidak akan lupa dengan hal yang satu ini." balasku dengan memutar bola mataku malas,
"Cepat kemarilah!" Dia kembali berteriak sampai aku harus menjauhkan ponselku dan mengusap daun telingaku beberapa kali.
"Kemana?"
"Club bodoh, apa kau lupa lagi kalau setiap kau mengurung dikamarmu seharian, maka aku akan menghubungimu kemudian menyuruhmu untuk datang kemari? Ah sudahlah, cepat kemari! Aku tidak menerima bantahan apapun dari mulut manismu itu,"
Sungguh, Chole benar-benar membuatku harus menutup telingaku. Suaranya terdengar lebih ganas saat dia marah-marah seperti ini.
"Kalau aku tak mau bagaimana?" godaku sambil menahan senyumanku. Kutahan napasku dan bersiap kembali mendengar teriakan Chole dibalik panggilan.
"Kau sudah tahu apa yang akan aku lakukan jika kau menolak datang kemari, anak gadis."
"Ck, baiklah, aku akan datang dalam waktu 30 menit," Aku berdecak, lagi dan lagi Nichole berhasil membuat rutinitasku kembali gagal. Dan kalau dia sudah mulai mengancam begini, mau tidak mau aku harus datang. Atau hal memalukan akan terjadi padaku nantinya.
"Good girl," ucapnya kemudian memutuskan panggilan tanpa menunggu jawaban dariku.
• • • •
To be continued