Selamat membaca ๐
๐ผ๐๐ผ
"Bakudisisasa seka." seperti biasa, berubahlah sang putri menjadi sosok manusia. Aalona sudah tak sabar untuk mencari pria itu. "Alvison!" terkadang matanya menyipit. Mencari-cari ke sekitar, sejauh dan sebisa matanya mencari postur tubuh lelaki yang ia pikirkan dan sebut-sebut sejak sepuluh menit yang lalu. "Atau harus ke tendanya?" monolog Aalona bimbang. Rasa yakin dalam dirinya 50% dan ragu 50%. Yakin kalau Alvison masih di sana, namun ragu kalau pria itu membolehkan Aalona pulang, bersama mailnera dan menjauh dari Alvison tentunya.
Kepala Aalona tak lelah menoleh ke kanan-kiri. Tenggorokan gadis berbaju baby pink motif teratai itu juga tak berhenti berteriak lantang seperti sekarang, "ALVISON...!" Ia yakin, bangsanya tak akan mampu mendengar. Karena posisinya sudah jauh dari ratusan bunga teratai.
"ALVISOOON...!" rasa khawatir kini merangkak dalam benak Aalona. "Apa kakinya masih sakit?" gumamnya lesu. Tak menampik, rasa lelah kaki bersepatu merah muda itu kian menjalar. Terlihat dari langkahnya yang mulai memelan. Tak sedikit tenaga yang sudah keluar dari tubuh gadis cantik itu. Belum lagi rambut panjang sepinggang yang menambah hawa panas di leher Aalona.
"ALVISON! APA KAU DENGAR?!" tanya suara sosok perempuan pemberani itu lagi. Kini lebih keras dari sebelumnya. Semangatnya semakin meluap-lupa ketika ia ingat beberapa langkah dari sini adalah tempat singgah pemuda yang ia rindukan. "ALVISOOOOON...!" ia dudukkan pantat berbalut dress manis itu di atas akar timbul bertabur dedaunan kering. Napasnya mulai terengah-engah. Keringat yang tadinya turun perlahan kini kian memburu pelipisnya tak sabaran. Berjatuhan secara cepat, bersamaan dengan gumamannya, "benar-benar..." menghembuskan napas lelah. "Lagi, jadi manusia malah membuatku kelihatan nggak berdaya." telapak tangan itu terulur pada betis kanannya, memijat pelan berharap rasa pegal itu perlahan-lahan sirna. Bergantian, karena betis kirinya juga tak bisa dikatakan baik-baik saja.
"Eh... Seharusnya kalau dari sini dan Alvison masih ada di tempatnya, dia bisa denger suara aku. Meskipun samar-samar." matanya membulat seketika. Dipakasakan tubuh langsingnya itu untuk bangkit berdiri. Hati-hati Aalona menggerakkan kaki-kakinya. Pijakan demi pijakan dari sepatu "Kumohon, jangan pergi dulu." keresahan yang semakin luas menjalar dalam hatinya membuat langkah-langkah Aalona melebar dan cepat. Mengesampingkan rasa penat dan keringat yang terus melewati pelipis dan leher bagian belakang.
"ALVISON!" panggilnya lagi. "ALVISON!" terus di teriakinya lelaki itu. Sampai beberapa kali Aalona menyebut nama pemuda yang membuat hatinya berdebar pertama kali.
Rasa gelisah dalam hati Aalona meluas. Ia ingat, tempat ini adalah tempatnya dan Alvison mengenal lebih dalam. Tak mau kehilangan jejak manusia tampan itu, Aalona kembali memupuk semangat. Gadis berbulu mata lentik dan bibir mungil itu mulai berlari. Melewati banyak pepohonan yang menjulang tinggi dan kembali meneriaki nama Alvison. "Cuma ini cara satu-satunya Alvison." napasnya yang selalu memburu membuat putri itu tak berhenti barang sedetikpun.
"Alvison!" saat punggung dari sosok yang disebut itu tengah bersandar pada batang pohon, yang kulit luarnya mulai mengelupas. Di samping tubuh lelaki itu, tas punggung tergeletak mengenaskan.
"My Aal." kepala yang semula menunduk, spontan terangkat. "Ke-kenapa ke sini? Bukannya urusanmu udah selesai? Apa ratu Alena mendadak sakit lagi?"
Aalona menggeleng, diam-diam tersenyum kecil bebarengan dengan hatinya yang merasa hangat. Rasa lelah di sekujur tubuh dan rasa pegal di sepanjang kakinya tak lagi ia singgung. Pikirannya kini terpusat pada pemuda berjaket kulit coklat tua itu. "Apa kamu nggak akan hutan ini lagi?" ucapnya mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Alvison.
"Kenapa tanya gitu?"
