Chereads / My Perfect Boss / Chapter 6 - Part 6 °° The Game?

Chapter 6 - Part 6 °° The Game?

Dengan berat hati aku pun kembali beranjak dari tempat tidurku. Pikirku Nichole ada benarnya juga. Daripada aku disini terus menerus, lalu cepat atau lambat aku akan kembali menangis lagi setelah merenung sembari melihat foto Jill.

Jangan. Aku tidak mau lagi. Sudah cukup untuk hari ini aku menangisnya.

Setelah menimbang-nimbangnya lagi, kuputuskan untuk segera berdiri dan segera untuk bersiap.

Dan hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk membuatku siap meluncur ke tempat yang di maksudkan oleh sahabatku, Nichole.

Sekarang, aku telah selesai bersiap dengan bajuku yang kurasa sangat kurang pantas digunakan untuk pergi ke sebuah Club.

___---___

Dan akhirnya, aku pun tiba di Club yang biasa aku serta kawan-kawanku kunjungi —khusus aku, hanya satu tahun sekali dan tidak lebih.

Dan daripada menunggu di depan pintu seperti orang bodoh, aku bergegas untuk masuk dan mencari batang hidung milik Chole dan juga yang lainnya,

Kurasa hanya butuh waktu 1 menit saja agar aku bisa menemukan di mana mereka berada. Lalu, kuayunkan langkah kakiku ke arah mereka,

"Haii," sapaku saat tiba dihadapan mereka. Aku mengernyit saat melihat ada beberapa wajah orang asing disekitar Chole, tetapi dengan cepat aku kembali menatap wajah teman-temanku.

"Hey! Lihatlah ini, Nona Ellen ternyata sudah datang," seru Salsa dengan keras hingga semua temanku berbalik dan menatapku.

Sial!

Dan aku tahu apa arti dari tatapan yang mereka lemparkan itu —mereka akan mengejekku setelah ini, karena seharian aku mengurung diriku di kamar dan tidak memperdulikan panggilan, juga pesan dari mereka.

"Oh Nona, akhirnya kau benar-benar datang kemari, kami menunggu kehadiranmu sedari tadi," ucap Nichole, dia meneguk minumannya sebelum benar-benar menatapku.

"Berhentilah seperti itu, kau tahu kalau aku pasti akan datang. Dan aku pun tahu apa yang akan kalian perbuat jika aku tidak datang seperti yang kalian inginkan." ungkapku dengan malas, sedangkan mereka tertawa setelahnya.

"Ya ya ya, aku pun tahu kalau kau akan datang. Baiklah, ayo kita lanjutkan obrolan kita. Sampai mana tadi, ya?" Chole berdeham. Dan saat dia akan membuka mulutnya, lebih dulu kusela.

"Kalian sedang membahas apa memangnya?" tanyaku bingung. Kini semua wajah disekitar sini benar-benar menatapku. Sial!

"Oh iya, aku lupa mengatakan padamu kalau aku dan Aaric akan menikah sebentar lagi," kata Vinna —Sahabatku ketika di sekolah dulu.

"Woahh, benarkah? Kenapa kalian tidak memberitahuku? Dan kapan kalian akan menikah? Sungguh, aku turut senang mendengarnya, Vin." ucapku dengan antusias,

"Aku sudah membahasnya seharian tadi di grup chat kita, kurasa kau saja yang sibuk menangisi kekasihmu itu."

Dan setelah mengatakan itu, Vinna langsung melotot kemudian menutup mulutnya. Matanya menatap diriku, kedua telapak tangannya kini sudah menyatu,

Dia pasti kelepasan,

"Sudahlah, jangan bahas Jill dihadapanku. Dan jika kalian tetap akan membahas hal itu, maka aku akan pulang dengan atau tanpa izin kalian." Di akhir kalimat, aku mencoba untuk kembali tersenyum —berusaha menganggap kalau semuanya baik-baik saja.

"Hey Ellen, berhentilah seperti itu. Coba kau cari laki-laki lain, aku yakin kalau kau akan menemukan yang lebih baik daripada Jill-mu itu." Kali ini Aaric yang berbicara, dia menatapku sembari bersedekap dada,

"Atau mau aku kenalkan pada temanku? Kebetulan aku mengajak Aaron kemari, dia pria yang baik kok, siapa tahu setelah kau berkenalan dengan Aaron, maka kau akan pergi berkencan dengannya di kemudian hari." lanjutnya dengan menaik turunkan alisnya.

Pria asing yang bersama Aaron pun menatapku begitu lama. Dan kalau boleh dikata, dengan senang hati aku akan berteriak dihadapannya bahwa aku sangat risih saat dia menatapku seperti itu.

Selang beberapa menit kemudian, dia memperkenalkan dirinya dengan mengulurkan tangannya padaku.

"Hi Nona, aku Aaron, sahabat karib Aaric Bailey." Setelah menyebutkan namanya, dia tersenyum manis padaku.

"Ellen," balasku lalu menjabat tangannya sebentar saja tanpa berniat ingin lebih berlama-lama.

"Wah nama yang cantik seperti orangnya." puji pria yang bernama Aaron itu. Aku hanya memutar bola mata dengan malas saat mendengar itu.

Dia bahkan sudah berani menggodaku dengan mengedipkan sebelah matanya dipertemuan pertama kami. Ya Tuhan! Sungguh, dia bukan tipe laki-laki idealku.

