Chereads / Keajaiban untuk Hati / Chapter 53 - Pengakuan yang Tersamarkan

Chapter 53 - Pengakuan yang Tersamarkan

"Ara udah makan ?", tanyanya, lalu aku menggeleng.

"Kenapa belum makan?", lanjutnya sambil melirik dengan reaksi setengah menahan senyum.

"Mak Mah gak masak karena lagi kurang sehat", jawabku.

Dia tampak menahan tawa. Jika ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk memindai otaknya pasti semua akan terbaca dengan jelas. Meski tanpa mesin pemindai, aku dapat menebak apa yang dipikirannya.

Dia mengetahui semua hal yang tidak diketahui orang lain tentangku, tidak banyak yang bisa dirahasiakan darinya selain perasaanku.

Dia juga tahu bahwa sebenarnya aku tidak suka makan sendirian. Tidak jarang aku pergi ke rumahnya untuk makan siang atau sebaliknya; mengajaknya makan di rumah.

Keadaan berubah, hampir semua kebiasaanku berubah sejak hari itu; 10 tahun lalu. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan baik dan menjadi terbiasa sendiri.

Adaptasi berlebih perlahan mengubahku menjadi seseorang yang terlalu menikmati kesendirian, bahkan mengabaikan sekitar.

Saat bersamanya, aku ingin menjelajah waktu yang telah berlalu dan membangkitkan seluruh memori yang pernah tertidur untuk waktu yang sangat lama.

Aneh rasanya, ketika bersamanya aku berubah mejadi perempuan lemah yang butuh perlindungan, bahkan sulit mandiri dan ketergantungan; karena dia selalu mencoba menjadi yang terbaik dan selalu dapat diandalkan. Sehingga, tidak aneh bagiku untuk menahan lapar daripada harus makan sendiri.

"Abang tau Mak Mah sakit, abang juga udah kasih obat", jawabnya.

"Setau abang, Ara bisa masak. Kenapa gak masak aja ?", lanjutnya.

"Bisa masak, tapi malas", jawabku.

"Kepala Ara juga masih sakit", lanjutku sambil memegang kening.

Sebenarnya, aku baik-baik saja, tapi hanya ingin melihat Ryan terjun ke dapur. Di luar dugaan, dia tidak menyadari kebohonganku dan langsung berlari ke arahku dengan wajah serius.

Dasar, naluri dokter yang tidak terkendali, selalu bertindak melebihi ekspektasi setiap kali mendengar keluhan pasien.

"Ara barusan bohong", ucapku yang menunjukkan wajah baik-baik saja.

"Emm, Ara rehat biar abang yang masak", ucapnya.

Meski tidak ada jaminan tentang rasa, setidaknya keinginanku tersalurkan.

Setahuku dia hanya bisa mengolah bubur atau mie instant, realitanya berbanding terbalik dari hipotesisku. Dia tidak menyuguhkan mie instant. Makanan yang disajikannya langsung menggugah selera.

Ah, sejak kapan Ryan jadi sehebat ini bergelut di dapur ?

"O-oh, Sayed Ryan Idroes", ucapku sambil memberi tepuk-tangan kecil.

Sesaat dia menjadi sombong memamerkan keahlian barunya. Keahlian itu diperolehnya sejak menatap di London, beberapa kali dia mengikuti cooking class saat holiday jika tidak kembali ke Malaysia.

Dengan lugunya, aku mempercayai itu tanpa sedikitpun keraguan. Kemudian, dia mengatakan sesuatu yang membuat aku terlihat seperti orang bodoh yang mudah tertipu.

"Sebenarnya, abang delivery order", jelasnya sambil tertawa kecil.

"Auh, will you marry me ? nae sun cha ba chulleyo", ucapku berirama.

"Ara mau bilang itu, tapi gak jadi", lanjutku bicara seperti biasa.

"Cancel gitu aja, seriously ?", sahutnya sambil tertawa lalu makan.

Aku hanya merespon ucapannya dengan sesungging senyuman, lalu fokus pada makan malam.

"Tapi hot chocolate yang ini memang buatan abang", lanjutnya sambil menunjuk mug berwarna putih yang berisi hot chocolate.

"Kalau cuma hot chocolate, Ara juga bisa buat sendiri", ledekku.

Ledekan hanya ledekan, aku menyeruput hot chocolate buatannya tanpa sisa.

Selalu ada kebahagian ketika bersamanya. Aku dapat merasakan ketulusan yang dalam dari senyuman itu.

Saat bersamanya banyak topik pembicaraan terus mengalir seperti air. Di tengah obrolan kami, aku mencoba menyisipkan tentang Hanan dan janjiku untuk merawatnya sampai sembuh.

"Emm, besok bareng aja. Abang juga mau ke sana", ucapnya.

Aku mengangguk tidak keberatan seraya menyatukan ibu jari dan telunjuk membentuk "signal lingkaran".

Ryan mematung sesaat, seperti ingin mengatakan sesuatu saat mata kami bertemu, kemudian dia menunduk dan terbenam bersama pikirannya tanpa mengatakan apapun.

I have no clue about that, membiarkan dia menangani sendiri kegelisahannya adalah pilihan terbaik karena aku tidak ingin lagi melakukan sesuatu yang bisa membuat jarak di antara kami.