"Aku harap kamu selalu luangin waktu untuk ke sini." Dirinya mendekat ke arah Alvison. Masih berdiri dan diam di depan Alvison, sepatu merah mudanya dan sepatu bertali milik lelaki itu saling bersentuhan. Seakan kedua benda mati itu bercakap-cakap layaknya sang pemilik. "Itu salah satu cara kita untuk terus berteman."
Alvison mengiyakan. Ia pun berdiri, menyamakan posisinya dengan Aalona. "Ya aku tau itu. Pasti aku akan ke sini." diulurkannya salah satu tangan hangat Alvison untuk menangkup salah satu pipi perempuan manis di depannya. "Tapi aku nggak bisa nentuin waktunya. Aku cuma bisa ke sini kalo liburan aja. Selebihnya aku sibuk."
"Kapanpun aku tunggu." merekahkan senyum di bibir merah itu. "Tinggal teriak aja di deket bungai teratai seperti beberapa jam yang lalu."
Alvison terkekeh. Ia ingat kejadian yang dimaksud Aalona. "Ya, bakal aku lakuin kayak tadi."
๐ผ๐๐ผ
Langit di atas sana mulai menggelap. Bintang-bintang yang menghiasi nampak amat terang. Bulan purnama itupun tak mau kalah menyinari bumi. Membuat kesan lembut bagi Aalona yang tengah sibuk memandanginya.
"Mau minum?" tanya Alvison. Satu-satunya cangkir berisi kopi itu ia tawarkan. Aalona menggeleng. "Mau makan?" lagi-lagi sang gadis menggeleng.
Bibirnya terangkat untuk mengukir senyuman. "Rasanya aku cuma mau nikmatin malam ini. Waktu terakhir sebelum kamu pergi." Alvison yang mendengar tak mau menyia-nyiakan tangannya untuk merangkul Aalona dari arah belakang.
Kini tangan kanannya sudah tersampir di bahu gadis cantik yang duduk dengan kaki lurus memanjang ke depan. Bagian lutut dan betis yang tadinya tak tertutup apapun, kini sudah terbalut dengan jaket kulit punya Alvison tadi.
"Kamu laki-laki yang buat aku benar-benar merasa hangat pertama kali, Al." lelaki itu ikut mengulum senyum. "Aku tau ini terlalu cepat. Tapi aku nggak tau harus gimana. Sifat baik mailnera selalu melekat. Aku jadi sulit menutupi perasaanku," terangnya jujur.
Yang sebenar-benarnya tengah terjadi ialah ekspresinya menahan malu mati-matian. Jantungnya berdegup sejak ia memberanikan membuka mulut. Dan, ya, bagaimana perempuan seperti Aalona bisa frontal seperti itu? Sifat positif dari bangsa mailnera memang tak bisa dicegah. Jangan lupakan kedudukan Aalona. Sudah pasti banyak sifat baik dalam dirinya. Seorang putri takkan berperilaku buruk bukan? Jujur, salah satunya. Begitupun dengan perasaan Aalona pada Alvison --- si manusia tampan--- yang pertama kali mengetuk hatinya lewat tatapan dan berakhir kebaikan hati lelaki itu. Terutama rasa hangat yang di terima oleh Aalona. Semua yang ada dalam diri Alvison sungguh menggetarkan hati putri satu-satunya Alena.
"Tapi, apa bisa ini disebut cinta?" tanya Aalona pada langit malam. "Aku ingin kita terus menjaga pertemanan kita, Al."
Digenggamnya bahu Aalona erat. "Apapun yang kamu minta aku coba turutin."
Masih menengadah menatap buntang-bintang yang berkelap-kelip, senyum tipis membentuk di wajah Aalona. "Perbedaan kitalah yang aku pikirin. Ketakutanku yang lama-kelamaan aku rasain. Mungkin ini juga sifat mailnera. Rasa takutnya semakin kuat setelah aku bilang sama kamu barusan."
"K-kamu baik-baik aja kan?" ditatapnya mata Aalona dari samping. Hanya senyuman yang Aalona berikan, bahkan tak membalas tatapan Alvison.
Jika ditanya apakah dirinya baik-baik saja, Aalona pasti menjawab ya. Karena sekali lagi, bangsa mailnera tak akan merasa sakit secuil apapun selama hidupnya, selain satu-satunya penyakit yang menyerang sang ratu. Sakit karena cinta. Untuk rasa pegal yang beberapa jam dirasakan Aalona, itu bisa terjadi karena... Di dalam benaknya, semangatnya, keberaniannya, ia lakukan untuk seorang manusia. Untuk Alvison yang berhasil singgah di hatinya. Untuk pemuda yang mampu menarik hati Aalona. Lelaki yang secara tak sadar sudah ia cintai sejak awal berjumpa. Dan di situ lah awal perasaan takut Aalona berbentuk.
"Ya, untuk saat ini aku baik-baik aja."