"Aaric, kenapa dia sangat cuek dan terlihat tak begitu tertarik padaku? Bukankah ketampananku di atas standard nasional, kan?" bisiknya pada Aaric yang masih bisa aku dengar walaupun samar.

"Ssstt, dia memang begitu pada semua pria yang mencoba ingin mendekatinya. Tapi, percayalah kalau dia akan sangat hangat dan cerewet bila kau sudah mengenalnya dengan baik." balas Aaric pada Aaron dengan berbisik pula.

Kenapa sih mereka bodoh sekali? Mereka ini membicarakanku seperti itu seolah aku ini tidak ada dihadapan mereka.

"Ck, tidak akan aku tertarik padanya." tukasku dalam hati.

Pria asing yang bersama Aaron kembali tersenyum padaku. Padahal, sedari tadi aku sudah mencoba untuk menunjukkan padanya kalau jelas-jelas, aku tidak tertarik dengan dirinya. Sama sekali tidak tertarik.

Oh ayolah, aku benci senyuman yang laki-laki itu tunjukkan, semuanya terlihat sangat memuakkan bagiku.

Aku akui kalau dia sedikit tampan. Ingat, hanya sedikit, okay? Karena bagiku, tetap Jill-ku yang paling tampan bagaimana pun keadaannya.

---------

Author POV

Disisi lain, ada se-kelompok pria yang tengah berkumpul dengan asyiknya.

"Sudah! Sialan kalian semua!" kesal seorang pria yang berperawakan tegap sembari mengatur napasnya yang masih terengah-engah.

"Hey hey, ada apa, dude? Bukankah kau itu suka dengan tantangan yang kami berikan, hm?" ledek pria yang berkulit putih agak kecoklatan.

"Shut up, man! Cepat lanjutkan permainan konyol ini." tukas Dave —pria yang tadi terkena tantangan.

"Baiklah, sebelum dilanjutkan aku mau ganti perma--"

"Nggak! Gak adil sumpah, aku gak bakalan rela kalau kalian main ganti aja permainannya! Enak aja, baru aku yang dapet dare jugaan, yang lain juga belom." potong Dave dengan menggebu.

"Diam dulu monyet! Kita belum

juga selesai ngomong, udah main potong aja sih!"

"Sorry. And, what for now?"

"Jadi, maksudnya bukan truth or dare lagi, tapi dare or dare. So, gimana pun yang dapat giliran nanti, mau gak mau harus ngejalanin dare. Kayaknya, kalo truth itu udah basi dan nggak ada kesan manly nya. Jatuhnya malah kek banci, bener gak?" usul pria bernama Bryan, lalu dia menepuk dadanya —membanggakan dirinya.

"Oh ok ok, ya dikira kalian mau bubarin nih babak, jangan harap!" Dave menarik sudut bibirnya.

"Mana ada bodoh! Yang lain aja belom kebagian, ya termasuk gue si." Nick, pria itu kembali menyahut.

"Yaudah cepet lanjutin, gak ngomong mulu." seru seorang pria yang sedari tadi hanya diam, lalu dia melemparkan tatapan sinisnya.

"Iya iya, gak sabaran banget sih kalian!

sekarang giliran aku yang puter nih

botol, siap-siap nih kalian."

Bryan, pria itu meraih botol minuman yang sudah kosong, memasangnya tepat di tengah bagian meja. Semua pria disana menatap botol itu dengan was-was kecuali satu pria yang masih saja bersantai dan sibuk menegak minumannya,

Setelah berdiam memenadangi botol itu cukup lama, Bryan mulai menyentuh botolnya kemudian memutarnya.

Hingga,

"Yah, yang kena kali ini kamu, Ed." ucap Bryan yang diakhiri dengan tawaan.

"Loh, kenapa mesti aku yang ke jatahan sekarang sih?"

Pria itu berdecak, lalu meletakkan gelasnya lagi dengan kasar, memutar bola matanya dengan malas dan menghadap pada teman-temannya,

"Ya elah, orang udah dapet giliran tinggal terima aja susah, nanti yang lain juga dapet kali, Ed."

"Okay, jadi apa ni tantangannya? Dan kalo yang susah-susah, bakalan milih buat kabur."

"Sabar brada. Oke, sini Nick, Dave. Ayo diskusiin apa dare yang pantas untuk Tuan Edward Vinson yang terhormat ini,"

Kedua pria itu mengangguk, mereka bergerak mendekat ke arah Bryan. Semua dari wajah mereka terlihat serius saat tengah berdiskusi.

Dan pada akhirnya setelah mereka selesai berdiskusi, mereka berbalik arah, langkah kakinya diakhiri dengan kekehan dan tawa yang keras.

"Haha best dare lah, gak sabar rasanya buat liat ekspresi dia orang." bisik Dave, dia menepuk keras pundak Nick.

"Udah dapet? Apa? Cepetan bisa?" tanya Edward, dia kesal saat melihat kawan-kawannya malah tertawa ketika melihat kearahnya,

Nick, Bryan serta Dave pun menghampiri Edward dan mengatakan  dare dari hasil diskusinya pada Edward.

"Kiss her," perintah Bryan lalu menunjuk gadis yang sedang duduk sendirian dihadapan seorang bertender.

____----____

With Love♡

—Navishaa—