"Aku tau, kamu sosok yang kuat." mengeratkan pelukannya, kini melekat pada pinggang Aalona yang masih terbalut dress motif teratai itu.
Keduanya sama-sama mendongakkan kepala, memandangi pekatnya warna hamparan awan. Pasangan beda bangsa itu juga menikmati angin malam yang hawa dinginnya melambai kulit. Namun secepatnya ditepis oleh rasa hangat dari kobaran api yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Api unggun sedang buatan Alvison yang tak terlalu tinggi itu memang sangat membantu di tengah dinginnya suasana hutan.
Bosan lantaran tak ada kegiatan bahkan percakapan sekecil apapun, sang pemuda tampan itu dengan jahilnya mencolek lembut puncak hidung gadisnya menggunakan tangan yang tadi melingkar di pinggang Aalona. "Terus semangat dong! Masa gadis kuat gini mikirin kepergianku?" godanya mencoba menguatkan kembali.
"Memangnya aku mikirin itu?" lalu menatap Alvison dengan tampang meremehkan. "Ada yang lebih penting dari itu. Sangat penting. Dan ya... Mungkin akan aku pikirin setiap waktu." tuturnya serius. Sorot matanya kembali memusat pada objek pertamanya sebelum Alvison bersuara lagi.
Ragu dan tak mau menambah beban pikiran Aalona, Alvison memberikan senyum kecilnya. "Aku minta, kamu letakin masalah itu sebentar." pendengar itu perlahan melirik ke arah Alvison. "Saat ini fokus sama sisa waktu pertemuan kita. Waktu kita sekarang ini. Jangan biarin masalah kamu ataupun punyaku gangguin kita berdua." menjeda, melanjutkan lagi usai Aalona mengulum senyum. "Gimana? Setuju?"
Si gadis berpakaian bunga waterlily itu mengangguk. "Kurasa saranmu tepat. Aku setuju dan dengan senang hati mengabulkannya." senyum kecil keduanya membesar bersama kekehan-kekehan kecil yang mulai terdengar.
Ditariknya bahu Aalona dan tangannya sudah mendarat di sana tanpa berniat untuk melepas. Keduanya kini kembali menatap angkasa. Sambil menatap bulan purnama sang lelaki berujar. "Aku ingin pertemuan kita selanjutnya lebih manis dari malam ini. Setuju?"
"Dengan senang hati aku bilang setuju lagi." pemuda ganteng berkaos dark blue dibuatnya tersenyum gemas. "Gimana Alvison?"
"Good. I like it. Sangat-sangat suka! Dan aku menunggu saat itu." Tanpa keduanya ketahui sepasang dada bergerak naik-turun. Jantung yang seharusnya bekerja secara normal kini mempercepat tekanannya. Bukan berefek negatif atau sejenis penyakit, tapi menyangkut sebuah rasa. Sesuatu tak kasat mata itu membalut dalam diri mereka. Menciptakan something yang tak bisa di cegah oleh para pemiliknya atau apapun juga.
Perasaan sang gadis maupun si pemuda kala itu sama-sama menghangat. Entah kenapa sangat hangat dan menghanyutkan. Bahkan melebihi rasa hangat yang dihantarkan api unggun buatan Alvison itu. Jaraknya beberapa meter di depan tubuh keduanya. Dan jauh di dasar, tentunya paling ujung di dalam kedua hati insan itu, suara penuh kejujuran dan ketulusan terdengar, aku mencintaimu. Penuh pengharapan mereka berdoa pada Sang Takdir, agar mau berpihak pada cinta mereka yang sebenarnya mustahil untuk terjadi.
"Lihat!" telunjuknya mengarah ke atas, di samping kanan Aalona. Si gadis ikut mengarahkan netranya ke arah yang dimaksud. Dimana makhluk berlampu berwarna hijau itu berterbangan. "Kunang-kunang. Hewan yang jarang aku lihat akhir-akhir ini."
Aalona terkekeh melihat tiga kunang-kunang itu. "Terlihat kecil sekali dia."
"Ooh iya, aku tau. Kamu bisa ngobrol nggak sama mereka?" tanya Alvison asal. Siapa tahu gadis itu sanggup.
"Bisalah, tapi kalo aku udah kembali normal. Jadi mailnera lagi." Alvison mengangguk paham.
Keduanya lantas memandangi hewan kecil terang nan unik itu. Sesekali Aalona menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan lebar. Ia senang, malam ini akan ia lewati dengan penuh ketenangan dan rasa nyaman tak terkira yang sebelumnya belum pernah ia rasakan. Kali ini, malam bersama Alvison lebih berasa...
๐ผ๐๐ผ
Gimana? Terus dan selalu berusaha, maupun semangat empat lima buat nulis๐
Thank you for reading :*
See you๐
Gbu๐